Sebelas

3.8K 1K 358
                                    

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Elara Soebagio Matthews binti Hadiman Soebagio dengan maskawinnya yang tersebut, tunai."

"Bagaimana para saksi?"

"Sah!"

Elara mendengarkan lafadz ijab kabul yang terucap lantang dalam satu tarikan napas tersebut dari dalam ruangan melalui pengeras suara. Terdengar orang-orang bergumam syukur. Ia menarik napas panjang. Matanya terpejam beberapa saat tatkala kata sah bergema di telinganya.

Ingin rasanya El menggaruk kepalanya yang kini terasa besar oleh sanggul. Perutnya bergejolak mual. Biar bagaimanapun, rasanya ia masih jauh dari kata siap.

Sudah bosan rasanya ia mengatakan, ini bukanlah pernikahan yang ia impikan. Namun kenyataan tak selalu sesuai harapan.

Omong kosong apa ini, ya Tuhan!

"WowEl!" seru Nita menghampiri Elara. "You're perfectly flawless!"

Elara tampil ayu dan anggun dalam balutan kebaya panjang berwarna putih ditaburi payet serta dipadupadankan dengan batik bernuansa coklat keemasan. Riasan wajahnya serta riasan paes khas Yogya Putri membuat perempuan yang selalu mengaku sebagai itik buruk rupa itu berubah menawan.

Ritual pernikahan seperti siraman dan midodareni sudah mereka jalani dengan baik. Melelahkan, pastinya. Kini ijab kabul pun sudah terlaksana. Entah ia harus merasa lega atau terbebani. Lega, takkan lagi dirongrong oleh keluarganya untuk menikah, diperkenalkan pada lelaki antah berantah yang membuatnya kepingin muntah. Terbebani, mengingat betapa seriusnya persiapan pernikahan ini.

Bagaimana bila suatu hari mulai ada yang tidak sejalan? Belum lagi beban bahwa ia harus menjaga nama baik kedua keluarga dan sebagainya. Membayangkan raut penuh kasih Mami Irene membuatnya merasa bersalah.

Andaikan Tira tahu bahwa dirinya menikah dengan perjanjian, perempuan itu akan semakin bersorak kegirangan. Entah apa yang membuat Tira begitu membencinya. Di masa kecil, hubungan mereka baik-baik saja. Beranjak remaja, perempuan itu berubah menjadi tukang risak.

Elara tertawa—atau meringis? Kedua sahabatnya yang menjadi seksi sibuk di sepanjang acara juga tampil cantik. "Makasih. You too."

"Sumpah, lo beneran cantik banget, El. Gue jamin Angga klepek-klepek ngelihat lo,' timpal Sara.

"Ada-ada aja lo, Sar." Elara terbahak kecil.

Nita celingukan memperhatikan keadaan sekitar. "Eh, itu si duo valak nggak kelihatan dari tadi. Di–blacklist atau apa?" bisiknya.

Elara mengangkat bahu tak peduli. Sejak acara siraman digelar, Beno tak hadir, sedangkan Tira hanya muncul sebentar dengan alasan anaknya sakit. Baguslah, setidaknya Elara bisa menjaga hatinya dengan benar-benar memupus bayangan akan pernikahan impiannya bersama Beno.

Go to hell, Ben, go to hell! omelnya dalam hati. 

"Ijab kabul sudah selesai. Kita siap-siap, ya, Mbak." Seorang panitia dari wedding organizer menghampiri memberikan aba-aba. "Silakan, Bu, digandeng putrinya," tuturnya pada Nora.

Nora menghampiri putrinya dan menggandeng tangannya. Sara dan Nita mengiringi di belakang.

Belum sempat mereka keluar, tiba-tiba Nora tertegun. Langkahnya sontak terhenti. Raut mukanya yang tadi semringah berubah datar.

"Selamat, ya, El. Kamu cantik banget hari ini."

Elara mengepalkan tangannya geram. Mau apa si valak nomor tiga ini di sini?

"Makasih," jawabnya sambil menahan diri. Ingin rasanya ia mencakar bibir tipis yang kini tersenyum mengejeknya dan ibunya. Entah siapa yang mengundang gundik ayahnya itu ke pernikahannya.

Quid Pro Quo (END - Terbit)Where stories live. Discover now