Chapter 35 - Another

2K 209 6
                                    

Gianna POV

Aku mengingat banyak hal.

Aku mengingat bagaimana aku melihat alamat pertikaian Kak Hose ketika aku memasuki kamar Kak Oscar, dari ponsel yang dipegang Kak Eden. Aku pun mengingat bagaimana aku mencabut infus dari lenganku di IGD, dan memanggil gocar secepatnya, menuju lokasi antah berantah yang kuhafal dalam benakku.

Aku mengingat suara ledakan senapan yang menggelora bagai kembang api di tengah malam tahun baru. Namun senapan ini bukan demi kebahagiaan, tetapi senapan yang berujung maut.

Aku mengingat betapa kencangnya denting lonceng kematian berdentum di telingaku ketika aku mendekat. Bagaimana susahnya aku bahkan untuk berjalan, sembari berdoa di dalam hati kalau aku akan sampai tepat waktu. Tidak terlambat untuk melindungi Kak Hose. Tidak juga kehilangan satu orang berharga lagi di hidupku.

Namun kurasa saat itu, aku sudah terhitung terlambat.

Kak Eden sedang dicekik. Kak Genda terkapar di tanah. Kak Gio berdarah-darah tangannya. Aku tidak bahkan memiliki waktu untuk memastikan di mana Kak Dio. Yang kulihat hanyalah Kak Hose.

Yang sedang ditodong senapan, tepat di jantungnya, dan tidak memiliki waktu untuk kabur.

Mengagumkan bagaimana kaki lemahku ini bisa membawaku berlari kencang. Mengagumkan bagaimana raga nyaris rusak ini masih mampu untuk membawaku berlari sekuat tenaga, menghampiri Kak Hose.

Kalau kau mau mengatai aku gila, aku persilakan. Memang, aku terdengar gila.

Tidak mungkin ada perempuan mana pun yang melancarkan diri ke hadapan sebuah senapan, bukan?

Namun jikalau gila berarti menyelamatkan seseorang berharga dari lonceng kematian, aku rela kewarasanku direnggut sepenuhnya.

Kepalaku menjadi hitam.

Denyut jantungku berhenti.

Mataku menggelap.

Aku hanya tahu kalau aku berlari kencang. Lantas, aku merasakan sesuatu berat nan kencang menghantam perutku. Setelah itu, tubuhku berhenti berfungsi.

Kakiku berhenti berjalan, aku terjatuh. Nafasku untuk sesaat berhenti, namun aku tidak kesesakan. Di dalam pertarungan adu kecepatan, kegelapan lebih dulu melingkupiku daripada rasa sakit mana pun.

Aku ulangi sekali lagi. Aku tidak kesakitan.

Aku langsung tidak sadarkan diri setelah itu.

"Apa yang terjadi sebenarnya?" Aku membisik kepada diriku sendiri, menatap perutku, dan terkejut melihat tidak satu pun luka ada di sana. Tidak juga ada satu pun pukulan keras yang aku rasa menghantamku. Alih-alih, aku dibalut sebuah rok putih panjang. Menggelepai hingga mata kakiku, terasa sangat ringan di ragaku.

Jangankan begitu, aku bahkan merasa tengah melayang.

Saking hampangnya raga ini, aku tidak merasa aku tengah memijak apa-apa. Dan baru ketika itu, aku menyadari sekitarku.

Emas.

Itu yang terbentang sepanjang mata memandang.

Sebuah ruangan raksasa yang tidak tampak tepinya, dengan langit-langit, juga dinding berwarna emas. Lantainya adalah kaca tebal kokoh. Di tempat ini sinarnya menyilaukan, namun mengejutkannya, mataku tidak kesakitan. Alih-alih, aku merasa kehangatan yang sulit disampaikan lewat kata-kata. Kehangatan yang melingkupiku bagai pelukan seorang ibu.

"Kamu tertembak di perut."

A-apa? Aku seketika terpaku mendengar sebuah suara yang kelewat kukenal.

Aku sampai meragukan diriku sendiri. Tubuhku menegang, dan kakiku tidak bisa kugerakkan.

Tidak mungkin. Tidak mungkin.

"Dan sayangnya karena itu, kita bertemu lagi, Gia."

Aku bisa merasakan tanganku bergetar. Namun aku mengepalnya kencang, berusaha menahan diri untuk tidak jatuh dari kedua tungkaiku. Aku menahan nafas ketika aku membalikkan wajah. Dan ketika itu, bahkan belalak tidak bisa menggambarkan ekspresiku kini.

Sebab keterkejutanku melebihi batas waras manusia.

Febian berdiri di sana. Di hadapanku. Menggunakan pakaian putih, sama denganku.

Aku perlahan mulai menangis.

"Febian."

Pria itu tersenyum lembut. Seperti yang selalu kuingat. "Merindukanku?" Lantas dia merentangkan tangannya, mengajakku untuk masuk ke dalam dekapannya. "Aku akan bahagia kalau mendapatiku ada di balik lenganku saat ini juga."

Tapi aku tidak bisa bergerak. Aku hanya menangis, kian kencang, kian kencang saja. Aku hanya terus tersedu sampai dadaku mulai sesak, perutku seakan dipelintir dari dalam sana.

Aku tidak tahu kalau aku merindukannya sebanyak ini di balik setiap malam aku mendamba kehadirannya di bumi.

"Seperti biasa, kamu butuh aku yang maju duluan, ya?" Febian terkekeh geli, seraya perlahan menghampiriku, merengkuh tubuhku dengan kehangatan yang tidak bisa kudeskripsikan lewat kata. Intinya, sangat hangat.

Dan aku tenggelam dalam hamparan kehangatan ini.

Aku tenggelam di dalam pelukannya. Aku tenggelam dalam raga sarat rindunya.

Aku merengkuhnya bagai menemukan kembali boneka kesayanganku yang telah kuhilangkan 5 tahun lamanya. Aku meraihnya bagai menggapai bintang yang selalu kuharapkan untuk jatuh ke tanganku setiap malam. Aku tenggelam dalam tangis bagai anak yang terlalu bahagia menemui ayahnya kembali ke rumah seusai peperangan di medan perang.

Aku tersedu bahagia selayaknya seorang kekasih yang sangat merindu belahan jiwanya.

Dan aku terlena di dalam wangi raga Febian yang selalu menenangkan.

"Aku merindukanmu. Aku sangat merindukanmu." Aku membisik lembut, mengangkat wajahku, lantas tersenyum padanya.

Ah, begitukah....

Jikalau aku bisa bertemu Febian, artinya aku sudah melewati batas kehidupan. Aku telah mengorbankan diriku demi Kak Hose. Aku sudah ada di surga.

Namun kuharap Febian tidak menangkap secercah kepahitan di senyumku. Sebersit kesedihan tipis, namun mendalam dari relung sanubariku.

Sebab aku satu pria lain yang kuharap bisa kupeluk erat saat ini, dan pria itu bukan Febian. 

*** 

Aku ikut sedih baca chapter ini. Aku ikut sedih buat Hose dan Gianna :( 

Thank you semuanya yang udah baca, udah vote, udah komen, udah share, udah mampir. Terima kasih banyak.

Follow aku di instagram (username : nnareina) untuk update-update tentang cerita-cerita aku. Di sana juga kadang aku post keseharian aku. Monggo difollow ya.

NEXT UPDATE : selasa depan

See you soon! Love you all so much! 

Kakak Kelasku Akan MatiWhere stories live. Discover now