Chapter 24 - Behind the Sheets

1.9K 174 0
                                    

Lenggang yang meruyak lebih tebal dari kabut pegunungan. Aku rasanya bisa mati kesesakan saking canggungnya. Aku rasanya bisa berhenti bernafas saking tidak bisa melihat apa-apa.

Aku tertegun, hanya bisa memandangi punggung Kak Hose yang sedikit merunduk. Padahal dia biasanya paling tegap. Dia biasanya tampak paling perkasa. Kali ini dia tampak lemah, dan aku tidak menyalahkannya. Dia tengah membuka luka batin. Kehilangan seorang keluarga yang tersayang barangkali rasanya... bahkan lebih menyakitkan dari kehilangan Febian bagiku. Dan kini luka itu sengaja dia koyakkan, demi aku.

Namun mengapa?

"Gue 14 tahun waktu itu." Aku tidak memiliki waktu bertanya, sebab Kak Hose melanjutkan lebih dulu. Memecahkan keheningan pekat yang tidak berani kusentuh. "Dia duduk di atas sini, ngacungin senapan ke kepalanya. Waktu itu, gue juga bingung dia dapet pistol dari mana, tapi-" Kak Hose menegak ludah, kesesakan hanya untuk melanjutkan, "gue engga gubris masalah itu. Satu yang ada di kepala gue adalah, gue harus berhentiin dia." Sebuah nafas berat, bagai mengganjal di kerongkongan, dan menyiksanya, dia keluarkan seberat timah. "Dan gue gagal."

Aku mencengkeram rok sekolahku, tidak tahu harus berkata apa, tidak tahu harus bersuara atau tidak. Debaran jantungku kian mengencang saja. Aku kembali mengenang kematian Febian dan rasa penyesalan juga sendu yang mengekor bahkan sampai kini. Dan aku merasakan yang jauh lebih buruk dari suara Kak Hose. Sendu yang tidak bahkan bisa kumengerti, sebab barangkali senduku, tidak pernah sedalam sendu miliknya.

"Gue ngejerit, Ann. Kenceng banget. Rasanya kebakar di dalem sini." Dia menunjukkan kerongkongannya, lalu dadanya. Aku menegak ludah dalam. "Gue mohon-mohon, gue minta ke dia, puluhan kali banyaknya buat jangan narik pelatuk. Gue engga berani gerak, karena dia ngomong bakal bunuh diri sendiri kalau gue mendekat. Jadi, cuman suara gue yang bisa dia denger." Dia kembali terdiam beberapa detik. Dan kesunyian sesaat itu, bahkan lebih canggung dan tebal ketimbang yang tadi. "Tapi dia tetep nangis kenceng banget. Dia terus ngomong ke gue, kalau dia ga kuat. Kalau dunia ini terlalu kejam buat dia, dan dia engga tahan satu detik lagi juga bertahan di sini. Die engga tahan, sekalipun gue ngejanjiin dia hari yang lebih cerah setelah itu. Dia udah hancur dari dalem."

Kak Hose menarik nafasnya begitu dalam, seakan mencoba mereguk oksigen yang terlampau sulit untuknya dapatkan. Cengkeramanku kian kukencangkan.

"A-apa yang terjadi?" aku membisik.

Namun bukan kata-kata yang dia balas. Kak Hose terpaku untuk sesaat, aku sampai sempat berpikir suaraku tidak sampai kepada telinganya. Namun beberapa detik kemudian, dia menggeleng. Dan aku tahu ketika itu, aku nyaris melampaui batasanku.

Dia sudah membuka lukanya kepadaku, dan kini aku mencoba mengorek terlalu dalam. Kak Hose terlalu kesakitan untuk itu. Dia belum sanggup menceritakan semuanya kepadaku. Dan aku tidak berhak untuk meminta sebaliknya. Ini adalah kisahnya. Dan aku hanya pendengar. Aku seharusnya sudah berterima kasih dia mau menjadikan telingaku pendengar luka batinnya. Seharusnya begitu. Dan kini aku mulai menyalahkan diri sendiri yang bertanya-tanya.

Namun aku bersyukur, Kak Hose tidak menyalahkanku untuk itu.

"Waktu itu di rumah cuman ada gue sama Kakak gue. Papa Mama lagi di luar negeri. Cuman gue satu-satunya saksi kalau dia merenggut nyawa sendiri, di depan mata gue." Aku tidak melihat, namun dari rahang bawah telinganya, Aku melihat Kak Hose menggemeretakkan gigi. "Waktu pemakaman, semua yang tau gue nyaksiin kematian Kakak gue bersimpati sama gue. Gue dipandang dengan mata penuh kasihani. Gue ditepuk pundaknya berkali-kali, bahkan ditawarin ketemu psikolog, takutnya gue trauma. Tapi gue engga ngerasa begitu, Ann. Gue ngerasa hal yang berbeda."

Dia memutar tumitnya, membalik untuk menatapku. Dan ketika aku melihat sirat matanya, aku tertegun laksana batu. Barangkali kalau tidak tertahan, aku akan terkesiap. Aku terkejut, melihat sedalam apa kesedihan terbendung di balik kelopak matanya. Di balik retinanya. Sedalam apa luka yang telah dia buka, hanya untuk bercerita kepadaku. Sebanyak apa dia tersiksa hanya untuk mengenang kematian yang sudah lampau terjadi bertahun-tahun yang lalu. Aku rasa, aku berhenti bernafas sesaat.

Kakak Kelasku Akan MatiWhere stories live. Discover now