Tujuh

4.5K 886 324
                                    

Jumat malam, Angga mengajak Attar dan Costa berkumpul di apartemennya setelah mereka mengisi perut di sebuah restoran. Dalam rencananya, Angga ingin bermain Grand Turismo terbaru dengan salah satu di antara mereka. Boys will be boys. Ia masih menggemari aneka permainan PlayStation yang digandrunginya sejak remaja.

"Orang gila mana yang nekat ngajak nikah perempuan yang baru dia temui satu kali tanpa background check?" sembur Attar setelah pintu di belakangnya tertutup.

Setelah mendengarkan cerita Angga tempo hari di telepon, sungguh Attar tidak mengerti. Bisa-bisanya Angga nekat mengajak perempuan itu—Angga bilang namanya Elara—ke pelaminan. Pertemuan pertama mereka di arena bersepeda kurang mengenakkan. Masih lekat di kepala Attar raut jutek Elara yang tidak mau disalahkan atas tindakannya yang berbelok sembarangan, malah masih sempat meneriakkan sumpah serapah yang membuat kuping Attar kepanasan.

Apakah sepupunya berpikir pernikahan sebercanda itu? Apakah nasib Angga sengenes itu dalam mencari belahan jiwanya? Tiba-tiba saja Attar merasa kasihan kepada Angga. Santer terdengar kabar dari adiknya, nasib Angga semakin apes setelah berkenalan dengan Tante Niken. Namun demikian, akal sehatnya masih tak bisa menerima. Kok, bisa?

Angga membuka dua kancing teratas kemejanya. "Ngomel melulu," katanya tenang, tidak terpengaruh dengan omelan Attar.

"Gimana nggak ngomel? Tindakan Mas itu nggak masuk akal. Logika Mas lagi salto, ya? Malu sama gelar, Mas. Jauh-jauh kuliah ke Amerika ngapain aja? Nitip absen?" omel Attar lagi.

"Life is simple, Attaruna. You make choices and you don't look back," kata Angga mengutip perkataan Han Lue dalam film Tokyo Drift. Terkait omelan adik sepupunya itu, ia memilih tidak  ambil pusing.

"Tapi seenggaknya, sebelum ngajakin dia nikah, Mas cek dulu nomornya di Get Contact, siapa tahu dia pernah open BO."

"Astaga!" Costa mendelik memperingatkan Attar. Costa memang tidak menyetujui tindakan Angga yang menurutnya gegabah, namun ia tidak sefrontal Attar dalam menyampaikan keberatannya. Sikap tenang dan aura Angga membuatnya sungkan.

"Who knows, kan, Mas? Masuk akal, nggak?" Attar berbalik menatap Costa. "Siapa tahu juga dia buronan debt collector."

"Dia ndak punya hutang." Angga mengusap ponselnya, diam-diam membuka aplikasi Get Contact. Beberapa detik kemudian, ia menyeletuk, "Aman, Dek. Elara ndak pernah open BO," ucapnya dengan polosnya.

Attar merebut ponsel Angga, membaca tag yang disematkan satu persatu. Dari tag yang tanpa sengaja menunjukkan kredensial seseorang tersebut, ia bisa tahu pekerjaan Elara berkutat di bagian keuangan. Tidak ada yang aneh. Namun, semakin ia menggulir ke bawah, ia menemukan sesuatu.

"My Honey? Mas beri nama kontaknya kayak gini?" cecar Attar.

Angga menggeleng.

"Mungkin mantannya," celetuk Costa

"Bisa jadi," timpal Angga tak acuh. "Kalau kamu ndak suka Elara, ya, lusa kamu ndak usah ikut, Dek," kata Angga teringat jadwal keluarganya di hari minggu yang hendak bersilaturrahmi ke rumah orang tua Elara.

Bila merunut silsilah dalam kekerabatan Jawa, seharusnya Angga memanggil Attar dengan sebutan Mas, meskipun dirinya yang terlahir lebih dahulu. Namun, berhubung Attar lahir dan besar di Jakarta, panggilan kekerabatan tersebut seakan-akan tergerus zaman yang kian berubah. Sewaktu kecil Angga pernah disuruh ayahnya memanggil Attar dengan sebutan Mas, tetapi akal sehatnya tak bisa menerima. Mengapa ia harus memanggil Mas kepada bayi yang baru saja nongol ke dunia?

"Siapa juga yang mau ikut? Om Rama bilang cuma kalian yang ke sana," Attar mendengus. "Lagian besok pagi aku ke Surabaya. Udah dua bulan nggak ketemu Retha."

Quid Pro Quo (END - Terbit)Where stories live. Discover now