Nadam

Av NourPurnawan

964 166 35

Di mana menemukan cinta sejati? Mengapa keluarga yang sebenarnya adalah tentang di mana engkau merasa setiap... Mer

Intro-Kawan Seperjalanan
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 16

Bab 15

32 5 0
Av NourPurnawan

Ara tak punya waktu menjelaskan pada Elga saat gilirannya keluar. Tak dipedulikan mata lelaki yang melotot tajam ke arahnya itu.

Dentuman musik mengiringi langkah Ara di atas panggung. Lenggok langkah kakinya terlihat mantap meski jauh di dalam hati kecilnya terselip rasa tak nyaman. Ada harap yang dia panjatkan, semoga apa yang dia lakukan tadi di kamar kecil tak berakibat fatal.

Ballroom hotel berbintang lima itu penuh pengunjung. Khas Bali, perpaduan antara adat yang kental, keseksian, keterbukaan pada budaya terasa sekali pada beberapa rancangan busana kali ini.

Gadis itu merasa apes saat mendapat fitting baju yang terbuka. Hampir separuh dadanya terekspose bebas dengan atasan model kemben dan bawahan dengan belahan hingga atas lutut.

Ara nekat. Disambarnya kain -entah punya siapa- yang kebetulan senada dengan bajunya itu. Dengan pin kecil, dia sematkan kain berbentuk selendang itu di tengah dada, lalu disampirkan ke belakang. Setidaknya, itu menyelamatkan dua bukitnya dari sambaran mata pengunjung. Untuk pertama kalinya ... Ara malu!

Begitu ada masuk backstage, Lionel -sang desainer- menyusul. Dengan muka mengeras dan tanpa senyum, lelaki kemayu itu mendekati Ara yang bersiap dengan baju berikutnya.

"Heh! Lo gue bayar bukan buat ngerusak apa yang gue bikin! Lo tau ... yang lo bawa itu rancangan andalan hari ini. Seenaknya aja lo!" Lionel langsung menyembur Ara dengan makian. Bahkan mungkin karena terlalu marah, dia tak mau menyebut nama Ara. "Gue bersumpah nggak akan pernah mau pakek lo lagi kalau sampai hari ini kacau!"

Tak ada yang bisa Ara lakukan selain diam. Kesalahannya memang fatal.

"Lo--"

Seruan Lionel terpotong dering ponsel di sakunya.

"Nyonya Besar," desisnya.

Ara paham siapa yang disebut Nyonya Besar. Wanita muda simpanan seorang pejabat sekaligus pengusaha itu pelanggan setia Lionel dan beberapa desainer kondang lain. Dia rela mengikuti ke mana pun Lionel pameran, bahkan meski ke luar negeri.

Tanpa mengendurkan tatapan tajamnya ke arah Ara, lelaki itu menjawab dengan mode loud.

"Yes, Mam."

"Cyiiin ... bikinin gue baju yang dipakek Ara! Persis begitu! Gue suka bangeeeet ... bikin yang spesial dengan selendangnya juga!" Suara di seberang terdengar antusias.

Ara menahan napas.

"Tapi ... selendang itu--"

"Itu brilian, Cyiiin. Gue liat Ara kayak putri yang malu-malu gitu. Seksi, tapi sekaligus anggun. Terbuka tapi nggak murahan. Aaah, elo paling bisa, Cyiiin."

Tatapan Lionel mengendur. Senyumnya mengembang meski terlihat terpaksa. Dia menutup ponsel setelah sejenak berbasa basi dan panggilan lain masuk. Kali ini, dia menahan suara loudnya, meski Ara tetap bisa menangkap apa yang dibicarakan. Dua pesanan lagi dengan model yang sama. Ara yakin, Lionel akan memodifikasi desain itu hingga tak terlihat sama persis.

"Lo nyelametin gue hari ini, Ra. Sorry, gue tadi marah-marah. Tapi lo harusnya bilang kalau lo ada ide." Suara Lionel sudah kembali lembut. Pelan dipeluknya Ara yang masih mematung. "Kali lain, kita bisa diskusi kalau memang diperlukan, Say."

Lionel melepas pelukannya sambil menepuk lembut pipi Ara. Lalu dengan langkah ringan dia meninggalkan Ara setelah mengingatkan dan memastikan sesi berikutnya tak ada kesalahan.

Jantung Ara berdegup lebih kencang. Pelukan itu, seharusnya dia tak lakukan. Rasa malu itu ....

Dengan setengah hati, Ara menyelesaikan pekerjaannya. Banyak hal yang harus dia pikir ulang, termasuk membunuh rasa malu dan jengah yang beberapa hari ini menguntitnya.

Mungkin dengan bertahan beberapa hari di Bali, bisa mengembalikan dirinya ke siapa Ara yang dulu.

***

Apakah takdirnya memang harus tetap berada di sini melanjutkan impian Mami sebagai model profesional?

Ara menatap sendu pada tubuh yang terbaring lemah di bangsal rumah sakit. Mata Mami terpejam, wajahnya pucat dan badannya begitu lemah. Dokter visit baru saja keluar setelah menjelaskan kondisi Mami saat ini. Tidak ada yang serius, Mami hanya kelelahan. Begitu penjelasan singkatnya saat Ara bertanya dengan nada khawatir. Sementara Mika hanya duduk di kursi tanpa sekali pun melepaskan pandangannya dari ponselnya.

Setelah fashion show di Bali tempo hari, Ara berencana untuk menikmati waktu sendiri di sana beberapa hari. Tapi telepon Mika membuyarkan semua rencana. Mami tiba-tiba harus dibawa ke rumah sakit. Sementara Papi masih mengurus bisnis di Singapura.

Dengan menumpang pesawat paling pagi, Ara segera kembali ke Jakarta. Meski dia bertanya-tanya dalam hati penyebab sakitnya Mami, tak urung dia merasa bersalah juga. Terlebih Mika bersikeras menuduhnya sebagai penyebab sakitnya Mami.

"Loe sih pake acara minggat segala. Apa enaknya tinggal di Wonosobo? Cuman bikin elo terpenjara karena gak bisa ke mana-mana," gerutu Mika meski dengan suara pelan karena takut membangunkan Mami yang tengah beristirahat.

"Maksud loe Mami sakit gara-gara gue, Kak?" Ara mendekat ke arah Mika agar pendengarannya lebih sempurna. Lagipula jika mereka gaduh, Ara khawatir akan membangunkan Mami. Perlahan dia mengambil kursi kecil yang disediakan untuk tamu pengunjung dan duduk di samping kakaknya.

"Ya siapa lagi kalo bukan loe? Selama ini loe kan biang keladi semua masalah?" tanpa wajah bersalah, tuduhan itu langsung mengacak-ngacak perasaan Ara saat itu juga.

Ara berusaha tidak terpancing emosi meski harus diakui kalimat Mika sangat menyakitkan.

"Gue cuma butuh waktu nenangin diri." Pembelaannya itu rasanya terdengar sangat klise. Tapi saat itu pikirannya kacau balau, dia tidak tahu harus kemana lagi.

"Karna Aldy? Lagian cowok berengsek kayak gitu masih aja dibelain."

"Saat itu gue masih berharap dia mau berubah."

"Tapi sampai kapan? Sampai elo jadi rusak kayak gini? Cmon, Ra, elo cantik. Lelaki mana pun bisa dengan mudah bertekuk lutut sama loe. Tapi kenapa loe terus mempertahankan Aldy?" Nada suara Mika mulai meninggi. Dia menatap wajah adiknya dengan perasaan kesal.

Mika benar tentang perasaannya kepada Aldy, tapi menuduhnya rusak? Ara malah merasa jika dirinya yang sekarang jauh lebih baik daripada Ara yang dulu sebelum bertemu Bu Hasna. Dia lebih tenang, tidak terburu-buru, tidak meledak-ledak, belajar ikhlas, belajar sabar, dan belajar menerima apapun yang sudah digariskan dalam hidupnya.

"Gue udah gak sama Aldy. Lagian kenapa selalu gue yang disalahin?" Ara menarik napas panjang. Ada perasaan sedih yang berusaha disembunyikan dan membuatnya gusar.

"Ya karena elo salah!"

Kalimat itu begitu jemawa seolah Ara hanya orang payah yang bisa diperlakukan sesuka hati oleh Mika. Ara bangkit, menatap Mami sebelum memutuskan untuk mendekati pintu dan membukanya perlahan.

"Eh loe mau kemana?" Suara Mika menahan langkahnya beberapa saat, tapi Ara bungkam dan segera berjalan keluar. Entah harus ke mana dia meluapkan kesedihan akibat kalimat-kalimat Mika yang menuduhnya terlalu keji. Ara terus menyeret langkahnya tanpa tujuan, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mencari tempat yang tenang.

Mungkin dia butuh secangkir kopi, duduk di dekat jendela yang terbuka, dan menikmati udara yang basah karena hujan. Dengan begitu, hatinya mungkin bisa sedikip membaik. Ara merapatkan jaket yang dikenakannya sambil melangkah menuju sebuah coffeshop yang berada di salah satu lorong rumah sakit.

Setelah menyebutkan pesanannya kepada waiters, Ara memilih duduk di pojok dekat kaca agar lebih leluasa melihat keluar. Tidak ada jendela yang terbuka, tapi dia bisa melihat pemandangan di luar dan menikmati hujan deras yang belum juga mau pergi sejak kedatangannya ke sini.

Perkataan Mika masih terngiang-ngiang jelas di telinga membuat Ara semakin sedih. Gadis itu segera merapatkan jaketnya begitu merasakan bahwa udara di sekeliling sama dinginnya dengan cuaca di luar yang tengah digempur hujan deras. Dan entah kenapa saat Ara menjatuhkan pandangannya ke arah kaca. Bayangannya memantul dengan jelas di sana. Ara baru menyadari jaket yang dikenakannya saat ini adalah jaket milik Risyad.

Setiba di Jakarta, Ara begitu terburu-buru ketika tiba di apartemen. Tak ada istirahat, tidak sempat berganti baju. Ara segera meletakkan koper dan tasnya begitu saja. Tanpa berpikir panjang, tadi dia langsung menyambar sebuah jaket yang berderet paling atas di dalam lemarinya.

Ara melipat kedua tangan dan mengangkatnya hingga sejajar dengan dagu. Dihirupnya perlahan aroma khas sisa parfum yang masih tertinggal di sana. Ingatannya langsung melayang ke Wonosobo, mengingat wajah-wajah menenangkan milik Abah dan Bu Hasna, kemunculan Risyad yang tak terduga, dan ....

"Ara---"

Suara itu begitu lembut membentangkan kenangan selama Ara berada di Wonosobo. Rasanya suara itu tak terdengar asing, seolah kerap hadir di dalam ingatannya yang baru. Suara itu begitu menenangkan batinnya saat ini.

"Ara---"

Gadis itu tersentak, suara itu nyata, membangun kesadarannya dengan tiba-tiba. Ara menoleh, dan sosok tubuh tegap lengkap dengan sebuah senyum yang memikat tengah berdiri di hadapannya.

"Risyad," desis Ara kaget bukan kepalang. Bagaimana mungkin lamunannya bisa menerjemahkan pikirannya?

"Kamu Ara, kan? Masih ingat saya?" pertanyaan itu membuatnya kembali tersadar.

Jantung Ara hampir melompat. Tentu saja dia masih ingat pertemuan pertama dan terakhir mereka di Wonosobo.

"Kamu ... kok ada di sini, Mas?" tanya Ara langsung bangkit dari tempat duduknya.

"Habis menjenguk kerabat yang baru saja dioperasi. Dokter di Wonosobo merujuknya agar segera dilakukan operasi di sini karena fasilitas rumah sakit di Wonosobo tidak cukup lengkap. Sebagai dokter dan kerabat dekat, saya merasa harus ada di sini untuk mendampingi," penjelasan Risyad sudah cukup membuat Ara lega. Ternyata dia tidak sedang berfatamorgana, Risyad memang ada di hadapannya, bukan di dalam lamunannya.

"Ibu Hasna?" pertanyaan Ara menggantung di udara.

Terbersit harapan di hati Ara bahwa dia akan bertemu kembali dengan perempuan separuh baya itu.

"Ibu dan Abah tidak ikut. Perjalanan darat cukup lama sehingga malah akan membuat mereka tidak nyaman."

Wajah Ara berubah sedikit mendung. Dia tidak bisa menyembunyikan sesuatu yang meledak di dadanya. Mungkin sesuatu itu bernama rindu.

"Mereka sangat merindukan kamu, terutama Ibu," pikiran Ara seperti bisa terbaca dengan mudah oleh Risyad.

Ara tersenyum tipis sekaligus berusaha menahan sesuatu yang ingin mengalir di pipinya.

"Boleh saya duduk?" Risyad bertanya dan langsung disambut anggukan kepala oleh Ara.

Mereka kini duduk berhadapan, gadis itu segera memesan minuman dan beberapa cemilan untuk Risyad meski lelaki berparas tampan itu berkali-kali menolak.

"Ibu benar-benar memuliakan aku selama di Wonosobo, sekarang giliran aku membalas kebaikan Ibu," Ara mempersilahkan Risyad begitu pesanan sudah tersedia di meja.

Risyad tersenyum, "Itulah Ibu, selalu baik kepada siapa pun meski itu orang yang baru dikenalnya sekalipun."

Risyad menatap Ara dalam-dalam, membuat Ara dengan cepat menyadari hal bodoh yang dilakukannya siang ini. Jaket.

"Maaf, jaket Mas Risyad belum sempat kukembalikan, sekarang malah masih aku pakai. Tadi aku terburu-buru--" Ara tidak mampu mencari kalimat yang tepat untuk menjelaskannya. Dengan kikuk dan setengah ragu, Ara berusaha melepaskan jaket yang tengah dikenakannya namun tangan Risyad terangkat dan memberi isyarat agar Ara tidak melakukannya.

"Pakai aja," cetus Risyad singkat.

"Tapi ini milikmu, Mas."

Risyad terkekeh dan mengambil segelas kopi panas yang tadi dipesankan oleh Ara untuknya. Perlahan lelaki berambut sedikit ikal itu menyesap kopinya dalam-dalam.

"Ibu banyak bercerita tentang kamu bahkan sebelum saya pulang ke Wonosobo obrolan kami di telepon selalu diisi dengan hari-harinya bersama kamu. Sepertinya Ibu sangat kehilangan kamu." Mata teduh itu berusaha memecah kesunyian. Kini dia menatap keluar kaca. Hujan masih deras menyerbu dari langit.

"Mas Risyad masih lama di Jakarta?" Ara memberanikan diri bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

Obrolan tentang Bu Hasna selalu membuat mata Ara menghangat. Jika sudah begitu, gadis itu tak sabar untuk segera mengunjungi Wonosobo secepat mungkin.

"Saya masih menunggu perkembangan hasil operasi Pakde Jarno. Jika hasilnya baik, saya akan langsung kembali ke Wonosobo."

Ara terdiam. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Ara seolah lupa tujuan awalnya ke coffeshop tadi, lupa akan obrolannya dengan Mika, lupa bahwa kalimat kakaknya itu sangat mengganggu pikirannya. Apakah karena kehadiran Risyad? Ara membuang napas pendek begitu menyadari seseorang dari kejauhan tengah berjalan ke arahnya. Mika!

Fortsett å les

You'll Also Like

657K 25.7K 73
Lilly found an egg on a hiking trip. Nothing abnormal on that, right? Except the egg was four times bigger than supposedly the biggest egg in the wor...
1.1M 27K 45
When young Diovanna is framed for something she didn't do and is sent off to a "boarding school" she feels abandoned and betrayed. But one thing was...
215K 23.4K 30
She is shy He is outspoken She is clumsy He is graceful She is innocent He is cunning She is broken He is perfect or is he? . . . . . . . . JI...
182K 13.4K 19
"YOU ARE MINE TO KEEP OR TO KILL" ~~~ Kiaan and Izna are like completely two different poles. They both belong to two different RIVAL FAMILIES. It's...