26 - Sama-sama

39.7K 2.7K 15
                                    

Dedaunan yang tertiup oleh angin seakan membuat helaan napasnya semakin panjang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dedaunan yang tertiup oleh angin seakan membuat helaan napasnya semakin panjang. Susah payah mengumpulkan daun kering setelah menyapu sekitar tepi lapangan, namun terbang begitu saja tanpa mengerti akan lelah serta peluh yang menetes di sekitar pelipis.

Memilih untuk duduk, menyudahi aksinya menyapu halaman sekolah sembari menatap lurus pada kawanan murid yang tengah berolahraga.

"Hallo, jagoan." Sapaan dari arah samping yang kontan membuat Dirga telonjak sembari mendongak.

"Anak orang lo apain sampai masuk IGD?"

Tak berminat membahas apapun mengenai kejadian beberapa jam lalu. Memilih untuk memalingkan wajahnya saat gadis yang saat ini ikut duduk justru menarik dagunya agar saling terlibat tatapan satu sama lain.

"Gue tonjok." Sebuah jawaban singkat yang sontak membuat Agatha bertepuk tangan sembari menepuk bahu cowok itu berulang kali. "Nice! Gitu dong, lawan." Seakan tak menjadikannya sebagai masalah besar, Agatha justru mengangkat jempolnya. Nampak terlihat bangga kepada Dirga, namun di sisi lain juga ingin tertawa ketika mengingat bagaimana nasib Nabil yang tengah pingsan ketika hendak dibawa ke rumah sakit.

Sekali-kali memberi pelajaran bagi orang yang telah berbuat jahat padanya. Melawan ketika ditindas nyatanya memang perlu dilakukan agar setidaknya dendam dalam diri dapat tersalurkan sedikit demi sedikit.

Mendengar sebuah kabar bahwa Nabil diharuskan masuk IGD, membuat Dirga cukup resah. Semua karenanya, bahkan banyak pasang mata yang menjadi saksi atas tindakan yang sempat membuat heboh serta teriakan ngilu dari murid lain.

Berdecak pelan, berniat untuk bangkit berdiri, melanjutkan hukumannya yang belum berakhir, sementara Agatha tak menahan cowok itu lantaran paham dengan konsekuensi yang harus diterima setelah aksi tak terpuji.

"Kasihan Nabil sih, ta-tapi kasihan juga sama Dirga."

"Kenapa? Bukannya dia yang udah bikin Nabil masuk IGD? Gila-gilanya lo lebih kasihan sama orang yang udah bikin celaka sahabat sendiri!"

Agatha mendengarnya, namun tak ingin berbalik badan dan memilih tetap diam tanpa bergeming dari duduknya di sekitar beberapa bangku kosong yang menutupi hampir seluruh tubuhnya dari pantauan Reyma.

"Gue yakin, itu nggak sengaja. Dirga nggak mungkin---"

"Nggak ada yang nggak mungkin sekalipun di mata lo ... Dirga adalah wujud paling sempurna dari pangeran berkuda yang dikirim oleh Tuhan!"

Mona lelah menjelaskan, dirinya bahkan merasa dicampakkan setelah mendengar bahwa Reyma lebih perhatian kepada kondisi Dirga daripada sahabatnya sendiri yang kini tengah berbaring di ranjang rumah sakit.

Bukannya iba ataupun berusaha menelpon Gerry yang turut ikut ke rumah sakit, namun justru berdiam di sekolah sembari melihat Dirga yang tengah mengusap peluh.

"Kasihan sih, tapi dia nggak kasihan sama gue."

"Right! Akhirnya ngerti."

"..."

"Nggak perlu merasa memiliki dia sampe nafsu makan berkurang karena sebuah kekecewaan yang lo bikin sendiri."

"..."

"Dirga udah punya prioritas, dan itu bukan lo. Karena bagi dia lo adalah arwah dari dimensi lain yang nggak bakal dianggap, dan nggak bakal direspon kehadirannya."

Lumayan sakit, akan tetapi sebisa mungkin harus bisa menerima apapun yang keluar dari mulut Dirga sekalipun mengatakan tentang kejelasan hubungannya dengan Agatha.

Menunduk, beranjak pergi selepas melirik sekilas ke arah Dirga tanpa tertahan dengan tatapan Mona yang seolah tengah memberi isyarat pada Reyma bila sedari tadi ada orang lain yang mendengar interaksi mereka.

"Nguping lo, ya?!"

Agatha menoleh, menyibak rambutnya ke belakang seraya menggeleng pelan. "Nggak kok, kebetulan lagi nungguin pacar yang lagi kena hukum kepala sekolah," jawab Agatha bersamaan dengan langkah Dirga yang mendekat sembari membawa sapu di tangan kanannya. "Kenapa?"

"Lagi berkomunikasi sama alien."

***

Berbagi hiasan bertema sport telah memadati hampir sebagian Trijaya. Mengejar deadline untuk pekan olahraga besok, semua pasukan dikerahkan guna mendekorasi sekolah agar terlihat menarik serta membuat decak kagum para penonton.

Seluruh atlet yang terlibat sempat berkumpul di aula utama terlebih dahulu, melaksanakan doa bersama guna kelancaran acara besok, hingga kehadiran orang tua di tengah-tengah mereka ... meminta restu agar diberikan kelancaran pertandingan yang diikuti sang anak.

"Ingat pesan Papa, kalah bukan berarti sebuah akhir, tapi menang sudah pasti awal dari terbentuknya karir baru kalian."

"Apaan, sih!" gerutu Arini sembari menyenggol lengan sang suami.

Menggendong serta Savea, memberikan gadis itu kesempatan untuk memeluk sang kakak, mencium pipinya berulang kali, menjadikan semangat baru bagi Dirga agar di pertandingan besok dapat dijadikan power sebagai kenangan atas piala kemenangan yang telah diraih.

"Ga, selain anggota keluarga dan murid boleh nonton, kan?"

"Boleh, acara terbuka untuk umum, kok. Kenapa?"

"Papa mau bawa suporter buat kasih semangat ke tim futsal Trijaya."

"Malu-maluin!"

Amar mengernyit penuh tanya, "kok, malu-maluin, Papa nggak telanjang loh, Ga."

Nyerah! Terus terang Dirga tidak ingin melanjutkan obrolannya dengan Amar jika tidak mau terlibat pertarungan sengit antara anak dan papa. Memilih diam, menoleh ke arah sekitar, celingukan bak tengah mencari seseorang bersamaan dengan aroma lavender yang baru saja melintas.

"Agatha!"

Bukan Diriga yang memanggil, akan tetapi Arini. Wanita itu masih ingat betul dengan wajah ayu Agatha ketika berkunjung ke rumahnya tempo hari. Menunduk tanpa mendongak sedikit pun, kini gadis itu memberanikan diri untuk menatap orang-orang yang tengah bersuka cita dengan keluarganya.

"Orang tua kamu mana---"

"Ma." Dirga lebih dulu menginterupsi Arini dengan menyenggol lengannya. Berharap tak menanyakan perihal privasi, terlebih tak melihat adanya tanda-tanda kehadiran orang tua Agatha di sana.

"Hmm.. Papa nggak bisa datang, beliau masih ada kerjaan di Turki."

Merasa bersalah atas pertanyaan yang ia lontarkan, Arini menutup mulutnya sendiri sebelum merangkul bahu Agatha agar mendekat padanya. "Nggak apa-apa, kita berdua kan, orang tua kamu juga. Jangan merasa sedih kalau Papa kamu nggak bisa datang, masih ada kita yang juga support kamu, kok."

Mengelus puncak kepala Agatha tanpa rasa canggung, memberikan kenyamanan pada gadis itu perihal kalimat yang baru saja ia katakan, begitupun dengan Amar. Pria itu bahkan ikut mencairkan suasana dengan segala jokes bapak-bapak yang baru saja ia kutip dari Facebook.

Merasa lega, tersenyum sumringah meskipun Sabara tak datang. Bahkan orang tua Dirga bersedia membuka kedua tangannya dan menyuruhnya untuk menganggap mereka sebagai orang tua. "Terima kasih, Om Amar, Tante Arini," ucap gadis itu dalam hati bersamaan dengan tangan seseorang yang menepuk-nepuk puncak kepalanya.

"Sama-sama."

***


Seriously, Tha? [TERBIT]✅Where stories live. Discover now