Tiga Puluh Tujuh

7.2K 760 144
                                    

Warning : 21++

Pulang ke Kota Pelajar tak lengkap rasanya bila tidak mencicipi kuliner-kuliner khasnya. Elara tidak menginginkan makanan mewah, melainkan kepingin mengisi perutnya dengan jajanan-jajanan pasar. Oleh sebab itu, ia menyerahkan pilihan kuliner sepenuhnya kepada Angga.

Sementara semalam, setelah kelakuan Angga membuat Elara ilfil setengah mati, Elara memasang mode ngambek. Tengah malam buta Angga terpaksa memasakkan seporsi mie instan kuah merek sejuta umat, yang ternyata membuat Elara bertepuk tangan kegirangan. Padahal itu hanyalah mie instan biasa. Membuat Elara bahagia ternyata hanyalah perkara receh bagi Angga.

Jumat pagi Angga mengajak Elara sarapan ke sebuah tempat yang cukup terkenal berada di kecamatan Kalasan, Soto Bathok Mbah Katro. Keunikan soto tersebut adalah soto dihidangkan di dalam mangkok yang terbuat dari batok kelapa. Isinya terdiri dari nasi, toge, irisan daging sapi, serta taburan bawang goreng dan seledri.

Harga sebatok soto sangatlah murah, tidak sampai 10 ribu rupiah. Pengunjungnya ramai. Pelayanannya pun cepat dan ramah. Tempatnya bersih walaupun lantainya masih beralaskan tanah. Di kiri dan kanan warung terdapat area persawahan yang padinya mulai menguning.

Elara menghirup udara segar beraromakan pucuk tanaman bercampur dengan wangi embun sepuas-puasnya. Di Jakarta ia takkan bisa menghirup udara segar seperti ini setiap paginya.

"Gimana? Enak?" tanya Angga begitu Elara menikmati suapannya.

"Lumayan, sih. Cuma kayaknya rempah-rempahnya agak nanggung."

Angga tersenyum kecil. Ia tahu Elara menyukai makanan yang berbumbu kuat, sedangkan makanan Yogyakarta terkenal manis dan kurang rempah. Tidak ada yang salah, preferensi dan lidah setiap orang tentu saja berbeda-beda.

Tanpa sepenglihatan Angga, Elara diam-diam menambahkan sambal ke dalam sotonya. Bila ketahuan, bisa habis dirinya diceramahi layaknya dokter dan pasiennya. Selain itu, ia juga menambahkan sate telur puyuh ke dalam batok sotonya untuk memperkaya rasa.

Sembari makan mereka mengobrol ngalor ngidul. Tanpa terasa Angga menghabiskan empat batok soto, sedangkan Elara hanya sanggup menghabiskan dua batok saja.

"Setelah ini kita ke mana, Mas?" kata Elara setelah Angga membayar makanan mereka dan kembali ke parkiran.

"Balik ke villa dulu. Kamu suka tantangan ekstrim?"

"Contohnya?"

"Ikut lava tour Merapi, mau?"

Elara mengangguk-angguk antusias. "Mau!"

Satu hal yang Elara tidak tahu, Angga sudah menyusun itinerary perjalanan mereka khusus untuk hari ini. Keesokan harinya, ia kepingin mereka beristirahat saja di villa sebelum kembali ke rumah orang tuanya, lalu pulang ke Jakarta.

***

Pukul sepuluh pagi, Angga membawa Elara ke pabrik coklat Monggo yang terletak di daerah Kotagede. Pabrik tersebut didirikan oleh seorang turis berkebangsaan Belgia, Thierry Detournay. Coklat Monggo dikenal dengan rasanya yang mumpuni serta berkualitas tinggi. Dalam proses pembuatannya, coklat Monggo menggunakan minim gula, sehingga rasa kakaonya lebih menonjol.

Elara membeli beberapa set coklat yang terdiri dari berbagai rasa. Ada stroberi, durian, jahe, kacang, dan sebagainya. Ia ingin menghadiahkan oleh-oleh tersebut kepada Nita dan Sara, juga rekan-rekannya di kantor.

Selepas dari Kotagede, mereka bertolak menuju Kaliurang. Angga telah memesan paket tour untuk merasakan napak tilas terjadinya semburan awan panas dahsyat dari gunung Merapi pada tahun 2010 silam.

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang