29

70 18 0
                                    

"Okey aku turun di sini. Terima kasih bang!" Akira turun dari motor Oktav kemudian membuka helm mengembalikan helm yang sengaja dibeli oleh Oktav dengan ukuran kepala Akira karena anak itu suka misuh-misuh kalau helm sebelumnya longgar di kepalanya tentunya dengan uang Oktav. Akira mendapatkan helm spesial dari Oktav sama sekali tidak dipungut biaya.

"Males pulang! Main aja yuk!" Oktav enggan melepaskan Akira pulang.

"Heh bambang! Kamu inget ya aku harus latihan min piano. Males kalau harus main ke luar!" Jika tidak harus latihan Akira akan sangat senang diajak main oleh Oktav, tapi sekarang sayangnya dia tidak bisa pergi main, harus mulai fokus latihan buat tampil biar enggak malu-maluin.

"Cih! Malesin!"

Akira sudah sangat frustasi dengan tingkah Oktav yang berbeda dari biasanya, untuk menjaga agar mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata mutiara Akira langsung masuk ke dalam rumahnya meninggalkan Oktav sendirian di atas motornya.

Oktav menaruh helm Akira di tempat biasa menggantungkan barang di motor. Oktav menghidupkan motor memacunya membelah jalanan dengan kecepatan tinggi karena kebetulan jalan sedang kosong menuju rumahnya meskipun sekarang dia setengah mati tak ingin pulang ke sana setelah tadi di sekolah mendapatkan telpon dari Ayahnya yang mengabarkan jika Lara--ibu sambung Oktav dan dirinya akan datang ke rumah yang ditinggal Oktav sendirian.

Oktav memilih untuk pindah dari rumah ketika masuk SMA. Sejak saat itu dia mulai hidup sendiri.

Sesampainya di rumah Oktav dengan ragu membuka knop pintu. Di ruang tamu dia sudah disambut dengan Hendra--sang Ayah dan Lara yang duduk dengan manis di ruang tamu.

"Oh sudah pulang kamu?" Suara Lara yang pertama kali menyambut Oktav yang sudah berada di dalam rumah.

"Iya." jawab Oktav singkat. Oktav langsung berniat pergi ke lantai atas masuk ke dalam kamar, namun suara sang ayah membuat langkah kakinya terhenti.

"Mau ke mana kamu? Kemari duduk bersama Ayah!"

Oktav mengurungkan niat awalnya lalu kembali berjalan ke ruang tamu duduk di kursi single di depan Lara dan Hendra yang duduk bersampingan.

"Kamu udah gede mas. Sampai kapan mau terus main-main?" ucap Hendra dengan mata yang tertuju pada Oktav.

"Gak ada gunanya mas kamu bicara sama dia. Dia cuma mau main-main aja. Mending nurut sama aku, daftarkan dia aja ke sekolah bisnis yang ada di Amerika biar dia ngerasa bagaimana rasanya hidup sendirian." timpal Lara dengan nada mengejek.

"Jangan campuri urusan pribadi saya. Kamu anda bukan Ibu saya, jika anda lupa. Lagian tiga tahun terakhir saya sudah hidup sendirian."

"Oktav!!" Suara Hendra meninggi diiringi dengan sorotan matanya yang berubah tajam menatap Oktav. Tanpa ada rasa takut, bukannya menunduk Oktav malah balik menatap mata Ayahnya dengan sorot mata yang tak kalah tajam.

Hendra mengepalkan tangannya.

"Jika itu maumu! Tanpa ragu ayah akan mengikuti usul Ibumu menyekolahkan kamu di Amerika!"

"Ayah! Kenapa tak pernah mendengarkan ucapanku dan memilih buat mendengar wanita itu?" Oktav mengangkat telunjuknya ke arah Lara.

"Mas ...." Suara Lara mendramatisir keadaan bak pemeran utama wanita yang sedang teraniaya. "Aku cuma ingin yang terbaik buat Oktav!"

"Cih!" Oktav mendesih.

"Cukup, ayo kita pergi dari sini!" Hendra bangkit dari kursi diikuti oleh Lara menyisakan Oktav yang dibuat kesal dengan tingkah mereka berdua.

