Dua Puluh Enam

4K 877 162
                                    

Bukan hanya sebatas makan malam, keduanya terjebak diharuskan menginap malam itu dan baru esok pagi bisa pulang. Angga tak sampai hati menolak permintaan kedua mertuanya. Sebelum malam terlalu larut, Angga dan Elara melipir ke pertokoan terdekat membeli pakaian ganti.

Angga juga sempat menggendong Raka setelah makan malam selesai. Balita mungil itu manis dan lucu. Angga menyukainya. Namun tidak demikian dengan Elara. Istrinya memasang raut jengah serta menolak kala Angga menyodorkan Raka untuk digendong. Sejumput rasa kecewa menelusup di hati Angga. Apa jangan-jangan Elara tidak menyukai anak kecil? Atau jangan-jangan Elara menganut childfree?

Ia mulai kalut. Jujur saja, Angga ingin punya anak. Satu orang pun cukup.

Namun, tembok pembatas yang dibangun Elara masih jauh dari kata runtuh. Bahkan untuk bermesraan saja perempuan itu belum luluh. Bila Angga menyinggung tentang anak, bukan tidak mungkin Elara akan menendangnya jauh-jauh.

Setelah berganti pakaian, Angga menemani ayah mertuanya mengobrol di halaman belakang. Hanya mereka berdua. Iparnya, Beno, sibuk dengan anaknya.

"Elara itu keras kepala, sama seperti Papa." Hadi melemparkan sejumput pelet ke kolam ikan mungil di hadapannya. "Papa harap, kamu mampu mendidiknya."

"Ya, Pa. Karakter Elara memang tidak lembut," kata Angga membenarkan sambil melirik pada mertuanya. Raut wajah pria itu tampak lelah. Sepertinya, beliau juga sedang banyak pikiran. "Tapi, itu bukanlah masalah besar. Kami mampu berkompromi dengan baik."

Hadi mengangguk-angguk. "Elara sangat cerdas. Dulu dia pernah menjadi juara tiga olimpiade fisika nasional."

"Oh, ya? Wow, keren sekali, Pa!" seru Angga takjub.

"Yah, sayangnya hubungan kami tidak pernah akur." Tatapan Hadi menerawang jauh. "Kamu jaga dia baik-baik," tukasnya sambil meremas bahu Angga.

"Pasti, Pa," sahut Angga menyanggupi.

Sorot mata ayah mertuanya tak mampu ia selami. Ada badai berkecamuk di sana, dan Angga tidak tahu apa artinya. Apakah pria itu menyesal atas perlakuannya kepada Elara? Entahlah. Dirinya bukan cenayang.

***

Elara tengah duduk di depan cermin rias kala Angga masuk kamar. Perempuan itu sudah berganti pakaian. Ia meneteskan cairan bening dari sebuah botol mungil ke wajahnya.

"Itu apa, El?" tegur Angga.

"Serum."

Angga mangut-mangut. "Jadi, nanti saya tidur di mana?" katanya sambil mengedarkan pandangan ke setiap sisi kamar sempit itu, mencari spot teraman dari ancaman kaki Elara.

Elara bangkit dari tempat duduknya setelah ritual menjelang tidur tersebut tuntas ia tunaikan. Ia menyusun bantal di tengah-tengah tempat tidur. "Kamu di sana, saya di sini," ucapnya menunjuk ke wilayah teritorial Angga.

Angga menatap Elara datar. "You hit my balls, you're dead!" ancamnya sengit.

Elara menggaruk kepalanya yang tak gatal. Kebiasaan tidurnya memang buruk. Bila sebelum memejamkan mata kepalanya berada di utara, bukan tidak mungkin saat pagi sudah pindah ke selatan. "Terus, gimana, dong?"

"Ya sudah, malam ini kita begadang saja," sahut Angga.

"Begadang? Ngapain?"

"Membuat bayi. Aduh!" Angga meringis kala tiba-tiba Elara mencubit perutnya.

"Jangan mesum!"

"Susah menyingkirkan otak cabul saya kalau sudah dekat kamu."

Elara mendelik jengkel. Ia belum siap meladeni kebutuhan batin Angga, meski perasaannya untuk Angga semakin menunjukkan eksistensinya. Darahnya berdesir setiap kali Angga menatapnya manja. Jantungnya berdegup kencang bila Angga menyentuhnya.

Quid Pro Quo (END - Terbit)Where stories live. Discover now