Dua Puluh Dua

3.8K 867 247
                                    

Setelah dua jam lebih di udara, pesawat yang ditumpangi Angga mendarat di bandara Soekarno–Hatta. Ia celingukan mencari keberadaan Elara di antara sekumpulan manusia di area penjemputan. Sedangkan dua orang staf yang ikut dengannya sudah lebih dahulu pamit.

"Mas Angga nggak ada yang jemput? Bareng aku aja, yuk," celetuk Gwen menawarkan. "Aku dijemput manajer."

"Terima kasih, Gwen. Saya sudah ada yang menjemput," tolak Angga sopan. "Nah, itu dia, istri saya."

Angga melambaikan tangannya melihat kehadiran Elara di kejauhan. Perempuan itu balas melambaikan tangan dengan raut berseri-seri. Angga sampai meragukan penglihatannya sendiri. Tumben sekali?

Bergegas ia menyusul Elara. Sementara Gwen tetap mengiringi di sampingnya, menempel seperti perangko, bahkan sejak turun dari pesawat tadi. Angga jadi risih sendiri.

"Hai, maaf aku telat," kata Elara menyapa.

"Ndak ma—"

Belum selesai menjawab, Angga terlongo kala tiba-tiba Elara merangkul pinggangnya dan mengecup pipinya.

Dan bukan Angga namanya kalau tidak cepat memanfaatkan kesempatan. Ia membalas ciuman di pipi Elara, sengaja mengenai sudut bibir, kemudian memeluk perempuan itu erat-erat. "Hai gorgeous," bisiknya yang dibalas Elara dengan cubitan keras di pinggangnya. Angga meringis tertahan.

Setelah pelukan mereka terlepas, Angga baru melihat pipi istrinya merona merah. Kena kamu, El!

"Kamu nggak ngenalin aku ke teman kamu?" celetuk Elara kemudian.

Angga mengerutkan dahi. Teman? Saat melirik ke samping, ia baru tersadar."Oh, ya, kenalkan ini Gwen," katanya buru-buru memperkenalkan Elara kepada Gwen.

"Hai, saya Elara." Elara mengulurkan tangannya. "Istrinya Mas Erald."

Angga tiba-tiba termangu. Kata-kata Elara barusan terdengar merdu di telinganya. Pertama kali bertemu Elara pada kencan buta, dirinya juga dipanggil Erald.

Nama itu juga membangkitkan kenangan lama yang ingin dikuburnya dalam-dalam. Hanya saja, dulu dirinya dipanggil dengan nama Emerald, bukan Erald. Namun rasanya, ia tidak keberatan dipanggil seperti itu oleh Elara.

Gwen memaksakan senyuman. "Gwen. Saya dan Mas Angga dulunya sempat dekat."

"Oh, sayang sekali, ya," komentar Elara pura-pura prihatin.

Gwen terlihat bingung. "Ken—"

"Maaf, kami harus buru-buru pulang. Kangen soalnya. Udah empat hari nggak ketemu." Elara menggenggam tangan Angga. "Senang berkenalan dengan kamu, Gwen. Duluan, ya. Daaah!"

Elara melambaikan tangannya meninggalkan Gwen yang memasang tampang merengut. Ia heran sendiri, mengapa sekarang banyak perempuan yang tidak tahu malu seperti itu. Bahkan sejak melihat Angga tadi, ia sudah jengkel setengah mati, Gwen jelas menempeli Angga seperti lintah.

Tidak mungkin perempuan itu tidak tahu Angga sudah beristri. Pernikahan mereka kemarin juga dihadiri beberapa artis.

"Sepertinya kamu kangen banget, ya, sama saya?" celetuk Angga sembari mengulum senyuman.

Elara mendelik. "Mimpi aja sana!"

Angga tertawa gemas. Benaknya kini mulai memikirkan yang tidak-tidak, dan ia berusaha keras menjaga kewarasannya.

"Enak ya, didampingi perempuan cantik?" sindir Elara tiba-tiba.

"Siapa? Gwen?"

"Siapa lagi? Dia juga direktur rumah sakit?"

Quid Pro Quo (END - Terbit)Where stories live. Discover now