37

57 21 2
                                    

Siang yang sangat terik di bulan Januari di mana biasnya hari – hari identik dengan hujan dan mendung karena musim hujan. Udara yang terasa sangat panas membuat siswa yang masih ada jam pelajaran di siang hari merasakan kantuk yang tak bisa tertahankan sehingga terus terusan menguap dengan sekuat tenaga mencoba untuk tetap terjaga. Ada yang makan permen kopi, membulatkan mata lebar-lebar, hingga menepuk-nepuk pipinya berusaha menghalau kantuk hingga hilang.

Anak – anak kelas XII D merasa sangat beruntung karena seharusnya saat ini jam pelajaran olahraga, karena guru olahraganya sedang ada keperluan jadi tidak bisa datang mengajar. Akira yang menatap ke arah lapangan merasa merinding sendiri membayangkan jika hari ini guru olahraga masuk, maka dia akan berpanas-panasan ria di tengah lapangan lari muter-muter di sana karena seharusnya minggu ini diadakan tes lari cepat.

Akira tak terlalu suka pelajaran olahraga, karena sejatinya dia adalah anak mageran tingkat tinggi bahkan cita – citanya menjadi saudara kukang biar bisa bebas leha – laha di atas pohon tanpa harus dinyinyiri oleh orang – orang dengan menyebutnya anak yang malas, tapi siang ini cita – citanya bertambah, jadi batu kayanya enggak buruk juga. Dengan cepat dia memberitahukan pemikiran barunya itu pada sang chairmate---Oktav yang sedang melamun memikirkan habis kelas berakhir mau makan apa.

“Abang, cita – cita aku kayanya bertambah deh. Aku mau jadi batu,” tutur Akira dengan semangat membara seakan-akan cita-citanya itu harus didengar oleh seluruh dunia.

Semua pikiran Oktav buyar sudah. Sekarang dia membatin, kayanya kalau Akira dijual ke papa or mama gula cocok, soalnya tuh anak makin hari makin ngadi – ngadi terus mukanya juga mendukung imut-imut mirip aktor dari Jepang pasti bakalan jadi nilai plus baginya sehingga akan laku keras, tapi Oktav tak berani menyuarakan suara hatinya takut jika Akira tak bicara dengannya selama seminggu karena maklum anak itu ngambekan tingkat dewa.

Ale dan Isyana sedang duduk sebangku berbagi headset yang memutar lagu You Are my Reason lagu milik Callum Scott yang versi duet dengan Leona Lewis sambil berpegangan tangan di atas bangku. Sebenarnya Isyana mencoba mati – matian untuk menahan kepalanya agar tak jatuh di bahu lebar Ale yang sandarabel takut dicie – ciein sama orang sekelas, jadi sekarang rasanya deg degan sudah tidak ada tergantikan rasa sakit akibat leher kaku yang datang menerpa. Isyana menangis dalam hati, ia menyesal jadi bagian remaja jompo yang butuh koyo dan hot in cream tiap hari.

Abas, Orion, dan Faza mereka ngewibu bareng karena gabut; sedangkan Zara nonton drakor sisanya anak – anak lain memilih untuk tidur berjamaah di belakang di atas karpet yang sengaja dibawa oleh Alif biar kalau gabut seperti sekarang bisa dipake buat tiduran soalnya kalau tidur di atas bangku bisa bikin badan terasa sakit – sakit semua.

Namun di tengah – tengah jamkos yang terasa sangat damai itu tiba tiba Firza masuk lalu berteriak di ambang pintu, “keluar lu pada. Hari ini ada foto buat ijazah, cepat datang ke aula sekarang juga!

"Oh iya lupa, itu wajah yang udah kusut kaya kemeja yang gak disetrika dimohon buat dibenerin dulu biar gak menyesal di kemudian hari gara-gara fotonya tidak ada unsur estetikanya!"

Anak – anak yang tadinya asik dengan dunia mereka, langsung menuruti perintah Firza pergi ke aula SMA untuk pemotretan ijazah.

Sekarang semua anak kelas XII D sudah berkumpul di dalam aula. Di sana tidak hanya ada mereka, tapi ada juga anak-anak dari kelas XII A yang jadwal foto ijazah-nya barengan dengan anak kelas XII D.

Di dalam sudah ada seorang fotografer berusia sekitar 50 tahunan duduk manis di depan kamera canon lengkap dengan lampu pencahayaan yang dipasang di depan tembok yang sudah diberi latar kain warna biru.

Bu Lia selaku guru kesiswaan mendampingi kegiatan foto ijazah. Beliau duduk di dekat bapak fotografer memegang buku yang berisi nama-nama siswa.

Sebelum dimulai, Bu Lia memerintahkan agar anak-anak memaki dasi dan terciptalah sebuah keributan gara-gara kebanyakan anak kelas XII D banyak yang tak pakai dasi.

"Sialan gue lupa bawa dasi." Orion mulai gusar karena dia lupa bawa dasi.

"Ih, Zoya. Gimana, dasi aku ketinggalan!" Arisa mulai merengek pada Zoya.

"Mampus!" Tiga serangkai yang sekarang sudah tobat hanya pasrah.

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba terdengar sebuah nyinyiran yang dilontarkan oleh Banyu ketua kelas XII A yang secara terang-terangan memancing sebuah kekisruhan dengan anak-anak kelas XII D.

"Gak aneh sih kalau kelas onoh lupa pake dasi, toh tampilannya juga mirip preman jalanan." ucap Banyu menatap remeh anak-anak kelas XII D.

Refleks orang-orang yang disindir membulatkan mata sambil membatin, ini orang kenapa ya? Kayanya kekurangan cuan deh hingga nyari ribut sama kita

"Mana ada laki-laki yang rambutnya panjang. Gak banget deh!" Timpal Juri--siswi ketua pemandu sorak yang dikenal sebagai tukang nyiyirin orang.

Akira yang sedang merapihkan ikatan rambutnya tersedak.

"Heh! Lu pada mau nyari masalah? Sini ribut sama gue!" Akhirnya Arisa membalas perlakuan mereka karena bisa-bisanya kelas yang dianggap kelas terbaik nyari ribut duluan.

"Nyari ribut sama lo? Oh engga banget. Lo gak selevel sama gue bitch!" balas Juri diakhiri dengan membuang muka.

Hendak Arisa menjambak rambut ikal milik Juri, sebuah tangan tiba-tiba menahan tangan Arisa. Siapa lagi jika pemilik tangan itu jika bukan Firza.

"Slow neng. Di depan ada guru BK, lu gak mau kan kena masalah." Firza melepas tangan Arisa. Arisa langsung berbalik ke arah Firza dengan muka yang menyimpan amarah.

"Dia ngatain saya bitch? What the hell Pak?"

"Sabar."

Arisa menggelengkan kepala. Ia mengipas-ngipasi wajahnya yang sudah merah dengan tangan.

"Siapa yang enggak bawa dasi maju sini?" tanya Firza.

Anak-anak yang tak bawa dasi maju ke hadapannya.

"Kenapa enggak bawa?"

Bukannya dijawab, mereka semua malah cengengesan.

"Ini pake dulu. Nanti balikin awas kalau dibawa pulang." Firza sudah menduga jika ada anak-anak yang enggak bawa dasi, jadi sebelum ke sini ia meminjam dasi di kantor TU. Ajaib, jumlah dasi yang dia bawa pas dengan anak-anak yang enggak bawa.

Anak-anak mengambil dasi dari Firza lalu memakainya di depan cermin yang sudah disediakan yang digantung di dekat pintu masuk, namun Satya masih memandang dasi yang ada di tangannya.

"Satya. Kenapa dasinya enggak kamu pake?" tanya Firza.

"Enggak bisa pake dasi Pak!" Firza menghembuskan nafas pasrah. Dia berjalan mendekat ke arah Satya.

"Sini dasinya, biar saya pasangin." Satya menyerahkan kembali dasi dengan logo SMA Daun Jatuh ke tangan Firza. Dengan cekatan Firza memasangkan dasi itu di leher Satya dengan rapih.

"Sudah." ucap Firza ketika selesai memasangkan dasi.

Anak-anak mulai dipanggil satu persatu untuk difoto. Kelas XII D yang difoto terlebih dahulu.

Firza tak meninggalkan mereka. Ia merapihkan dasi dan rambut para murid laki-laki sebelum difoto agar terlihat rapi.

Perhatian sederhana itu membuat anak-anak kelas XII A merasa iri karena wali kelas mereka tak menemani sesi Foto mereka.

Setelah pemotretan selesai, mereka kembali ke kelas untuk pulang karena kelas telah berakhir.

***

Jum'at 13 Mei 2022
15.40
Have a nice day
See you

Kelas Siluman Where stories live. Discover now