Dua

5.7K 956 308
                                    

Akhir minggu itu Elara menginap di rumah temannya, Nita, di daerah Cibubur. Keesokan paginya, ia menyempatkan diri datang ke arena bersepeda berbekal sepeda kepunyaan Nita, sedangkan di subuh buta temannya itu sudah menghilang bersama suaminya. Elara yang pemalas berolahraga menganggap itu satu-satunya kesempatan tubuhnya bisa bergerak. Dari artikel yang pernah dibacanya di media sosial, bersepeda atau lari pagi membuat tubuh menghasilkan endorfin atau hormon bahagia, sekaligus membuat otak lebih segar karena mata dimanjakan oleh pemandangan sekitar.

Sayangnya, matanya harus ternoda oleh pemandangan menyesakkan. Di kejauhan Elara melihat Tira dan Beno mendorong stroller anak mereka. Seketika mood Elara memburuk.

Tanpa pikir panjang, Elara putar haluan membelokkan sepedanya ke kiri.

Namun, dalam satu detik saja tubuhnya sudah terjengkang ke aspal. 

"Aww!" Elara meringis kesakitan. Punggung dan panggulnya nyeri. Dengan ekor matanya, ia melihat kaos di ujung sikunya robek dan sikunya berdarah. Untung saja kepalanya mengenakan helm.

"Kamu ndak apa-apa?" tegur seorang pria dengan logat Jawa samar bergegas mengulurkan tangannya membantu Elara.

Bukannya balas mengulurkan tangannya, Elara malah membentak. "Kalau jalan lihat-lihat, dong! Situ punya mata, nggak?!"

"Maaf, Mbak. Saya ndak tahu Mbak bakalan belok," jawab pria itu.

"Parah, Mas? Bawa ke rumah sakit aja," sela seorang pria lain muncul dari belakang.

"Ndak juga kayaknya."

"Nggak juga gimana?" sembur Elara kesal. Ia memaksakan dirinya berdiri, kemudian berkacak pinggang. "Mata, tuh, dipake, bukan dijual!"

"Mohon maaf, Mbak. Saya beneran ndak tahu Mbak bakalan belok," ulang pria itu sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. "Sepeda Mbak juga ndak ada lampu seinnya."

Elara melotot. "Sejak kapan sepeda punya lampu sein?"

"Sepertinya luka Mbak perlu diobati. Ikut saya ke klinik, ya, Mbak."

"Nggak usah!" bentak Elara lagi. Saking kesalnya, ia tak bisa berpikir jernih.

"Udahlah, Mas, kalau dia nggak mau diobati, kita tinggal aja. Dia yang salah, kok, dia yang ngegas?" kata pria yang satunya lagi menengahi. 

Elara berjengit melihat pria nomor dua itu merangkul pinggang pria pertama. Pikiran buruknya langsung berkelana. "Dasar kaum belok! Cakep-cakep sukanya pisang!" omelnya.

"Maksud kamu apa, ya?" Pria pertama membalikkan badan dan mengerutkan dahi.

"Udahlah, Mas, nggak usah dilawan. Kayak nggak tahu aja the power of emak-emak. Mau belok nggak lihat-lihat."

"Apa lo bilang? Emak-emak?" Elara meneruskan makiannya melihat kedua pria itu menjauh pergi bersama sepedanya. "Gue sumpahin lo berdua hidup melarat! Bangke! Sialan!"

***

"Apa ndak ada satu pun perempuan di Jakarta yang menarik perhatianmu, Nak? Di rumah sakit itu banyak nakes perempuan. Di media juga banyak. Teman-temanmu apalagi. Ndak ada satu pun yang kamu sukai?"

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang