Delapan

4.3K 947 317
                                    

Elara tidak sempat memperhatikan lebih lama, tahu-tahu ia sudah diseret oleh Arby ke belakang. Untuk sementara, Elara pun terbebas dari rasa dengkinya melihat Tira dan Beno serta anak mereka.

Sementara itu, rombongan keluarga Angga disambut baik oleh keluarga besar Elara.

"Kalau tidak salah, dulu kita pernah bertemu sebentar sebelum kamu berangkat ke Amerika," kata Hadi kepada Angga. Perusahaannya sudah beberapa kali dipercaya mengerjakan proyek-proyek besar keluarga Gunardi. "Beberapa tahun yang lalu. Mungkin kamu sudah lupa," tukasnya.

"Oh ya, benar, Om. Saya ingat. Tapi, tampaknya sekarang Om jauh lebih sehat dan gagah dibandingkan dulu," jawab Angga tersenyum lebar.

Pujian singkat itu melambungkan Hadi. "Ah, bisa saja kamu." Ia terkekeh menepuk bahu Angga. Tak terlukiskan rona bahagia di wajahnya, sebentar lagi bermenantukan pria dari keluarga ternama. Meskipun sayangnya, bukan putri sulungnya yang bersanding dengan Angga. "Mari masuk. Ayo Pak Rama, Bu Irene, silakan," katanya mempersilakan rombongan calon besannya masuk ke rumah.

"Terima kasih, Pak Hadi dan Bu Nora. Senang sekali rasanya bisa berkumpul kembali di hari yang berbahagia ini," sambut Irene. Anjani dan anggota keluarga lainnya mengiringi di belakang sembari membawa seserahan.

Setibanya di dalam, kedua keluarga besar itu duduk saling berhadapan di tempat duduk yang telah disediakan. Nora meminta maaf kepada seluruh yang hadir, mengingat keterbatasan waktu, acara tersebut terpaksa digelar sesederhana mungkin.

Tanpa berbasa-basi lebih lama, prosesi lamaran itu pun dimulai. Irene mewakili keluarga besarnya berdiri mengucap kata sambutan.

"Bapak Ibu sekalian. Saya selaku perwakilan dari keluarga Bapak Rama Hadyan Gunardi, datang dengan segenap ketulusan bermaksud melamar putri Bapak dan Ibu tercinta, yaitu Elara Soebagio Matthews untuk menjadi istri dari putra kami, Airlangga Emerald Gunardi. Sekaligus untuk menjadi putri kami, yang akan kami sayangi dan cintai sebagaimana Bapak dan Ibu mencintainya dengan sepenuh hati. Kami sangat berharap kedatangan kami akan diterima dengan lapang dada dan rasa bahagia," kata Irene mengutarakan maksud dan tujuannya.

Setelah kata sambutan tersebut, Hadi berdiri dan menjawab lamaran dari keluarga Angga. "Terima kasih atas niat baik Bapak dan Ibu telah melamar putri kami. Kami sebagai orang tua menyatakan menerima lamaran Bapak dan Ibu. Namun tentunya, keputusan akhir kami serahkan kepada Elara, karena Elara lah yang akan menjalani pernikahan tersebut nantinya," katanya berdiplomasi.

Tibalah momen di mana Elara bergandengan tangan dengan Arby muncul di hadapan keluarga mereka. Angga melemparkan senyuman, dibalas oleh Elara dengan senyuman kikuk dan canggung.

Tidak lama setelah itu, Angga berdiri mendekati Elara. "Hai, El," sapanya hangat.

"Hai, Dok. You look good," puji Elara tak tahu harus mengatakan apa.

"I am. Jangan naksir, ya," jawab Angga setengah berbisik.

Elara mencebik. "Dih, pede amat!"

Keduanya terpaksa memutus percakapan absurd tersebut kala Irene menyeletuk menyindir anaknya, "Mas Angga, kamu ini mau melamar atau merayu? Sabar to, Nak."

"Maaf, Mam," jawab Angga jenaka. Ia mengalihkan pandangannya dari Elara, kemudian berdeham, "Sekitar tiga minggu yang lalu, saya dan Elara dipertemukan dalam sebuah kencan buta, tepatnya tanggal tiga belas, pukul 19.45. Dan saya masih ingat, dia jutek sekali pada saya."

Terdengar orang-orang tergelak kecil. Elara diam-diam mengerutkan dahi, Angga detail sekali. Pukul 19.45? Benarkah? Dan apakah penting pria itu mengatakan ekspresi jutek Elara malam itu di hadapan para hadirin?

Quid Pro Quo (END - Terbit)Where stories live. Discover now