Tiga Puluh Satu

4.8K 775 143
                                    

"Tumben kamu menelepon Papa?"

Elara memutar bola matanya. Seperti biasa, sang ayah tak punya basa-basi. "Papa sehat?"

"Eh, sehat. Sehat. Ya, Papa sehat."

"Syukurlah."

"Kamu kenapa? Ada apa?"

"Ah, nggak apa-apa, Pa. Cuma ... " Mendadak tenggorokan Elara seperti tercekik batu besar. Pertanyaan ayahnya sedikit menyentil. Kapan terakhir kali ayahnya memperhatikan dirinya? Kamu kenapa, dia bilang? Elara melihat ponselnya, memastikan ia menelepon nomor yang benar. "Aku ... a–aku ... kapan ya, terakhir kalinya kita mengobrol tanpa bertengkar, Pa?"

"Ah, itu ...." Sang ayah terdiam cukup lama. "Papa juga ... kapan?"

Elara termenung. Air matanya membersit. Mengapa suasana hatinya mendadak melankolis begini? Padahal tadinya ia berniat mencak-mencak pada ayahnya. Namun, berkaca pada sikap suaminya, sepertinya ia harus mencari strategi lain dalam menghadapi pria berhati batu itu.

"Api jangan dilawan dengan api. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Apa gunanya?"

Menyedihkan sekali! Saking antipatinya, ia bahkan harus belajar dari Angga dalam mengenali karakter ayahnya sendiri.

Bukannya lo membenci Papa, El?

"El ...."

"Ya, Pa?"

"Kapan-kapan bisa kita ... " Terdengar ayahnya menghela napas panjang. "Sudahlah. Kamu sehat, kan?"

"Ya, Pa. Aku selalu sehat."

"Hmm."

"Pa?"

"Ya?"

"Aku boleh minta tolong?" Elara menggigit sudut bibirnya, bersiap-siap kena damprat oleh ayahnya. "Aku ... umm ... " gumamnya ragu-ragu.

"Katakan saja. Apa yang bisa Papa bantu?"

Elara terkejut. Ternyata sang ayah tidak marah. Ia menggigit bibirnya. "Soal Tira—"

"Kenapa dia?" potong ayahnya tak sabar.

"Aku tahu, Tira selalu berada dalam prioritas Papa. Hanya saja, sepertinya dia mulai berulah lagi."

"Berulah maksudmu?"

"Sudah cukup satu kali dia dan Beno menghancurkanku, Pa. Tolong, jangan ganggu suamiku. Aku capek hidup begini terus."

"Astaga! Apa yang dia lakukan?"

Elara menceritakan tingkah Tira secara singkat, lalu mengirimkan tiga buah tangkapan layar hasil chat–nya bersama Tira beberapa menit yang lalu. Intinya, perempuan itu mengkonfrontasi dirinya, mengancam akan terus mendekati Angga.

Ya, ia tahu Tira tidak akan berhasil mendekati Angga bila Angga menutup celah itu rapat-rapat. Akan tetapi, sampai di mana seorang pria bisa tahan bila digoda? Menghubungi ayahnya adalah semacam shortcut praktis yang terpikir oleh Elara. Mengadukan kelakuan Tira kepada Beno takkan ada gunanya. Pria itu kalah pamor dari istrinya.

Jujur saja, Elara lelah hidup seperti ini. Lelah berurusan dengan drama, lelah berurusan dengan keluarganya. Entah dendam kesumat apa yang dipelihara Tira untuk dirinya. Energinya terkuras untuk hal-yang tidak penting. Rasanya sudah cukup ia mengalah merelakan Beno bersama Tira. Bahkan ketika orang-orang bertanya mengapa keduanya bisa menikah, ia mengatakan hubungannya dengan Beno sudah lama berakhir untuk menutupi air keluarga.

Terserah bila ia dicap pengecut oleh Tira karena mengadu pada ayahnya. Terserah!

"Anak kurang ajar!" gerutu ayahnya kesal.

Quid Pro Quo (END - Terbit)Where stories live. Discover now