Dua Puluh Sembilan

3.9K 839 149
                                    

"Maaf, Bu Elara, ada seseorang menunggu Ibu di depan."

"Siapa?"

"Beliau ... " terdengar jeda sejenak, "maaf, Bu, beliau tidak berkenan menyebutkan nama."

Elara mengernyitkan dahi. Siapa yang mencarinya ke kantor siang bolong begini? Seingatnya, ia tidak punya janji dengan siapa pun. "Baik, sebentar lagi saya turun," jawabnya malas.

Ia mengemas kotak makanan kembali ke dalam paper bag dan menyingkirkannya ke sudut meja. Saking malasnya keluar kantor, ia meminta salah seorang office boy untuk membelikannya makan siang di luar.

Elara menyambar ponselnya dan turun ke lantai bawah, langsung menuju front desk. Tampak seorang pria berkemeja putih berdiri di depan meja sambil mengobrol dengan dua orang perempuan penerima tamu. Posisinya membelakangi Elara yang muncul dari sisi kiri. Kedua tangan pria itu berada di dalam saku celana.

Elara berdeham kecil.

Pria itu langsung menoleh. "Hai, gorgeous," sapanya manis.

"So sweet!" terdengar salah seorang penerima tamu berbisik agak keras pada teman di sebelahnya.

"Hei," Elara balas tersenyum. "Kamu ngapain di sini," sambungnya pelan setelah berada di dekat Angga. Tak ayal ia terkejut, ini pertama kalinya Angga menyambanginya ke kantor.

Angga terpana. Barusan Elara tersenyum sangat manis. "Oh, saya ... maaf, saya datangnya dadakan," sambungnya terbata.

"Kayak tahu bulat aja!"

Angga terkekeh kembali menguasai diri. "Kamu sedang sibuk?"

"Tadinya lumayan. Lima menit lagi jam istirahat. Ada apa?"

"Saya sengaja ke sini mau mengajakmu makan siang di luar."

"Oh, itu ... " Elara menjeda sejenak, "kenapa nggak nelpon dulu?"

"Saya lebih suka memberi kejutan. Kamu ndak keberatan, kan?" Angga memasang raut polosnya. "Please?"

"Oke, oke!" Elara tergelak kecil. Lupakan saja soal makanan yang tergeletak di atas meja kerjanya. Makan siang bersama Angga jauh lebih menarik.

Tiba-tiba ia mengutuk dirinya sendiri yang bertingkah macam remaja tanggung mabuk kepayang. Pasca ciuman 'nyasar' ke bibir Angga tempo hari, dirinya sudah pasrah jika Angga bertindak agresif. Ia pasrah jika setibanya di apartemen, Angga menyerbunya dengan ciuman, lalu ciuman itu berakhir dengan cumbuan panas di atas tempat tidur.

Namun, begitu sampai di unit mereka, pria itu langsung menggeluyur pergi ke kamarnya, meninggalkan Elara yang terbengong-bengong sendirian. Elara geregetan bak orang gila berharap Angga berbalik arah, lalu ending-nya mereka berciuman ... bermesraan. Ugh!

Angga tega sekali menarik ulur hati Elara. Masalahnya, Elara tidak senekat itu. Bagaimana bila nanti dirinya dicap murahan?

Janji Angga berakhir bak jebakan. Kenapa bukan dia saja, sih, yang nyosor duluan?

"Saya sudah melakukan reservasi. Kita berangkat sekarang?"

"Oke." Elara mengangguk.

Angga mengucapkan terima kasih pada kedua penerima tamu tadi, lalu menggenggam tangan Elara.

Elara celingukan ke kiri dan ke kanan. "Risih, Dok," bisiknya berusaha menarik tangannya saat mereka mendekati lift.

"Risih kenapa?"

"Kita masih di kantor."

"Oke." Angga melepaskan genggamannya. "Seharusnya bodo amat, El. Biarkan saja dunia cemburu pada kita," bisiknya enteng.

Quid Pro Quo (END - Terbit)Where stories live. Discover now