Chapter 6 - The Twins

2.2K 170 5
                                    

Barangkali Sabtu adalah hari ternikmat setelah Minggu.

Hari di mana kita bisa merebahkan punggung sampai siang tanpa harus mengikuti pelajaran matematika. Hari di mana kita bisa menggunakan piama sampai siang hari, atau bahkan tidak mandi satu hari penuh.

Hari di mana kita bisa meliburkan diri dari penatnya kehidupan nyata.

Walau begitu Papa tidak memiliki nasib yang semujur aku. Demi mendapatkan gaji bonus, Papa memaksakan diri untuk tetap masuk bekerja, dan hanya bisa mengambil cuti beberapa kali dalam setahun. Yang berakhir membuat Mama dan aku berdua yang selalu menghuni rumah sepanjang hari di setiap Sabtu.

Namun untuk hari ini, Sabtu ini, aku memiliki kesibukan seperti Papa.

"Gia! Bangun sayang!" Aku menggerutu di sela-sela tidurku ketika Mama mengguncang tubuhku. "Gia!"

"Apa?" bisikku pelan. "Aku masih ngantuk."

"Bangun, hei! Itu ada temen-temen kamu di depan."

Dibutuhkan waktu 5 kali lipat lebih lama bagi seseorang yang baru terbangun untuk mencerna kata-kata seseorang yang lain. Begitu pula aku. Aku terpaku, membayangkan siapa teman yang tengah menjengukku di pagi Sabtu buta ini.

Olin? Lea? Tidak mungkin. Kita tidak membuat rencana.

Aku juga tidak memiliki banyak teman di sekolah lamaku. Mereka tidak mungkin.

Jadi?

"Siapa?" bisikku, sembari memasukkan wajahku ke balik bantal.

"Kamu kok gak ngomong sih kalau temen-temen kamu di sekolah baru ganteng-ganteng semua!?" Aku mengernyit kebingungan. Laki-laki? "Namanya Dio sama Gio. Kata mereka sih kamu bakalan langsung kenal kalau dikasih tau nama mereka."

Dan seketika aku terperanjat sampai kebangunan.

"Siapa!?"

Aku membalik untuk menatap jamku. Dan melihat jarum masih menunjukkan pukul 5 pagi. Ya, kau tidak salah baca, benar-benar jam 5 pagi! Dan kakak kelas kembar dua gila itu sudah mengetuk pintu rumahku, entah untuk melakukan apa. Dan seketika aku berpusing, terpaku sampai kesulitan berpikir.

Mereka sungguh kembar yang tidak masuk logika.

***

"Hiking, Gia. Hiking!"

Aku rasanya masih setengah bermimpi ketika Kak Gio mengatakan kata-kata itu di tengah perjalanan mobil kami.

"Maksudnya yang nanjak gunung itu?"

Iya, aku terdengar bodoh.

"Kamu masa ga tau hiking sih? Ya iyalah manjat, neng. Bukan gali." Kak Dio kali ini yang menimpal dari kursi depan samping. Suara mereka nyaris sama, gelagatnya sama-sama heboh. Sikapnya sama-sama aneh. Wajahnya identik tanpa memungkinkan untuk dipisahkan.

Perpaduan yang komplit.

Ketika aku menanyakan bagaimana cara membedakan mereka berdua, satu-satunya jawaban adalah melihat karang yang ada di leher kak Dio sedangkan Kak Gio tidak memilikinya. Biasanya tertutup oleh kerah seragam, namun kalau dia mengenakan baju t-shirt biasa seperti hari ini, aku bisa melihatnya.

"Di mana? Kapan? Dan gimana?"

"Di deket sini. Sekarang. Ya jalan." Kak Dio menimpal, sekaan itu adalah hal paling lumrah di dunia ini. "Kita mau hiking barengan, maksudnya temen kita 6-an. Semuanya udah oke, kecuali Hose nih. Kayanya masih molor tuh orang."

Siapa yang tidak tidur di jam 6 pagi seperti ini!?

"Makanya kita mau bangunin dia. Gitu Gia." Kak Gio melanjutnya.

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang