KARA |Serendipity|

By iliostsan_

12.3K 4K 13.6K

Tentang Kara dan semua orang di dekatnya. Bukan hanya kisah cinta antara gadis dan pria, tetapi juga tentang... More

Prolog + Perkenalan tokoh
KS - 01
KS - 02
KS - 03
KS - 04
KS - 05
KS - 06
KS - 07
KS - 08
KS - 09
KS - 10
KS - 11
KS - 12
KS - 13
KS - 14
KS - 15
KS - 16
KS - 17
KS - 18
KS - 19
KS - 20
KS - 21
KS - 22
KS - 23
KS - 24
KS - 25
KS - 26
KS - 27
KS - 28
KS - 29
KS - 30
KS - 32
KS - 33
KS - 34
KS - 35
KS - 36
KS - 37
KS - 38
KS - 39
KS- 40

KS - 31

175 50 155
By iliostsan_

Jangan lupa vote, vote, vote! Terimakasih~

Selamat membaca! 🥰🙌

••

Kara duduk dengan gugup di bangku, mengamati pria yang duduk di kursi di sudut kanan baris kedua dengan tatapan tajam dengan kedua kaki terus bergerak di bawah membuat suara gemetar di meja yang ditempati. Pasha yang berada di sampingnya heran melihat tingkah Kara yang terus menggerakkan kakinya di bawah meja.

Kara melirik jam di dinding dekat tengah papan tulis, dan sepuluh menit lagi bel istirahat kedua akan berbunyi.

Kara melirik lagi pria yang berada di pojok tadi dengan tatapan tajam, pria itu terlihat biasa saja, tidak menoleh tapi sedang asyik menguap dan kembali tidur lagi dengan buku yang berdiri di depan wajahnya, membuat pipi Kara memerah karena kesal sambil mengibaskan tangan di leher, kebetulan lampu mati karena ada gangguan listrik.

"Tck! Lama banget sih!" Tanpa disadari, Kara berteriak, membuat guru yang sedang mengajar dan teman-teman, bahkan anak laki-laki yang dilihatnya tadi, terkejut tidak bermain-main dengan jeritan itu.

Pria paruh baya berkepala plontos itu menoleh guna melihat Kara dengan ekspresi yang mengintimidasi, tapi Kara sibuk melihat jam di dinding dengan rasa jengkel yang membara.

"Ekhem ... kenapa kamu teriak di saat saya sedang menerangkan pelajaran, Kara?" Pertanyaan itu diabaikan olehnya.

Guru itu melirik jam yang merupakan objek yang sedang dilihat Kara sehingga gadis itu tidak memperhatikan kata-katanya, melihat kembali ke Kara. "Jam itu tidak akan berpindah tempat, jadi kamu tidak perlu mengawasinya. Sekarang, yang harus kamu lakukan adalah menjawab pertanyaan saya, kenapa kamu berteriak saat saya menjelaskan pelajaran, Kara?" sambung guru itu, ternyata suara gurunya yang sedikit dinaikkan itu mampu menarik perhatian Kara, gadis itu meliriknya dengan mata yang melotot, terkejut.

"A-anu pak ...." gantung Kara, matanya jelalatan mencari ide untuk mengelak.

"Anu-anu, jawab saja pertanyaan saya, kenapa kamu berteriak tadi?" tanya guru itu dengan nada meninggi.

"Ini pak tadi ...." Kara melirik Pasha yang ada disampingnya dengan ujung mata. "barusan Kara sama Pasha lagi main abc lima dasar. Nah pas banget giliran Pasha buat nebak, tapi Pasha lama mikirnya, jadi Kara teriak deh tanpa sadar ...." Kara memandang sekeliling dengan tatapan rumit. Apa benar ya begitu cara mainnya? Gue lupa lagi, semoga si botak gak terlalu banyak mikir sama alasan gue.

Pasha yang ada di sampingnya melotot tak terima. Kara melirik Pasha dengan tatapan bersalah.

"Apa benar itu Pasha?" Perhatian Pasha tersita, memandang pria paruh baya yang memandangnya dengan tatapan intimidasi, membuatnya mau tak mau harus hanyut dalam skenario yang diciptakan Kara.

"I-iya, pak, apa yang dikatakan Kara benar," balas Pasha dengan berat hati.

