6 - Dalih dan Pergi

63K 4.4K 34
                                    

Menanti dengan was-was, khawatir, hingga berpikir jika anak sulung yang saat ini susah untuk dihubungi mengalami kendala di dalam perjalanan. Sejak tiga puluh menit setelah persetujuan Dirga akan pulang sebentar lagi, Arini segera menggenggam jemari Savea---gadis kecil yang saat ini mendongak ke arahnya, pergi keluar, berniat menunggu derum motor dari sosok yang telah dinanti sedari tadi.

"Maaf, Ma, Dirga tadi---"

"Udah-udah, anterin adik kamu dulu, dia terlambat sepuluh menit, nih," sergah Arini, memotong permintaan maaf Dirga dan segera menyuruh pemuda itu untuk beranjak pergi, mengantar Savea les balet.

"Kakak lama, aku udah nunggu dari tadi, tahu!"

"Maaf, Vea. Tadi Kakak---"

"Masih jalan sama pacarnya, ya?!" Seketika raut wajah Dirga berubah masam. Mengernyit sesaat sebelum menoleh ke arah Arini yang telah melambaikan tangan ke arahnya. "Pasti Mama yang komporin, Vea," batin Dirga sembari membantu sang adik memasang helm mungilnya sebelum naik ke motor.

"Bye.. Mama."

Lambaian tangan beserta teriakan nyaring dari Savea mampu membuat senyum Arini mengembang begitu sempurna. Turut memberikan respon pada sang anak, berlalu dari teras rumah guna masuk ke dalam ... menelepon sang suami lantaran baru ingat jika mereka ingin berdiskusi perihal email dari kepala sekolah Trijaya.

Di lain tempat, jalanan kota yang begitu padat dengan lalu lalang orang-orang yang baru saja pulang bekerja semakin menambah keringat yang mengucur di sekitar pelipis Dirga. Merasakan cengkraman begitu erat pada pinggangnya, mengurungkan niat dirinya untuk turun dan mengangkat tangannya, tak kuasa menahan hawa panas.

"Kata Mama, Kakak masih jalan sama pacarnya, makanya pulang terlambat dan lupa kalau harus nganterin Vea les balet."

"Pacar aja nggak punya."

"Bohong! Mama bilang kalau Kakak ketahuan pacaran di sekolah."

Tepat saat pernyataan gadis itu berakhir, motor Dirga telah berhenti di depan lokasi yang mereka tuju. "Mama bilang kaya gitu ke kamu?"

"Enggak, tapi aku denger sendiri waktu Mama marah-marah dan bilang kalau Kak Dirga ketahuan lagi ciu---"

"Sudah, sudah, kamu masuk, gih." Segera menutup mulut Savea dengan jemarinya, Dirga tak ingin mendengar kelanjutan ucapan dari gadis polos itu. Terlebih kata terakhir menunjukkan bahwa sang mama sempat menggerutu lantaran berita yang sempat heboh beberapa waktu.

Kembali berseteru dengan pikirannya, Dirga bahkan sama sekali tak memiliki planning akan memiliki seorang kekasih yang akan mengisi hari-harinya sebelum dinyatakan lulus dari Trijaya. Ingin fokus mengejar prestasi dalam pendidikan, namun insiden yang dianggap sebagai skandal justru melebar hingga melibatkan orang tua kedua belah pihak.

Duduk sendiri setelah berhenti dan memesan menu andalannya di kafe langganan. Menikmati semilir angin di sore hari, mengepulkan asap dari rokok yang baru saja ia hisap, semakin menambah rasa tenang walaupun ketika menginjakkan kaki di rumah, pikirannya kembali dihantui dengan hari esok.

Arini pasti akan murka jika kepala sekolah menunjukkan aksi mesum sang anak di depan murid lain. Rasa malu, ingin menghilang, serta siap dengan berbagai hukuman yang menanti sesampainya di rumah.

"Alamat nggak dikasih uang saku," gerutu Dirga sembari menyeruput secangkir kopi susu di depannya.

Kembali fokus menatap lurus ke arah jalanan, mencoba menstabilkan pikirannya dengan berbagai pemandangan orang-orang yang juga menikmati senja terakhir di sore hari ini. Entah dari kalangan keluarga cemara, pasangan muda-mudi, sahabat karib, rekan kerja, hingga pasangan yang terpaut usia cukup jauh.

Yang terakhir, Dirga tak mau mengoreksinya, karena biar bagaimanapun mereka memiliki hak untuk memilih dan menerima pasangan mereka dengan hati terbuka.

"Maaf, besok aku nggak bisa datang ke wisuda kamu. Anak aku lagi ada masalah di sekolah, jadi aku harus datang ke sana dan menyelesaikan semuanya."

Sepersekian detik setelah kalimat tersebut keluar dan mampu menembus gendang telinga Dirga, refleks ia menoleh ke arah sumber suara yang baru saja berlalu dari sana. Berjalan ke arah parkiran mobil, lalu melaju tanpa peduli dengan setumpuk pertanyaan dari pemuda yang menegakkan punggungnya.

***

"Ga, bisa bicara sebentar?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ga, bisa bicara sebentar?"

Mati kutu. Tarik Dirga sekarang juga dari rumah yang menjadikannya enggan untuk bermalam di sana. Menengok sesaat ke arah pasangan paruh baya yang tengah duduk di ruang tengah, membuat Dirga merutuki dirinya sendiri karena tak mengikuti kata hatinya untuk berjalan mengendap-endap dari pintu belakang.

Bergerak ragu, mendekat, sebelum akhirnya duduk dan menunduk takut, padahal kedua orangtuanya bersikap begitu hangat kala menyambut kepulangan dua anaknya. 

"Sekolah gimana, Ga? Lancar?"

Pertanyaan yang dulunya terdengar biasa saja, kini justru berubah horor dan takut menjadi petaka bagi sang target. Dirinya memberanikan diri untuk mendongak, menatap takut ke arah orang tuanya bersamaan dengan Savea yang disuruh untuk beristirahat terlebih dahulu.

Dirga mengangguk. "La-lancar, Pa. Sama seperti hari sebelumnya."

"Masa? Memangnya nggak ada sensasi berbeda setelah punya pacar?"

Celetukan Arini mampu membuat cowok itu mendongak, ingin menatap tajam, namun lebih dulu dipelototi oleh Amar---sang papa, seolah memberi isyarat bahwa dirinya tak boleh memberikan tatapan seperti itu kepada sang mama.

"Semakin lancar dong, Ma. Kan, sekarang nggak ada alasan untuk cepat pulang dan rebahan di kamar."

Giliran Amar yang mengeluarkan taringnya, semakin membuat keduanya terkekeh. Namun tidak untuk Dirga. Mukanya masih masam, cukup kesal lantaran tak ingin mendapatkan ejekan ataupun kalimat tersirat menuju sarkas.

"Lancar kaya jalan tol, bebas hambatan dan langsung terobos meskipun dilihatin banyak orang."

"Anak sekarang kalau udah cinta, tidak akan memandang tempat dan juga rasa malu. Kalau udah pengin, tengah lapangan pun jadi."

Cukup, sepertinya Dirga tahu arah pembicaraan mereka kali ini. Bangkit berdiri dari duduknya, melenggang ke lantai atas tanpa berhenti dan menoleh kala Amar mencoba menahannya. Dirga tidak mau emosinya keluar di hadapan mereka berdua. Memilih untuk menjauh dan kembali merebahkan diri sesuai aktivitas yang telah ia lakukan di hari-hari sebelumnya.

Melempar ranselnya ke sembarang arah, melepas sepatu tanpa menyisakan kaus kaki, lalu menjatuhkan diri di atas ranjang. Menatap langit-langit plafon putih seakan telah menjadi syarat bagi kedua matanya agar terpejam dan mulai mengarungi alam mimpi.

Perlahan, namun telah berlangsung selama beberapa menit, bahkan peluh yang tiba-tiba muncul semakin menambah degup jantungnya dua kali lipat lebih cepat diiringi dengan pergerakan alam bawah sadar yang menuntunnya untuk segera bangkit, mengubah posisinya menjadi duduk.

"Tai, bisa-bisanya gue mimpiin dia." 


***


Seriously, Tha? [TERBIT]✅Where stories live. Discover now