DRACO : THE TROUBLEMAKER

By Kundekun

239K 35.8K 6.8K

Berteman baik dengan Pansy membuat Veena terbiasa terhadap sifat buruk anggota Slytherin. Bahkan dia selalu... More

#1
#2
#3
#4
#5
#6
#7
#8
#9
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
#29
#30
#31
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
#40
#41
#42

#20

5.2K 811 60
By Kundekun

*VEENA POV*

Diantara banyaknya murid yang berlalu lalang, langkah Harry sangat terburu-buru membuat nafasku sedikit terengah-engah mengikuti temponya berjalan.

Sedangkan di belakangku, Draco nampak masih bersikeras mengikuti tujuan kami pergi. Aku tentu menyadari Harry yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran si pirang itu. Ya, bagaimana tidak? Semua penghuni Hogwarts sudah tau mereka itu musuh bebuyutan. Ketika keduanya disandingkan, mereka bagaikan tikus dan kucing.

"Harry, abaikan saja dia! Percuma saja kita menyuruhnya pergi, kepalanya terbuat dari batu!" Bisikku kepada Harry yang berjalan di samping.

"Hei! Aku mendengarnya, kau tahu!" Tempik Draco merasa tersinggung mendengarnya lalu aku hanya menoleh dan menjulurkan lidah.

Harry mulai memelankan langkahnya. Kami berhenti di sudut koridor yang cukup sepi, dengan hati-hati pria berkacamata itu menengok kanan kiri memastikan tidak ada orang lain yang mendengar.

"Veena, kau ingat dengan buku hitam yang kita temukan kemarin malam?" Aku mengangguk cepat dan menunggunya melanjutkan kalimatnya, "Ternyata buku itu tidak kosong seperti apa yang kau kira, Veena. Buku itu dipenuhi dengan sihir!" Lanjutnya dengan pelan.

Aku yang mendengarnya mulai mengerutkan kening tak mengerti, "Sihir? Sihir macam apa yang kau maksud, Harry?"

"Jadi begini, semalam aku mencoba menulis sesuatu di dalamnya, tapi yang tak kuduga tinta pena yang tertulis di atas kertas itu hilang begitu saja! Kemudian aku mencoba menuliskan pertanyaan, dan buku itu membalasnya!"

"Bloody hell, kau serius?"

Harry mengangguk mantap, "Nampaknya buku itu milik seseorang bernama Tom Marvolo Riddle. Sebenarnya aku ingin menguliknya lebih lanjut bersama dengan Hermione. Karena dia dapat menerima banyak petunjuk hanya dengan sekali melihat, hanya saja sayangnya.... Sesuatu yang buruk telah terjadi."

"Apa yang terjadi?"

Harry menggaruk tengkuk lehernya seraya menggigit bibirnya ragu, "Ketika aku terbangun tadi pagi, buku itu sudah tidak ada. Padahal aku sangat yakin menyimpannya di tempat yang aman. Mungkin seseorang telah mengambilnya, tapi dari semua itu masih ada hal yang lebih buruk. Sesuatu telah terjadi pada Hermione."

"Hermione? Ada apa dengan Hermione?"

"Kau akan tahu saat melihatnya nanti."

***

Harry membawa kami ke tempat yang cukup sering aku dan Draco kunjungi. Ya, Ruang Kesehatan dimana Madam Pomfrey berada. Pria berkacamata itu menuntunku ke salah satu kasur dengan seseorang di atasnya, pria berambut merah yang menjaga orang itu sontak menengok dan memasang ekspresi bingung saat melihat wajah kami.

"Middleton dan.... Malfoy? Demi Merlin, Harry. Dari sekian banyak orang kenapa kau meminta bantuan pada anak Slytherin?" Ketus Ron Weasley merasa tak setuju dengan keputusan Harry.

"Aku memang mengajak Veena, aku yakin dia bisa membantu kita, Ron. Tapi yang satunya lagi hanya tamu tak diundang, kau tak perlu menghiraukannya." Harry ikut menoleh dan melemparkan tatapan tidak suka pada Draco.

Aku tak begitu mengerti apa yang sebenarnya mereka bicarakan dan apa yang harus kubantu dengan masalah mereka, sampai aku melihat seseorang yang ku kenal kini terbaring kaku di atas kasur putih.

"Hermione?" Aku terperangah melihat Hermione yang kini hanya bisa diam seperti patung yang tak berdaya. Kuraih tangannya untuk memastikan denyut nadinya masih berfungsi, untunglah meskipun sangat lemah, nyawa gadis itu masih ada disini.

"Dia ditemukan sudah mematung seperti itu sejak kemarin malam, dengan tangannya yang masih memegang erat sebuah cermin." Jelas Harry dengan lungguh. Aku hanya terdiam mendengarkan penjelasannya.

Ku menarik nafas panjang, berusaha mengontrol diriku yang kini ingin berteriak sekeras-kerasnya. Mengapa semua kejadian ini berlangsung secara berturut-turut, seakanakan tidak mau memberi kesempatan padaku untuk bernafas dengan tenang.

"Padahal Hermionelah satu-satunya yang bisa memberikan petunjuk, tapi ini justru semakin rumit." Timpal Ron ikut mengeluh dengan keadaan.

"Veena, aku memanggilmu karena kau pernah berkata, agar meminta bantuanmu saat aku kehabisan petunjuk, bukan? Dan kini aku benar-benar sudah merasa terpojokkan."

Wajah Harry menunjukkan ekspresi yang berharap banyak padaku, membuatku semakin merasa bersalah akan semua ini. Andai saja ada suatu cara yang bisa memudahkanku untuk melangkah lebih jauh tentang misteri ini.

"Jika kau sudah berada di posisi terdesak, fokuskan niat dan tentukan arah tujuanmu. Lihat matanya, dan kau akan mengetahui apa yang pernah tertinggal dalam ingatannya."

Seketika ucapan pria tua itu teringat di kepalaku, membuatku menemukan cara untuk mengatasi semua ini. Hanya saja... Itu artinya mereka bertiga akan mengetahui kemampuan yang ku sembunyikan selama ini.

Tapi apakah itu masih penting sekarang? Nyawa Pansy sedang terancam dan Hermione serta teman-teman yang lainnya entah sampai kapan akan bertahan, kurasa itu lebih penting daripada mempertahankan egoku. Terlebih jika ini terus dibiarkan, kemungkinan besar jumlah korban akan terus bertambah.

"Harry, kau tunggu disini. Aku akan segera kembali." Baiklah aku sudah membulatkan keputusanku, aku tak peduli meskipun pilihan ini akan membuat rahasiaku terbongkar.

Aku segera berlari meninggalkan ruangan tersebut, dan segera menuju ke tempat Professor Dumbledore berada. Ya, pertama-tama aku harus melepaskan segel ini terlebih dahulu sehingga aku bisa masuk melihat masa lalu Hermione.

Aku terlalu fokus dengan isi pikiranku hingga baru menyadari  langkah kaki seseorang mengikutiku dari belakang, "Kau tiba-tiba pergi begitu saja, sebenarnya apa yang kau pikirkan, huh?!" Seru Draco dengan suara yang terengah-engah.

"Aish... Kau tak perlu mengikutiku! Tunggu saja disana!"

"Maksudmu dengan si Potter dan Weasley itu? Aku lebih baik bersama seekor Troll daripada dengan mereka!"

"Hhuh... Dasar."

Kami berdua berlari menyusuri setiap koridor, mendapati banyak tatapan aneh dari murid lainnya yang melihat  aku dan Draco seperti dikejar oleh waktu. Jangankan murid yang lain, si pirang itu sendiri nampaknya tak mengerti mengapa dirinya ikut berlari bersamaku.

***

Syukurlah tangga elang itu kini sedang terbuka, itu artinya Professor sedang berada di kantornya. Dengan cepat aku menaiki anak tangga itu satu persatu kemudian lantas mengetuk pintu ruangannya.

"Masuklah!" Suara seorang pria tua membalas ketukan pintu. "Aah... Middleton, nampaknya kau datang terlalu cepat. Segel di matamu masih bisa bertahan hingga dua puluh empat jam lagi." Tuturnya seraya bangkit dari singgasananya saat melihat kehadiranku.

Ku menggelengkan kepala dengan cepat menyanggah pikirannya, "Aku tidak datang untuk itu, Professor. Justru aku ingin kau menghapus segel yang ada dimataku ini."