Guru itu bersedekap dada melirik keduanya secara bergantian. "Kamu ketahuan main di saat pelajaran saya masih berlangsung, gak sopan! Emang kamu sudah mengerti dengan materi yang saya bahas kali ini, Kara?" guru itu memandang Kara dan membentak membuat Kara gelagapan dibuatnya.

"Karena Kara mengerti sama materi yang bapak bahas itulah, yang membuat Kara lebih milih main di belakang bapak. Lagian kalau bapak dikasih dongeng itu terus pasti bakal muak dengerinnya sampai pengin banting buku cerita itu," jeda Kara, mengambil napas. "nah, karena Kara nggak mau banting meja karena takut menganggu jam pelajaran bapak, lebih baik Kara main di tempat duduk Kara biar emosi Kara nggak meluap gitu aja saat mendengar dongeng dari bapak," elaknya dengan nada yang meyakinkan.

"Lagian pak, waktu bapak udah habis dari sepuluh menit yang lalu. Jika bapak bertanya kenapa bel sedari tadi tidak berbunyi, ya ... bapak tau sendiri, kan, barusan mati lampu."

Guru itu pun mengecek jam tangan yang dipakainya, benar ternyata sudah jam 12.35 berlalu yang seharusnya awal dari waktu istirahat yang telah ditetapkan sekolah. Guru itu berjalan menuju tempat duduknya dan menata buku-buku yang tadinya dibawa dari ruang guru.

Guru itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kelas. "Baiklah, sampai di sini pelajaran kita hari ini, jangan lupa dicatat materi yang saya bahas tadi, sampai jumpa di lain waktu. Selamat siang, selamat beristirahat semuanya." Pria tua itu melangkah pergi dari kelas menuju ruang guru.

Yang tadinya memandang punggung pria paruh baya itu, mendadak pandangannya beralih, memandang punggung pria yang terlelap di meja miliknya. Kara mendorong kursi kayu itu dengan sekali sentakan dan berjalan menuju pria itu dengan langkah lebar.

Kara menggebrak meja pria itu. "Saga! Bangun, nggak, lo!" Sagara terduduk memandang Kara dengan ekspresi terkejut.

"Kenapa sih, Kar? Gue lagi tidur juga malah lo ganggu," gerutu pria itu kembali ke posisi awal, ingin berbaring dengan kedua tangan menjadi bantalan.

Sebelum itu terjadi, Kara menarik rambut pria itu dengan kuat, membuat Sagara meringis, mendelik ke arah Kara. "Eh! Enak aja lo tidur lagi! Urusan kita belum selesai ya!" peringat Kara, Sagara melepas paksa tangan Kara yang tadinya di rambutnya.

Sambil mengelus rambut Sagara berucap, "urusan apa sih?"

"Oke gue to the point aja," jeda Kara, mengatur napas, Sagara memandang Kara dengan alis yang menukik ke atas, heran. "LO APA-APAAN, SIH, SEENAKNYA BAWA TUH CEWEK PERGI GITU AJA?! NGGAK TAU APA GUE LAGI BICARA SAMA DIA? ATAU MATA LO TADI TIBA-TIBA BUTA KARENA GAK LIAT GUE SEBESAR ITU DUDUK DI DEPAN DIA?!" teriak Kara penuh emosi, setelahnya dia menarik dan mengeluarkan napas dengan cara cepat, membuat dadanya kembang kempis. Sagara dan beberapa anak murid yang lain terkejut bukan main dengan jeritan yang tak terduga yang diberikan Kara pada Sagara.

Sagara terdiam sejenak, setelah beberapa menit mengatur detak jantung karena terkejut. "Sorry, tadi gue ada urusan mendadak sama tuh cewek," kata Sagara, "urusannya nggak bisa ditunda," sambungnya dengan nada serius, Kara melirik Sagara dengan tatapan intimidasi. Sagara tidak bereaksi gugup atau semacamnya melainkan tenang memandang Kara dengan tatapan teduh.

Sempat gugup dengan tatapan Sagara kepada dirinya, akhirnya Kara bisa mengontrol gejolak yang menjalar di kedua pipinya dengan mengatur napas. "Tapi, nggak sopan dong lo bawa itu cewek sedangkan gue lagi ngomong sama dia."

"Gue minta maaf, karena gak sopan bawa itu cewek pergi dari hadapan lo. Tapi kan, masalahnya udah berlalu nggak perlu diribetin kali, Kar," balas Sagara enteng. Membuat Kara melotot tak terima.

Ucapan Sagara mampu membangkitkan kembali rasa emosional di dalam tubuh Kara. "Masalahnya udah berlalu? Semudah itu lo bilang berlalu dan nggak perlu diribetin?" jeda Kara dengan tatapan dingin. "lo enak cuma ngomong jangan diribetin karena lo nggak jadi gue! Gue capek terus-terusan difitnah kayak gini, dan ketika gue udah tau dia dalang dari masalah gue dan hampir aja dia ngasih bukti ke gue, tapi ... lo datang ngancurin semua rencana gue sama Arsa! Bangsat lo, Gar!"

"Gue benci sama lo!" Kara pergi dengan langkah lebar penuh emosional, meninggalkan Sagara yang hatinya terasa nyeri dengan kalimat yang dilontarkannya untuk Sagara.

"Maafin, gue, Kar," gumamnya dengan tatapan kosong.

Kara berjalan tak tentu arah, merasa sangat tidak peduli pada orang-orang di sekitar yang mulai membicarakannya secara terbuka. Pipinya mengencang, tatapannya setajam silet, amarah yang telah mencapai Mercu kepala. Dia harus segera melampiaskannya. Dia berjalan menuju atap. Hanya tempat itu yang bisa menampung kejengkelan di hati Kara.

Kara berjalan ke penghalang atap, dadanya naik dan turun menahan emosi yang akan meledak. Seperti bom Hiroshima yang bisa memporak-porandakan sekelilingnya kapan saja.

"Aaa! Gue kesel! Kenapa gue nggak bisa ngontrol diri gue sendiri! Gue harus cepat bongkar kedok manusia nggak punya hati itu! Gue nggak akan kasih ampun sama tuh orang! Gue benci!" Kara berteriak, urat pada lehernya terlihat jelas.

"Siapapun lo! Gue akan dapati lo, bongkar penyamaran lo, dan lo siap-siap nemu ajal lo di tangan gue!" Kara mengontrol deru nafas, dan air mata menetes dari pelupuk dengan sia-sia.

"Apa, sih, salah gue sama lo? Gue nggak kenal lo, dan lo seenaknya buat nama baik gue tercemar. Lo siapa, sih? Kalau gue ada salah sama lo bilang! Jangan kek gini, kayak bocah tau nggak!" Kara menunduk, menikmati air mata yang mengalir di pipinya. Hatinya sakit ketika dia terus terpojok seperti ini. Dia tidak tahu apa yang salah dengannya. Namun, mengapa orang lain selalu membuat hidupnya seakan-akan kesialan yang harus dihindari?

Di belakang Kara. Arsa, mendaratkan telapak tangannya di bahu gadis itu, mengejutkan Kara, dengan cepat menyeka bekas air mata di pipinya dan menoleh ke belakang.

"Kalau lo nggak kuat sama masalah yang menimpa lo, bersandar di gue. Gue akan selalu ada disaat lo butuh tempat curhat."

"Jangan ada air mata yang jatuh dan basahi pipi lo walaupun setetes, karena gue gak bakal kuat liatnya."

Saat dia melihat wajah itu, air mata Kara langsung pecah. Sungguh sulit menyembunyikan perasaan sedih di hadapan pria di hadapannya itu.

Arsa dengan lembut menyeka air mata yang mengalir di pipi Kara. "Sa, gue nggak kuat! Jujur, gue belum pernah secengeng ini menghadapi masalah yang gue terima."

"Bantuin gue, Sa. Cuma sama lo gue bisa merasa bebas cerita kayak gini. Gue gak mau beban pikiran Daryna bertambah karena memikirkan permasalahan yang gue alami." Kara kembali menunduk. Menangis di depan orang lain, rasa malu terselip di dalam hatinya.

Tanpa berkata apa-apa, Arsa memeluk tubuh Kara yang membuatnya hangat. Pelukan bisa menyalurkan energi positif yang membawa gadis itu pada ketegaran sejati dan mengelus punggung Kara, berniat menenangkan hati yang sedang terguncang.

"Lo nggak perlu sedih. Lo nggak perlu merasa kalau lo sendirian di sini. Ada gue, Daryna, Ahsan juga temen-temen yang sayang sama lo. Gue emang nggak tau apa yang lo rasakan sampai lo bisa secengeng ini. Tapi, yang pasti lo harus tetap kuat. Gue akan selalu di sisi lo." Kara melepaskan pelukannya, menatap wajah Arsa dengan sedih. Dua kali Arsa datang saat dia mengalami kesialan.

Menurut Arsa, Kara, gadis yang mampu menahan segala hal yang jika harus dihadapi Arsa akan meledak saat itu juga. Namun, Kara tidak melakukannya. Ia mampu menyembunyikan perasaannya dengan topeng datar yang selalu ia berikan kepada semua orang. Seolah-olah wajah itu mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Namun, nyatanya tidak sama sekali.

Tetapi, jika dirinya tidak tahan dengan semua masalah yang datang bertubi-tubi, gadis itu dapat membuat dunia ini seakan hancur begitu juga dengan hatinya. Ya, Arsa hanya tak ingin melihat air mata menghiasi wajah cantik milik Kara. Ia harus tersenyum, harus selalu bahagia.

"Makasih, lo selalu ada di waktu yang tepat. Makasih, Arsa."

Tanpa disadari, seseorang menyeringai melihat kekesalan Kara di balik tumpukan kursi kayu yang rusak. Padahal Arsa ada di sana untuk sedikit merusak kesenangan. Nah, hal yang dia inginkan terjadi, membuatnya langsung tersenyum. Dan mulai berjalan menjauh dari balik kursi rusak yang menutupinya menuju pintu atap tanpa sepengetahuan Kara dan Arsa.

••

Gadis berambut sepunggung dengan jepitan menghiasi poninya berjalan santai setelah menuruni tangga penghubung ke atap. Namun, bahkan jalan santai pun masalah tanpa disengaja terjadi tanpa diminta-seseorang mendorong punggungnya ke depan dan menjatuhkannya.

Gadis itu meringis, membersihkan telapak tangannya dan melirik pelakunya. Ingin mengeluarkan umpatan, gadis di depannya dengan cepat memotong.

"Maaf, kak, aku nggak sengaja. Aku tadi lari dari geng kak Dara, aku takut dibulli lagi," jeda gadis itu dengan tatapan bersalah. Menjulurkan tangan guna membantu gadis yang ditabrak tegak dari duduknya di lantai. Gadis itu meraih tangan gadis yang lainnya dengan sedikit rintihan. "Aku panik, jadi aku lari tanpa lihat sekitar, maaf sekali lagi kak," sambungnya dengan nada takut.

Gadis yang ditabrak menunduk, merapikan baju yang terlihat kusut dan pasir menempel di belakang roknya, kembali menatap gadis di depannya dengan tatapan biasa. "Ya, nggak papa. Lain kali kalau lo dibulli lagi sama geng begitu, sebaiknya bilang langsung sama guru bk, biar lo nggak diganggu lagi."

Gadis itu menggapai tangan gadis di depannya, membuat gadis yang ditabrak terkejut dibuatnya. "Makasih ya kak Yassika." Yassika menarik tangannya kembali dengan senyuman canggung.

"Iya, nggak masalah, lain kali jangan lari-larian di koridor yang rame kayak gini. Dan kalau lo dibulli lagi langsung bilang sama guru bk, biar ditindaklanjuti. Anak murid kayak gitu bisanya cuma nyampah di sekolah elit kayak sekolah Pamungkas ini," saran Yassika diangguki gadis di depannya.

"Gue duluan, bye ... Syakira." Yassika berjalan menuju kelasnya. Syakira memandang punggung gadis itu hingga menghilang ditelan belokan sambil menyeringai kecil.

"Sok ramah banget ... cih! Dasar sampah amatiran," dia bergumam. Tertawa dengan kejam tidak perduli tatapan orang-orang yang lewat di depannya. Kembali dengan ekspresi datar dan meninggalkan tempat kejadian.


Sekian, singkat betul nggak sih? Nggak tau ah, bomat! 🤣

Nantikan kelanjutan ceritanya, ya!
보라 해!❣️
···
Monday, Des 07, 2020

|Telah di revisi|
|08.02.21|

Continue Reading

You'll Also Like

345K 42.3K 32
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...
3.8M 302K 50
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
861K 85.4K 48
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
2.4M 140K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...