"Arghhhhhhh!! Sialan!!" Oktav mengacak-acak rambutnya. Dia keluar dari rumah kembali mengeluarkan motornya dari garasi lalu mengendarainya dengan menuju suatu tempat yang akan dia jadikan tempat pelarian.

Oktav lebih memilih kedua orang itu tak pernah menemui dirinya ketimbang datang hanya membuat suasana hatinya menjadi berantakan.

***

Oktav duduk di pinggir jalan dengan sebatang rokok yang ada di tangannya.
Dia menatap orang-orang yang berlalu lalang di jalan. Hal tersebut bisa membuat dia tenang.

Oktav masih menggunakan baju seragam. Karena itu banyak para pejalan kaki yang mencuri pandang ke Oktav karena berani merokok di tempat umum dengan baju seperti itu. Tak jarang juga terdengar pujian dari gadis-gadis seusianya yang memuji penampilan Oktav karena mirip dengan bad boy apalagi dengan rokok yang sedang ia hisap.

Tiba-tiba sebuah tepukan pelan mendarat di bahu lebar Oktav hingga membuat siswa itu mengerjap. Mood Oktav sedang kacau, mendapat perlakuan seperti itu refleks membuat tinjunya melayang diarahkan pada orang yang dengan sengaja membuat dia kaget, namun tinjunya itu berhasil ditangkas.

"Ngapain ngeroko pake baju seragam? Mau di-do dari sekolah kah?" Suara Firza membuat Oktav sadar. Dengan cepat dia menarik kembali tinjunya.

Firza mengambil rokok yang sekarang ada di bangku yang tadi diduduki Oktav kemudian menjatuhkannya menginjak rokok itu hingga hancur.

"Kamu lihatkan rokok itu hancur, jika kamu masih melakukannya menghisap nikotin kemudian kembali mengeluarkan percis seperti orang gabut maka masa depanmu akan ikut hancur seperti rokok yang saya injak."

Firza menekan bahu Oktav membuat pemuda itu kembali duduk di tampatnya tadi. Firza duduk di samping Oktav. Nampaknya riuh jalanan akan menjadi ruang BK dadakan bagi guru dan murid tersebut.

"Jadi? Kenapa kamu ngerokok siang-siang gini di pinggir jalan dengan baju seragam. Untung ketahuannya sama saya bukan sama guru lain. Jika ketahuan sama guru lain saya yakin kamu akan mendapatkan masalah." Mata Firza Fokus pada Oktav yang sekarang sedang menunduk.

"Maaf." hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Oktav.

"Saya tak butuh permintaan maaf dari kamu. Saya butuh penjelas kenapa kamu melakukan ini di sini. Mungkin bagi kamu ini masalah sepele, tapi bagi saya ini masalah besar."

"Ayah memaksa saya buat sekolah di luar negri dengan jurusan yang tak saya minati karena hasutan dari ibu tiri."

Jeda sejenak. Firza hanya mendengar Oktav tanpa berniat untuk menimpalinya.

"Ibu meninggal waktu SMP, kemudian ayah menikah lagi dengan wanita yang selalu mengatur hidup saya semau dia karena itu pas SMA saya memilih untuk pindah rumah ke rumah sendiri." Lanjut Oktav.

"Mau saya kasih saran? Ada kalanya seorang anak harus bertingkat sedikit bar-bar agar tak menyesal di kemudian hari. Sekarang, kamu pikirkan lagi urusan sekolah itu matang-matang, jika memang bukan passion kamu, kamu bisa menolaknya."

Oktav diam. Dia tak menjawab saran dari Firza.

"Sudah! Daripada galau di pinggir jalan sambil nyebat mending ngegalau di kafe sambil dengerin lagu one ok rock aja. Ayo ikut saya."

Firza menatik tangan Oktav membatu pemuda itu bangun.

"Yuk nyari kafe buat ngegalau bareng kebetulan saya juga lagi galau gara-gara kepala sekolah kamu!"

Akhirnya kedua orang itu pergi dari pinggir jalan mencati sebuah kafe untuk menggalau bersama.

Sabtu 26 Maret 2022
15.37
Have a nice day
See you

Kelas Siluman Where stories live. Discover now