Chapter 20 - The Hidden Truth

1.9K 161 0
                                    

Kegelapan selalu menjadi hal pertama yang kupandangi ketika memasuki ruang musik. Derit pintunya tidak bahkan terdengar, saking kencangnya jantungku bertalu-talu. Aku masuk, dan menemukan kalau Kak Hose sudah berada di dalam menantikanku.

Aku terdiam untuk sesaat, memandangi setiap luka yang tertoreh di tubuhnya. Memandangi setiap beset dan lebam yang memenuhi raganya. Aku hanya mengingat perbannya di tangan kanan sehabis kemarin, namun tidak luka lain yang menghunjami sekujur tubuhnya. Aku terpaku kaku untuk sesaat. Bahkan di tengah kegelapan saja aku bisa menelusuri seluruh jenjang tubuhnya. Seburuk apa yang akan kulihat kalau di tengah terik matahari?

Dia pasti sangat terluka di balik seragamnya itu.

"Kenapa manggil?" suaranya terdengar dingin nan jauh.

Aku menegak ludah sepat. "Kak Hose ga apa-apa?" Aku sungguh bertanya. Sebab tampangnya sungguh tidak tampak baik-baik saja.

"Gue masih bisa jalan, masih bisa makan. Cukup kan?" Benar. Dia terdengar dingin. "Jangan banyak basa-basi. Gue udah cape denger omongan guru ngerancau terus dari pagi bentak-bentak. Hal terakhir yang mau gue denger adalah basa-basi panjang lebar."

Aku tahu. Aku tahu Kak Hose tidak menyukai basa basi tidak bermutu. Sekalipun begitu, aku cukup sakit hati kekhawatiranku tidak dihiraukan semacam ini. Dan tampaknya sakit hatiku terpancar dari mataku. Mata Kak Hose melebar ketika menatap wajahku setelahnya, lantas dia menghela nafas gusar, dan kembali berkata,

"Jadi, kenapa manggil gue ke sini?"

Aku mengiggit bibirku. Rasa pahit menjalar di kerongkonganku. "Kemarin. Seudah anter aku, balik lagi, ya, ke tempat kecelakaan? Soalnya luka-luka ini bukan dari ugal-ugalan. Aku tau."

Kak Hose terpaku sejenak. Lalu dia lagi-lagi mengudarakan nafas kasar. "Ga ada hubungannya sama lo, Ann."

"Kakak udah janji mau pulang ke Jakarta bareng aku."

"Dan gue udah tepatin. Seudah nganterin lo engga ada salahnya gue balik lagi buat bales dendam Oscar."

Aku mengepalkan tanganku kencang. "Bukannya itu alesan aku bawa kakak ke Jakarta? Supaya kakak ga usah kena bahaya sampai badannya ancur begini demi bales dendam doang."

"Doang?" Kak Hose menaikkan suaranya. Jelas tersinggung. "Lo engga ngerti apa-apa di sini. Lo baru kenal gue beberapa hari. Lo engga ngerti sebesar apa artinya kecelakaan Oscar bagi kita-kita."

"Dan itu jadi alesan kakak harus ngerusak badan?" Debaranku mengencang. Aku mulai merasa suasana tidak nyaman di ruang musik sempit nan temaram ini. Aku membencinya. Namun aku harus bertahan, selagi kakiku masih kuat menopang raga rentan ini. "Apa bedanya Kak Hose sekarang sama Kak Oscar? Sama-sama luka-luka dan setengah mati buat jalan aja kan-"

"Ann!"

Gebrakan di pintu mengejutkanku sampai aku melompat. Aku pucat pasi ketika menatap wajahnya. Dia marah padaku. Tidak, berang. Dia seakan ingin melahapku habis-habisan saat ini juga, saking derasnya debur amarah berguncang di sanubarinya.

"Satu kali lagi gue bakalan ngomong sama lo, jadi pakai telinga torek itu dan denger!" sentak Kak Hose, kasar nan dingin. Aku sungguh membenci suara ini. "Lo. Gak. Tau. Apa. Apa! Lo cuman cewe yang bikin skandal sama gue, dan akhirnya kita buat hubungan palsu. Titik sampai sana. Sisanya? Itu bukan urusan lo! Jangan cuman karena sekali gue ngomong gue nyaman bicara sama lo, lo jadi besar kepala kaya gini!"

Aku ingin membalas. Namun aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku mati kutu. Ragaku bagai dipaku di tanah. Dan aku ketakutan.

Aku bergetar, menatap lantai ruang musik yang tampak begitu dingin.

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang