Enam Belas

3.9K 819 132
                                    

"Kamu sudah telpon Jani?" cecar Elara mengiringi langkah Angga ke dapur. Setidaknya ia menghargai usaha Angga mencairkan suasana di antara mereka. "Kok, dia bisa tahu, sih, kita hanya pura-pura?"

Angga tertawa kecil. "Dulu kami sering bilang Jani itu punya indera keenam. Tapi tenang saja, dia ndak akan buka mulut," sahut Angga memastikan. "Kamu lihat sendiri, kan, gimana masa bodohnya Jani?"

"Oke." Elara duduk di kursi makan. "Saya baru tahu, ternyata kamu benar-benar bisa memasak. Saya pikir Mami bohong," katanya teringat cara Angga memainkan pisau di atas talenan.

Angga mengangkat bahu. "Kamu mau dimasakin apa?"

"Adanya apa?"

"Lumayan lengkap, nih. Dua hari yang lalu Syila berbelanja. Ada ayam, daging, telur, udang, cumi—"

"Kamu juga ngasih urusan belanjaan ke Syila?" potong Elara. "Enak, ya, punya asisten."

Angga tertawa kecil. "Kamu mau punya asisten juga? Saya bisa cariin lewat Syila."

Elara terbahak. "Nggak usah, memangnya saya siapa? Kamu bisa bikin sei sapi?"

"Sei sapi yang beneran tentu saja ndak, El. Tapi kalau sei sapi ala-ala, sih, bisa."

Sei sapi merupakan olahan daging khas Nusa Tenggara Timur yang pada proses aslinya dimasak dengan cara diasapi hingga matang. Namun, tentu saja proses tersebut tidak bisa dilakoni di apartemen yang ruangan serta peralatannya serba terbatas itu.

Angga berjongkok mengecek rak tempat menyimpan sayuran. "Daun singkongnya ndak ada, El. Cuma ada pakcoy, lettuce, wortel—"

"Ganti ke pakcoy aja nggak apa-apa, kan?"

"Oke." Angga mengeluarkan bahan-bahan pembuat se'i sapi ala-ala yang ia sebut tadi, kemudian mengeluarkan panci presto mungil untuk merebus daging. Ia mencuci daging, memasukkannya ke dalam presto, kemudian menambahkan aneka rempah seperti lengkuas, jahe, sereh, bawang putih geprek, garam, air, daun-daunan, minyak zaitun, serta bumbu-bumbu lainnya. Selanjutnya, ia merebus daging tersebut sampai empuk.

Selagi merebus daging, Angga mempersiapkan bahan-bahan pembuat sambal serta sayurannya. "Kita bikin sambal matah saja ya," katanya pada Elara.

"Oke."

"Oh, ya. Beneran kamu ndak bisa masak?"

"Kenapa memangnya? Masalah buat situ?" Elara memicingkan matanya kesal.

"El," Angga menatap Elara lembut. "Saya cuma bertanya, bukan bermaksud menghakimi kamu. Saya ndak ada masalah dengan perempuan yang ndak bisa memasak. Jadi ndak usah ngegas. Relax. Kamu ndak takut stroke tegang urat saraf melulu?"

Elara sontak menurunkan nada suaranya. "Males."

"Kenapa malas?"

"Gimana nggak malas, Dok? Memasak itu menghabiskan waktu setengah sampai satu jam, tapi ngabisin makanannya cuma lima menit. Habis itu saya harus cuci piring lagi."

Angga terbahak. "Masuk akal juga. Jadi waktu kuliah dulu gimana? Kamu pulang tiap hari? Atau ngekos dan berlangganan katering?" tanyanya teringat Elara menempuh pendidikannya di Depok sana.

"Beli jadi, seadanya aja. Saya ngekos dekat kampus. Saya juga kerja, jadi ndak ada waktu buat masak."

"Kerja? Hebat kamu, kuliah sambil kerja" puji Angga.

"Kalau saya nggak kerja, saya nggak makan."

Kening Angga langsung berkerut. "Maksud kamu?"

Sudah terlanjur, Elara terpaksa buka kartu dan menjawab sambil membuang muka. "Papa cuma ngasih uang buat bayar UKT. Sisanya saya harus cari sendiri. Ya, biaya ngekos, biaya makan, beli baju."

Quid Pro Quo (END - Terbit)Where stories live. Discover now