Dua Puluh Satu

4K 885 142
                                    

Orang bilang, perempuan adalah makhluk yang mudah terbawa perasaan. Begitulah yang terjadi pada Elara. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyukai kepribadian suaminya, meski bersikukuh menolaknya. Pesona pria itu sungguh sayang bila dilewatkan. Angga adalah sosok yang hangat, lembut, dan perhatian, ditambah sedikit mesum—sesuatu yang belakangan diwajarkannya mengingat aspek gender. Bukankah kelakuan setiap pria selalunya sama?

See? Tidak ada laki-laki dan perempuan yang bisa murni berteman tanpa salah satunya menyimpan perasaan. Dan Elara takut dirinyalah yang lebih dulu memulai pergumulan. Sumpah demi Tuhan, momen ketika Angga hampir menciumnya di balkon sungguh mendebarkan. Elara menyesal, mengapa malam itu dirinya tidak menyerah saja.

Terkutuklah engkau, wahai otak sialan!

Sikap hangat Angga membuat Elara bingung, dan itu berujung pada kebingungannya akan perasaannya sendiri. Angga tak segan-segan mengajak Elara memasuki circle–nya—bukan term mainstream yang dilihatnya dalam pernikahan pura-pura—sebuah dunia yang selama ini berada di luar jangkauannya. Pria itu mengajak Elara ke lapangan tenis, atau ke lapangan golf. Ia berkenalan dengan orang-orang dari dunia medis, mulai dari dokter konsultan, pengusaha farmasi, pejabat rumah sakit, sampai pejabat di kementrian. Ada beragam pembicaraan mengenai kesehatan, obat-obatan, dibarengi perputaran uang yang dibahas di sana. Untung saja Elara memiliki pengetahuan mumpuni terkait keuangan hingga ia tidak canggung ikut nimbrung dalam dunia mereka.

Angga juga berkeras membelikan Elara polis asuransi jiwa serta asuransi kesehatan yang membuatnya geleng-geleng kepala. Padahal, Elara merasa dirinya cukup sehat jiwa dan raga, dibuktikan dirinya jarang sekali sakit. Ia menganggap polis asuransi bukanlah kebutuhan mendesak. 

Tiga hari belakangan Elara dilanda bosan. Mood–nya berantakan. Biasanya ada Angga yang menemaninya mengobrol di kala malam. Kini pria itu sedang menghadiri konferensi para pemimpin rumah sakit yang diadakan di kota Medan.

Ia mengusap-usap ponselnya dengan bosan. Tangannya tergerak membuka aplikasi media sosial. Tak butuh waktu lama baginya menemukan akun Instagram Angga, begitupun akun fans base–nya seperti kata Nita. Pria itu tampil dalam berbagai pose resmi. Tampaknya akun Angga lebih banyak digunakan untuk mempromosikan rumah sakit, tempat menyimpan dokumentasi kegiatan resmi, serta sebagai sarana edukasi. Terbukti dengan beragam tema artikel pendek yang dimuat di sana. Tidak ada aktivitas pribadi. Bahkan, foto pernikahan mereka pun tak ada.

Jangan konyol! bentaknya mengingatkan dirinya sendiri.

Elara benci mengakui, ketiadaan Angga menghadirkan bait-bait sepi berujung irama rindu. Kala Elara menyirami tanaman Angga di balkon, ia bertanya-tanya kapan pria itu akan kembali.

Khusus merawat tanaman, ia berkeras tidak meminta bayaran seperti biasanya. Namun Angga tetap mengirim sejumlah uang ke akun e-wallet nya. Hampir dua bulan lamanya e-wallet Elara selalu terisi. Uang untuk jatah makan siangnya jadi terjamin.

Jumlah nafkah dalam kartu debit pemberian Angga tempo hari membuatnya takjub sekaligus meringis. Jumlahnya di luar ekspektasi Elara, jauh melebihi gaji bulanannya. Bahkan sebelum berangkat ke Medan, Angga juga memberinya kartu kredit. Untuk dipakai berbelanja, katanya. Kini ia maklum mengapa para istri sultan tidak bekerja. Cukup leyeh-leyeh di rumah, uang tetap mengalir deras ke rekening mereka.

Ponsel di tangannya berbunyi. Elara sontak menyunggingkan senyuman. Sebuah pesan masuk dari Angga. Ia segera membukanya.

Tampak foto Angga menjadi pembicara di dalam forum. "Suamimu keren, kan?" Begitulah caption foto tersebut.

Elara terbahak. Dasar narsis!

Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi lagi. Sebuah panggilan video. Kening Elara berkerut. Belum pernah Angga melakukan panggilan video sebelumnya. Biasanya Angga hanya menyapa sebentar lewat chat atau panggilan telepon biasa.

Quid Pro Quo (END - Terbit)Where stories live. Discover now