42

60 20 0
                                    

Niat awalnya untuk menjenguk pasien yang sakit sekarang Firza malah ikutan jadi pasien yang harus dirawat oleh petugas medis yang ada di Rumah sakit Merdeka.

Firza terbaring di atas ranjang dengan selang infus yang terpasang pada tangannya. Di samping ada Nizar yang sejak tadi pagi duduk di samping ranjang sang teman menunggu dia membuka mata setelah hampir semalaman penuh yang bersangkutan tidak sadarkan diri.

Setelah shift berakhir, Nizar memilih untuk menunggu Firza sadar karena sang Kakak tidak bisa datang dikarenakan anaknya rewel. Dengan senang hati, Nizar menerima tawaran Riana karena kebetulan hari ini jadwal dia libur.

Sebelumnya Nizar sudah memberitahu pada Riana jika Firza pingsan karena asam lambungnya yang sempat tinggi dikarenakan stress dan telat makan yang sangat-sangat melenceng jauh dari jam makan biasanya. Meskipun nampak urak-urakan, Firza sangat disiplin dengan waktu makannya berhubung sadar diri memiliki perut yang agak rese jika telat makan dikit rasanya pengen dipanggil Tuhan aja gara-gara sakitnya luar biasa.

Kemarin malam Firza mendadak lupa diri karena sangat-sangat khawatir dengan keadaan Azam yang tiba-tiba dinyatakan koma. Sebenarnya Firza sudah merasakan jika perutnya mulai terasa sakit dari siang, namun dia abaikan karena sakitnya masih bisa  ditahan yang endingnya pas malam dia malahan tumbang sebelum perutnya diisi roti dan susu dari Nizar.

Kesadaran Firza mulai kembali ke tempat. Tangannya bergerak pelan. Diikuti matanya yang mulai terbuka perlahan.

Nizar yang sedang fokus dengan HP-nya melihat Firza mulai tersadar langsung bangkit mendekatkan tubuh ke arah Firza.

"Fir, lu sadar?" tanya Nizar ketika mata Firza terbuka sepenuhnya.

Firza langsung bangun hendak berdiri, namun langsung ditahan oleh Nizar yang membuat mau tak mau Firza duduk di atas ranjang.

"Lepas! Gue mau lihat Bang Azam!" Firza memberontak. Untung darah tak naik ke atas infus.

"Bego ya lu! Lihat tuh tangan pake infus. Sakit ya sakit, di mana ada konsep orang sakit jengukin orang yang sama-sama lagi sakit."

Firza tak peduli. Dia tetap memberontak.

"Nizar lepasin gue!"

"Diem ye. Nanti darah lo naik ke atas infus, sakit banget loh. Mending diem daripada gue kasih lo obat bius!"

Baru Firza tenang. Dia menundukkan kepalanya dengan wajah yang madesu. Sama sekali tak ada aura kehidupan.

"Lu tidur lagi aja. Nanti kalau udah sembuh bakalan gue bawa jenguk Azam."

Firza menurut. Dia kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang dari besi yang cuma muat buat satu orang.

Nizar merik selimut menutupi tubuh Firza.

Setelah orang itu kembali terlelap, Nizar meninggalkan ruangan untuk mengambil sarapan dan memanggil suster untuk memeriksa kondisi Firza.

Namun sebelumnya dia akan terlebih dahulu pergi ke kamar mandi yang ada di runagannya untuk membasuh muka dan mengganti pakaian mengingat semalam dia hanya tidur sebentar dan belum sempat mengganti pakaian

***

Perjuangan terakhir bagi seorang siswa SMA adalah Ujian Sekolah karena ujian Nasional dihapus beberapa tahun yang lalu.

Hari ini hari terakhir anak-anak SMA Daun Jatuh menjalankan peperangan mereka setelah berusaha sekuat tenaga memeras isi kepala memecahkan jawaban di beberapa lembar soal yang harus disalin ke selembar kertas yang diisi dengan cara menghitamkan bagian dianggap benar.

Kelas XII D terbagi menjadi dua ruangan. Mereka mendiami ruangan 14 dan ruang 15 bergabung dengan kelas lain tentunya dengan posisi duduk yang sendiri-sendiri.

Bel pertada ujian berakhir berbunyi. Bel ini juga yang jadi tanda ujian sekolah yang biasanya memili kisi-kisi terlebih dahulu akan berganti dengan ujian hidup yang sama sekali tak ada spoiler. 

Anak-anak maju menyerahkan jawaban dan soal kepada pengawas lalu keluar dari kelas.

Anak-anak kelas XII D memilih untuk tak langsung pulang ke rumah. Terlebih dahulu mereka berkumpul di ruangan 14 yang sudah kosong untuk membicarakan Firza dan Azam yang masuk rumah sakit.

Anak-anak sudah mendengar kabar mengenai kecelakaan yang menimpa Azam dan maag Firza yang kambuh melalui Naira, dia memberi tahukannya pada Akira.

"Jadi kita mau ngapain?" Percakapan diawali oleh Arisa.

"Bukannya kita kumpul di sini buat ke rumah sakit nengok Pak Firza?" Zoya menjawab.

"Lah? Jadi mau barengan sekelas gitu?"

Zoya berfikir. Sepertinya agak berlebihan kalau yang nengok se-kelas ikut bersamaan soalnya yang ada malah bikin ribut di rumah sakit mengingat jiwa-jiwa reog belum menghilang di anak-anak kelasnya.

"Janganlah. Kita nengoknya pisah-pisah aja. Takut kalau datang ke rumah sakit menganggu yang lain. Kalian kan kadang ngerog yang ada disangka pasien yang salah masuk rumah sakit. Yang harusnya datang ke Rumah Sakit Jiwa, ini malah datang ke Rumah Sakit biasa."

Tentu saja anak-anak kelas tak terima dengan perkataan yang diucapkan oleh sang ibu kelas.

"Kalau nanti malam lo muntah paku itu artinya santet gue berhasil."

"Aku suka ibadah. Santet gak bakalan mempan. Maaf." Abas tersedak mendengar ucapan Zoya.

"Yaudah. Kita perginya sesuai circle aja. Biar gak ribet." saran Isyana.

"Iya deh si paling circel."

"Itu mulut minta ditabok mas?" Alif yang mengatakan itu cuma cengesan gak jelas.

"Sebelum ribut, kita perginya sesuai absen aja. Udah gitu setuju gak?" Akhirnya sang ketua kelas angkat bicara.

"Nah. Dari tadi dong. Kita mah setuju aja. Iya kan?"

"Boleh!"

"Baik. Buat jadwalnya nanti omongin aja di grup kelas. Intinya hari ini harus sudah berangkat semua."

"Siap."

Sudah mencapai mupakat, anak-anak itu pulang ke rumah mereka masing-masing siap-siap untuk pergi menjenguk Firza karena jika menjenguk Azam sudah dipastikan mereka tak akan diperbolehkan oleh dokter.

***

Malam sudah kembali datang. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya yang cenderung mendung, langit sekarang nampak cerah dengan bulan purnama menggantung di sana ditemani bintang-bintang yang berkelip.

Firza takzim melihat ke arah langit.
Saat ini dia duduk di lorong ruangan ICU setelah seharian penuh mendapatkan banyak kunjungan dari para anak-anak tanpa ibunya. Yah, jadi guru serasa simulasi jadi bapak tunggal.

Firza masih memakai baju rawat berawarna biru muda khas pasien yang dirangkap dengan jaket tebal berhubung bahan yang digunakan oleh baju cenderung tipis. Infus di tangannya sudah dilepas meninggalkan perban yang terpasang di tangan kanan bekas jarumnya.

Di lorong hanya ada Firza sendirian. Pak Haris dan Bu Laras sudah pulang terlebih dahulu untuk menyiapkan sesuatu untuk besok, sedangkan Nizar   pergi ke kantin rumah sakit untuk membeli beberapa makanan.

Firza bangkit berdiri. Berjalan perlahan dengan berpegang pada pegangan khusus yang dipasang di sepanjang koridor rumah sakit. Dia berjalan ke jendela yang menampilkan ruangan ICU untuk melihat Azam karena dokter belum memberi izin untuk memasuki ruangan itu.

Di dalam Azam nampak tenang dalam tidurnya. Mulutnya di pasang alat bantu pernapasan. Ada banyak kabel yang terapsang di dadanya untuk merekam detak jantung, selain itu ada juga selang-selang kecil yang fungsinya tak Firza ketahui.

Firza melihat Azam dengan tatapan miris. Tak ada dipikirannya jika sahabat dari oroknya itu akan berakhir dengan seperti itu.

Rasanya menyakitkan.

"Fir. Ayo makan. Gue udah bawa makanan sama obat lo." Nizar datang.

Firza mengangguk.

Nizar membantu Firza berjalan kembali ke kamarnya untuk makan dan minum obat kemudian memaksanya untuk tidur.

***

Jumat 10 Juni 2022
11.05
Have a nice day
See you

Kelas Siluman Where stories live. Discover now