"Menghapusnya? Kau serius, Middleton?" Tanya Professor dengan tatapan tidak yakin.

"Aku serius, Professor. Ada masalah yang harus ku selesaikan, dan aku membutuhkan kemampuanku untuk melakukannya." Balasku cepat tanpa perlu berpikir lebih lama lagi.

Professor melangkah mendekat dan nampak senyuman bangga merekah di wajahnya, "Akhirnya kau berani mengambil keputusan yang bijak, Middleton. Baiklah jika itu maumu," Professor mengambil tongkat yang berada dalam jubahnya, ia mengarahkannya padaku kemudian mengucapkan sebuah mantra, "Oblitero Obice!"

Dua kata dari mantra sihir itu membuat pandanganku kembali seperti yang seharusnya. Bola mataku dapat merangsang warna dan aura seseorang lebih pekat dan jelas. Biasanya aku akan ketakutan saat seperti ini, namun sebaliknya justru kini aku merasa bisa melakukan apapun.

"Sudah selesai, Middleton. Kau bisa kembali menggunakan kemampuanmu sekarang."

Aku mengangkat kedua sudut bibirku membentuk sebuah senyuman tulus padanya, "Terimakasih Professor."

"Ah, iya aku baru ingat! Kebetulan sekali kau sedang disini. Aku baru saja berniat untuk mencarimu," Professor Dumbledore berbalik ke arah meja kerjanya, dan membuka sebuah laci lalu mengambil sesuatu di dalamnya, "Ini, kacamatamu sudah sempurna seperti semula." Ujarnya seraya memberikannya padaku.

"Professor! Kau berhasil memperbaikinya? Bagaimana bisa?" Tanyaku yang tak bisa menyembunyikan perasaan sumringah ini.

"Hahaha... Apa yang tidak bisa kulakukan untuk murid-muridku? Sekarang pakailah, kau memang pantas menggunakannya."

Aku menautkan kacamata ke telingaku, kemudian berbalik menghadap Draco yang berada di belakangku, "Bagaimana menurutmu?"

Draco menyeringai, "Ya, penampilanmu kembali seperti semula."

Ku membalikkan badan dan memberi penghormatan kepada Professor menunjukkan rasa terimakasihku sedalam-dalamnya. Setelah meminta izin untuk pergi akhirnya aku dan Draco pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Sepanjang jalan Draco terus melirikku dengan tatapan yang meminta banyak penjelasan akan hal-hal yang terjadi hari ini, tapi aku memilih diam dan berpura-pura tidak menyadarinya, "Veena, kau tahu. Kau harus menjelaskan semua kejadian ini dengan rinci nanti. Karena sekarang aku benar-benar tidak mengerti apapun."

Aku hanya mengedikkan bahuku kemudian menoleh kepadanya, "Tanpa aku beri penjelasan, sepertinya kau dapat mengambil kesimpulan sendiri. Semua akan semakin jelas nanti, kau tunggu saja." Balasku dengan nada datar tanpa ekspresi.

Kami akhirnya sampai kembali ke ruang kesehatan, Harry yang menanyakanku habis darimana pun terdiam saat menyadari kacamata sudah bertengger dengan rapi. Di sini hanya ada aku, Ron, Harry dan Draco. Sepertinya jikalau hanya mereka yang mengetahui kemampuanku, itu takkan berdampak besar.

Aku melangkah mendekati badan Hermione yang terkujur kaku, kesadarannya masih berada di tubuhnya aku yakin itu. Lalu ku bisikkan sesuatu di telinganya dengan sangat pelan, "Aku ingin melihat kronologi saat kau jadi membatu seperti ini, Hermione." pintaku dengan senyap.

Kuraih gagang kacamataku kemudian aku melepasnya, Draco nampak mengernyit curiga dengan apa yang akan ku lakukan. Ku dekatkan kedua mataku dengan matanya kemudian pandanganku mulai memutih.

***

"Ini dia, monster yang Professor McGonagall ceritakan waktu itu! Makhluk menyeramkan yang bersembunyi di balik ruang rahasia adalah seekor ular besar bernama Basilisk! Dibuku ini dijelaskan, Basilisk adalah reptil dalam legenda Eropa yang dikenal sebagai raja ular dalam mitologi dan memiliki kemampuan untuk menimbulkan kematian bila menatapnya. Aku harus memberitahu Harry dan Ron soal ini!"

Hermione merobek lembar kertas itu diam-diam dan menggulungnya di kepalan tangannya. Namun suara aneh yang sedari tadi mengusiknya nampak semakin jelas. Ia sangat yakin ada yang memperhatikannya dari belakang.

Hermione mengambil cermin yang ada di saku jubahnya untuk mengintip siapa orang yang sedari tadi menguntitnya. Dan saat cerminnya mengarahkan pada sesuatu, ia melihat sebuah mata kuning bercahaya.

***

"Akkhhhh!!" Aku menjerit kesakitan sejadi-jadinya setelah mendapati visual masa lalu dari Hermione. Membuat ketiga lelaki itu bergidik terkejut.

"Veena!" Pekik Draco dan Harry bersamaan. Mereka segera menahan badanku yang hampir terjatuh.

"Ada apa denganmu, Veena?" Tanya Harry kalang kabut melihatku berkeringat dingin. Tak kusangka ternyata melihat masa lalu seseorang lebih menyakitkan daripada masa depannya, mungkin karena aku belum terbiasa.

Aku mengangkat tanganku dan menunjuk pada lengan kanan gadis keriting itu, "Lihatlah tangannya, Hermione menyimpan pesan untuk kalian."  Ron mengerutkan keningnya bingung, namun meskipun begitu ia tetap melakukan apa yang ku suruh.

Ron meraih tangan Hermione lalu mendapati secarik kertas di tangannya, "Dia benar, Harry! Hermione menyimpan sebuah petunjuk untuk kita!" Ujarnya yang kemudian membacakan isi dari kertas tersebut.

Ini adalah salah satu kemajuan yang baik, tapi masih belum cukup untuk kami melangkah ke tahap berikutnya. Masih ada yang kurang dari informasi  yang ku dapat dari Hermione.

Aku menengok ke arah kasur yang ditutupi dengan tirai berwarna hijau toska, itu adalah tempat Colin dan Justin dibaringkan. Mungkin jikalau aku melihat ke dalam ingatan mereka, akan lebih banyak informasi yang kudapat.

Ku kencangkan kedua otot tanganku berusaha menumpu badanku untuk berdiri. Aku melangkah mendekati tirai di hadapanku dan membukanya tanpa ragu. Hingga Draco menahan tanganku.

"Kau sudah gila, huh? Apa yang kau lakukan?" Draco sedikit berteriak di dalam perkataannya, aku hanya bisa tersenyum lemas.

"Biarkan gadis gila ini bertindak dengan nalurinya, Draco." Balasku seraya menepis tangannya.

Kini aku menghampiri tubuh justin yang terbaring kaku, lalu kembali membisikkan sesuatu di telinganya, "Justin, tunjukkan padaku bagaimana kau bisa berakhir seperti ini." Ucapku pelan kemudian beralih menatap matanya, dan lagi lagi pandangaku memutih.

***

"Hei! Apa yang kau lakukan di sini, huh? Aku tahu anak Slytherin sepertimu senang melanggar peraturan, tapi mencoret-coret dinding seperti ini sudah keterlaluan!" Teriak Justin kepada seorang gadis berambut pendek yang kini tengah membelakanginya.

Gadis itu pun membalikkan badannya dengan perlahan sambil menyeringai tajam, "Aah... Lucu sekali. Apa yang akan kau lakukan, anak kecil? Melaporkannya pada gurumu, hm?"

Justin membelalakkan matanya saat melihat tangan gadis itu dipenuhi dengan darah berbau hanyir, "K-kau! Apa yang kau lakukan, huh? Aku akan melaporkanmu pada Professor!" Lelaki itu pun berbalik dan segera berlari, namun dirinya justru menabrak Nearly Headless Nick yang berada di hadapannya.

"Hei! Perhatikan jalanmu, anak muda!" Ketusnya yang kemudian menoleh ke arah gadis itu yang kini terdapat ular besar bermata kuning di belakangnya. Seketika Nick menjerit dan diam membatu.

Justin yang refleks itu ikut menoleh kebelakang meskipun pandangannya tertutup oleh badan Nick, ia melihat mata kuning itu secara tidak langsung. Dan membuatnya ikut membatu ditempat.

***

"Ooh... Astaga. Pansy...." Badanku seketika lemas kemudian terjatuh di atas lantai. Jadi memang benar selama ini Pansy pelakunya. Tapi aku tak mengerti bagaimana bisa dia menjadi seperti ini? Seolah-olah ada orang yang mengendalikannya dari belakang.

Ku tengokkan kepalaku dan mendapati Draco yang menatapku sangat khawatir, "Draco.... Pansy. Pansy dalam bahaya, kita.... harus segera menemukannya, aku tak ingin dia terus melakukan ini semua." Lirihku yang kini mataku mulai terasa basah.

Tidak, aku tidak boleh menangis seperti ini. Ini takkan menyelesaikan apa pun.

"Veena, apa pun yang kau lakukan sekarang. Tolong, hentikan. Berhenti menyakiti dirimu sendiri." Tuturnya lembut seraya menahan kedua bahuku.

Aku menghela nafas seraya menggelengkan kepala dengan lemah, "Tidak, Draco. Pansy dalam bahaya, aku tak ingin membuatnya menunggu terlalu lama." Untuk kedua kalinya aku menepis tangan Draco yang berusaha menghentikanku. Tapi aku benar-benar tidak bisa berhenti. Aku harus melakukan semua ini.

Korban terakhir, Colin Creevey. Kasihan sekali saat melihat adik tingkat yang masih kecil ini justru terlibat dalam masalah. Bahkan wajahnya terlalu polos untuk dunia sihir yang kejam, "Collin, tolong tunjukan padaku bagaimana kau bisa berakhir disini." bisikku pelan kepadanya.

***

"Aku! Aku tak bisa meneruskan ini semua, Tom! Dan kau sengaja memanfaatkanku untuk melakukan hal-hal yang buruk!"

Brak

Suara benda terlempar dengan keras dan jeritan gadis itu mencuri perhatian Collin. Anak laki-laki itu sedang melakukan rutinitasnya mengambil beberapa foto yang unik di Hogwarts, hingga ia tak menyadari bahwa dirinya akan terlibat dalam masalah yang membahayakan nyawanya.

"Sepertinya ada kejadian yang menarik disana, aku harus mengabadikannya!" Seru Collin seraya mendekati sumber suara. Dilihatnya air yang mulai memenuhi lantai koridor, dirinya sedikit berpikir untuk mengurungkan niatnya saat menyadari bahwa tempat yang ia tuju adalah toilet wanita.

Hanya saja suara isakan tangis dan desisan ular itu mengalahkan rasa penasarannya, dengan perlahan ia mengintip dari balik dinding. Kameranya mulai diarahkan, sampai ia menyadari bahwa gadis berambut sebahu itu kini tengah menatapnya bersama seekor ular besar yang dengan cepat melirik seraya memancarkan sinar kuning dari matanya.

"Mengintip adalah kebiasaan yang buruk, anak kecil." Gadis itu menyeringai selagi melihat Collin yang mulai jatuh membatu.

***

"Hhaaah...." Kepalaku kembali berdenyut karna rasa sakit yang kurasakan. Aku lagi-lagi terjatuh di atas lantai karena kakiku terasa sangat lemas.

Seperti yang aku duga, Pansy memang dikendalikan oleh sesuatu. Ia tak melakukan ini dengan kemauannya, tapi memang terpaksa. Setidaknya aku merasa sedikit membaik mendapati informasi tersebut, terimakasih Collin kau yang terbaik.

Senyuman optimis terukir di wajahku seraya aku menoleh pada pria berkacamata itu, "Harry, aku tahu dimana ruang rahasia itu berada." Mereka hanya diam tak percaya mendengarku berbicara.

"Tunggulah sebentar lagi Pansy, aku akan menjemputmu."

TO BE CONTINUE

Continue Reading

You'll Also Like

627K 18.3K 14
LAPAK BROTHERSHIP ✔️ NOT BOYS LOVE...❌ SUDAH END TAPI TETEP VOTE + FOLLOW PROSES REVISI Kamu tahu obsessi? Ya apa saja bisa dilakukan bahkan bisa m...
481K 36.6K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
63.1K 6.6K 22
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
225K 33.8K 61
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...