Tiga Puluh Enam

4.9K 789 118
                                    

Part ini berisikan hal-hal yang sering dianggap tabu untuk diperbincangkan (seksualitas). Kalau kalian merasa tidak nyaman, skip aja. Thank you.

***

Dua batang rokok sukses menjadi abu. Angga menjepit batang ketiga dari sebungkus rokok-yang didapatkannya dari penjaga villa di depan-di sela bibirnya, lalu menyalakan korek api. Entah sudah berapa menit ia menyendiri di sana. Cahaya bulan sabit yang membias di kolam renang tak membuat suasana hatinya membaik.

Ia tertampar realita, menyalahkan ketololannya sendiri yang tidak peka. Sudah satu minggu lamanya ia mencumbu istrinya di setiap kesempatan yang ada. Terkadang mereka melakukannya hingga dua kali dalam sehari. Bodohnya, ia tak pernah bertanya apakah Elara menikmati hubungan intim mereka atau tidak. Ia tidak pernah bertanya kepuasan Elara. Ia berasumsi Elara puas karena setiap kali mereka bertukar peluh, Elara selalu mengerang dan mendesah.

Kepercayaan dirinya luluh lantak. Angga bisa memastikan Elara sudah sepenuhnya terangsang ketika ia melakukan penetrasi. Ia pikir dengan durasi bercinta yang cukup lama otomatis membuat perempuannya merasakan nikmat. Tetapi ternyata, durasi bukanlah segalanya. Bodoh sekali!

Angga malu, teramat malu. Mentalnya anjlok. Entah ke mana ia harus menyembunyikan muka.

Sedang asik merenung, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara seorang perempuan yang menyapanya genit.

"Sendirian aja, Mas? Mau ditemani nggak?"

Angga terlonjak kaget dan sontak menoleh ke belakang. Perempuan itu bertubuh tinggi semampai, seksi, hanya mengenakan celana pendek dan tanktop bertali mini bersandar di samping pintu. Perlahan-lahan detak jantung Angga yang berpacu kencang kembali ke mode normal.

"El?" tegurnya. "Kamu ndak tidur?"

"Nggak bisa tidur." Elara mengambil tempat di samping Angga, lalu menyodorkan sekaleng bir yang ditemukannya di lemari pendingin kepada Angga, sedangkan satu kaleng lagi untuk dirinya sendiri.

Bagaimana bisa Elara tidur kala rasa bersalah mencekik lehernya. Beberapa menit setelah Angga pergi, perutnya melilit saking cemasnya. Elara memberanikan diri turun dan mencari suaminya. Menunggu sampai esok hari sungguh tak mungkin. Bisa-bisa malam ini ia mati berdiri karena khawatir.

Siapa tahu, alur cerita pernikahannya berjalan seperti di dalam novel. Angga kelayapan keluar sana mencari sembarang perempuan untuk membuktikan kejantanannya. Lalu tiba-tiba bulan depan rumah tangga mereka berada di ujung tanduk karena perempuan itu hamil sebab cinta satu malam. Begitu mendapati sang suami termenung di pinggir kolam renang, hatinya diliputi rasa lega.

See? Pikirannya dipenuhi drama!

Angga beringsut menjauhi Elara. "Jangan dekat-dekat, aku merokok."

"Santai aja." Elara membuka kaleng bir miliknya dan meminumnya seteguk. "Sayangnya nggak ada Macallan, ya," gumamnya pelan.

Anggak tak menanggapi dan Elara melanjutkan, "Aku baru tahu Mas Erald ngudud."

"Hidup penuh dengan paradoks," jawab Angga pendek. Ia getol menyuarakan bahaya rokok kepada masyarakat, tetapi ketika sedang stress, ia mengisap benda beracun itu sesekali.

Hening. Keduanya terdiam tanpa kata, larut dalam prasangka masing-masing.

Elara tak tahu harus mengatakan apa. Katakanlah dirinya bodoh tentang seksualitas. Pengalamannya nol. Ia tidak menyangka perkara orgasme saja bisa membuat Angga ngambek. Padahal seharusnya, dirinyalah yang uring-uringan karena tak terpuaskan.

Bila Angga berharap dirinya meminta maaf, itu takkan dilakukannya. Elara sudah berkali-kali meminta maaf sebelum Angga pergi, dan Angga tak mendengarkan. Lagipula, itu bukanlah kesalahannya. Elara hanya mengungkapkan isi hatinya atas desakan Angga. Lalu, salahnya dimana?

Quid Pro Quo (END - Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang