Tiga Belas

4.6K 881 185
                                    

Satu bulan berlalu semenjak pernikahan mereka, hubungan Angga dan Elara bagaikan air dan minyak, saling menghindari satu sama lain. Atau lebih tepatnya, Elara yang menghindari Angga.

Angga memaklumi sikap Elara tersebut. Perempuan itu meneriakinya sebagai penipu di malam pernikahan mereka yang membuat Angga terpaksa tidur di sofa ruang tamu, sedangkan Elara di kamar. Nyamannya presidential suite yang mereka tempati terasa tak ada maknanya.

Kemarahan Elara dimulai dari status Angga yang ternyata straight, ditambah lagi Angga memaksa mencuri ciuman dari Elara—sesuatu yang tidak ia sesali sama sekali. Angga hanya menyesal hubungan mereka memburuk. Alih-alih berteman seperti harapan awal, melihat dirinya pun Elara tampak tak sudi.

Kala perempuan itu pindah ke apartemennya, mereka nyaris tak saling bicara, tak peduli seberapa kerasnya Angga mencoba. Elara hanya pintar berakting di depan keluarga besar mereka.

Perempuan itu pergi bekerja ke kantornya di bilangan Jakarta Selatan pukul setengah tujuh pagi tanpa sarapan terlebih dahulu. Sementara Angga pada rentang waktu tersebut baru saja kembali dari rutinitas lari paginya. Ia berangkat ke rumah sakit pukul setengah sembilan karena jaraknya yang tergolong dekat.

Malam pun demikian. Tatkala Angga pulang, Elara belum pulang. Tak jarang pula sebaliknya. Bila mereka terpaksa berpapasan, Elara buru-buru masuk kamar dan mengunci pintu. Mungkin takut dilecehkan oleh suaminya sendiri.

Tidak ada drama bulan madu. Elara menolak ide itu mentah-mentah beralasan tidak mengambil cuti tambahan dari kantor. Alasannya diperkuat oleh Angga yang mengaku banyak pekerjaan. Alhasil orang tua mereka tak lagi memaksa. Dua hari setelah menikah, keduanya kembali tunggang langgang melakoni drama kehidupan yang tak ada matinya, dan berjanji pada orang tua mereka akan berbulan madu pada suatu hari nanti.

Sabtu sore itu Angga baru saja pulang bermain tenis. Memasuki lobby apartemen, ia terkejut melihat ibu mertuanya sedang duduk menunggu di sana. Perempuan itu langsung berdiri menyambut kedatangannya.

"Mama?" Angga buru-buru menyalami Mama Nora. "Udah lama? Kenapa ndak ngabarin dulu? Kalau tahu Mama datang, saya bisa pulang lebih cepat," berondong Angga dengan pertanyaan.

"Ndak apa-apa. Mama kebetulan lewat, jadi sekalian mampir." Nora tersenyum tipis. "Baru pulang main tenis? Elara mana? Kok, telepon Mama nggak diangkat, ya?"

"Tadi keluar, Ma, ada keperluan," sahut Angga. Padahal ia tidak tahu sama sekali di mana keberadaan Elara. Yang ia tahu, kamar istrinya kosong saat ia berangkat tadi.

"Ayo, kita ke atas, Ma," ajak Angga. "Siapa tahu El sudah pulang."

"Anak itu suka semaunya," gerutu Nora pelan.

Di dalam lift mereka saling bertukar kabar. Setelah Angga menikah, baru kali ini mereka bertemu lagi. Biasanya Angga hanya rajin menyapa kedua mertuanya lewat chat ataupun panggilan telepon. Dari Mama Nora Angga tahu bahwa ayah mertuanya kini sedang berada di Flores memantau pengerjaan proyeknya. 

"Flores itu indah," kata Angga. "Mama ndak ikut Papa sekalian liburan? Kalian bisa berkencan seperti waktu muda dulu. Toh, anak-anak sudah besar."

Nora tersenyum kecil. "Capek. Mama juga sudah bosan ke Flores," katanya berbohong. Sudah pasti suaminya membawa Jihan meskipun status keduanya di mata orang lain hanyalah sebagai bos dan sekretaris. Nora tidak lagi memedulikan keduanya. Namun tak  membohongi diri bahwa jauh di dalam hatinya terasa sangat sakit. Itulah konsekuensi dari pilihan yang ia buat.

"Silakan masuk, Ma." Angga membukakan pintu.

"Makasih." Nora berjalan lambat menuju ruang tamu. "Wow, unit kamu keren, ya."

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang