Bab 15

32 5 0
                                    

Ara tak punya waktu menjelaskan pada Elga saat gilirannya keluar. Tak dipedulikan mata lelaki yang melotot tajam ke arahnya itu.

Dentuman musik mengiringi langkah Ara di atas panggung. Lenggok langkah kakinya terlihat mantap meski jauh di dalam hati kecilnya terselip rasa tak nyaman. Ada harap yang dia panjatkan, semoga apa yang dia lakukan tadi di kamar kecil tak berakibat fatal.

Ballroom hotel berbintang lima itu penuh pengunjung. Khas Bali, perpaduan antara adat yang kental, keseksian, keterbukaan pada budaya terasa sekali pada beberapa rancangan busana kali ini.

Gadis itu merasa apes saat mendapat fitting baju yang terbuka. Hampir separuh dadanya terekspose bebas dengan atasan model kemben dan bawahan dengan belahan hingga atas lutut.

Ara nekat. Disambarnya kain -entah punya siapa- yang kebetulan senada dengan bajunya itu. Dengan pin kecil, dia sematkan kain berbentuk selendang itu di tengah dada, lalu disampirkan ke belakang. Setidaknya, itu menyelamatkan dua bukitnya dari sambaran mata pengunjung. Untuk pertama kalinya ... Ara malu!

Begitu ada masuk backstage, Lionel -sang desainer- menyusul. Dengan muka mengeras dan tanpa senyum, lelaki kemayu itu mendekati Ara yang bersiap dengan baju berikutnya.

"Heh! Lo gue bayar bukan buat ngerusak apa yang gue bikin! Lo tau ... yang lo bawa itu rancangan andalan hari ini. Seenaknya aja lo!" Lionel langsung menyembur Ara dengan makian. Bahkan mungkin karena terlalu marah, dia tak mau menyebut nama Ara. "Gue bersumpah nggak akan pernah mau pakek lo lagi kalau sampai hari ini kacau!"

Tak ada yang bisa Ara lakukan selain diam. Kesalahannya memang fatal.

"Lo--"

Seruan Lionel terpotong dering ponsel di sakunya.

"Nyonya Besar," desisnya.

Ara paham siapa yang disebut Nyonya Besar. Wanita muda simpanan seorang pejabat sekaligus pengusaha itu pelanggan setia Lionel dan beberapa desainer kondang lain. Dia rela mengikuti ke mana pun Lionel pameran, bahkan meski ke luar negeri.

Tanpa mengendurkan tatapan tajamnya ke arah Ara, lelaki itu menjawab dengan mode loud.

"Yes, Mam."

"Cyiiin ... bikinin gue baju yang dipakek Ara! Persis begitu! Gue suka bangeeeet ... bikin yang spesial dengan selendangnya juga!" Suara di seberang terdengar antusias.

Ara menahan napas.

"Tapi ... selendang itu--"

"Itu brilian, Cyiiin. Gue liat Ara kayak putri yang malu-malu gitu. Seksi, tapi sekaligus anggun. Terbuka tapi nggak murahan. Aaah, elo paling bisa, Cyiiin."

Tatapan Lionel mengendur. Senyumnya mengembang meski terlihat terpaksa. Dia menutup ponsel setelah sejenak berbasa basi dan panggilan lain masuk. Kali ini, dia menahan suara loudnya, meski Ara tetap bisa menangkap apa yang dibicarakan. Dua pesanan lagi dengan model yang sama. Ara yakin, Lionel akan memodifikasi desain itu hingga tak terlihat sama persis.

"Lo nyelametin gue hari ini, Ra. Sorry, gue tadi marah-marah. Tapi lo harusnya bilang kalau lo ada ide." Suara Lionel sudah kembali lembut. Pelan dipeluknya Ara yang masih mematung. "Kali lain, kita bisa diskusi kalau memang diperlukan, Say."

Lionel melepas pelukannya sambil menepuk lembut pipi Ara. Lalu dengan langkah ringan dia meninggalkan Ara setelah mengingatkan dan memastikan sesi berikutnya tak ada kesalahan.

Jantung Ara berdegup lebih kencang. Pelukan itu, seharusnya dia tak lakukan. Rasa malu itu ....

Dengan setengah hati, Ara menyelesaikan pekerjaannya. Banyak hal yang harus dia pikir ulang, termasuk membunuh rasa malu dan jengah yang beberapa hari ini menguntitnya.

NadamWhere stories live. Discover now