Bab 1

118 14 5
                                    

"Jam sembilan lebih sepuluh menit!"

Ara sengaja menyindir dan mengeraskan suara saat lagi-lagi Risa -manajernya- mengabaikan.

"Sa, gue capek. Berapa lama lagi harus nunggu?" Meski melotot, Ara menekan suaranya ke volume terendah.

"Sabar."

"Enam puluh tiga kali!"

"Hah?!" Risa menoleh cepat.

"Kata yang sama lo ucapin!" Ara mendengkus kesal. "Udah enam puluh tiga kali lo nyuruh gue sabar. Lo tahu kan, gue pernah kerja seharian dari pagi sampai pagi lagi. Tapi gue nggak ngeluh. Kalau nunggu tanpa kejelasan gini, capeknya tuh ratusan kali lipat!"

Ara tak bisa menahan lagi. Sudah dari jam enam sore tadi dia harus menunggu dengan make up lengkap. Namun take kedua yang harusnya segera dia lakukan dan sudah selesai berjam-jam lalu ternyata zonk.

"Ega lagi nanganin anak baru, Ra--"

"Ya tapi kan nggak harus nelantarin gue," potong Ara cepat.

Dia paham sekali karakter Ega. Cowok itu pasti akan mendahulukan model baru yang dengan sukarela dia grepe-grepe.

"Sepuluh menit lagi gue nunggu. Kalau dia masih asyik sama anak baru itu, gue pulang!"

"Nggak bisa gitu dong, Ra. Kita udah dibayar full untuk project ini--"

"Gue tahu! Tapi kita juga punya schedule. Dan elo juga tahu kalau gue tepat janji."

Wajah Ara mengeras, antara marah, kesal dan lelah yang menjadi satu. Dia merasa dinomor seratuskan. Ara masih ingat bagaimana Ega dulu memohon-mohon agar dia mau dijadikan modelnya. Lalu meski dengan jadwal yang padat, Ara menyetujui.

Sekarang saat agency-nya sudah besar, banyak model baru rela antri, Ega seperti melupakannya. Harusnya Ega menghargai waktu, karena cowok itu juga tahu Ara masih harus take di beberapa tempat lagi.

"Sepuluh menit! Gue cabut! Lo ikut gue atau bertahan di sini, terserah!" Ara berdiri, melangkah cepat ke bilik ganti tanpa peduli Risa yang heboh menenangkannya.

Ara berganti baju dengan cepat, lalu menghapus sisa make up. Rambutnya hanya diikat jadi satu ke atas dengan karet yang dia temukan Langkahnya nyaris bertubrukan dengan dengan Risa yang mau masuk ke bilik.

"Ra, bertahan sebentar lagi, oke? Satu take lagi lalu kita selesai di sini. Gue janji nggak akan ambil job Ega lagi buat lo kalai dia masih kayak gini," bujuk Risa

Ara tahu, managernya itu merasa bersalah, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa.

"Reschedule, Sa, gue udah nggak mood." Ara menggeleng tegas. "Lo mau balik bareng gue atau sendiri?"

Risa menarik napas berat. Ara sebenarnya tidak merepotkan, tapi kali ini Ega memang keterlaluan. Setelah beberapa kali take foto di minggu-minggu lalu yang juga tidak memihak Ara, kali ini Ega terang-terangan membuatnya ngambek.

"Gue harus--" Risa terdengar ragu. Telunjukkanya mengarah ke studio dua, tempat pengambilan foto.

"Ya sudah. Urus aja model-model barunya Ega!" potong Ara ketus. Ada rasa sakit yang menyelinap tanpa permisi.

Risa sudah bertahun-tahun menjadi managernya. Mereka sempat dekat. Ara merasa punya seseorang yang mungkin bisa disebut sahabat, alih-alih manager. Lalu gadis itu mulai sibuk saat Ega melamarnya untuk memanageri beberapa model lain. Mereka mulai renggang. Dan sekarang, sepertinya Ega mulai membenturkan mereka. Kentara sekali, Ega sering menempatkan mereka di posisi yang sama-sama sulit.

Ara mencangklong tas laptop sambil melangkah cepat menuju lift yang akan membawanya ke basement. Studio tiga lantai ini hanya memilik satu lift sebagai penghubung, selain tangga memutar yang jarang digunakan.

Gadis itu menyandar di dinding lift dengan mata terpejam. Dua malam berturut-turut dia tidak tidur dengan cukup. Pesta di club membuatnya pulang pagi. Mau bagaimana lagi, Ara suka hingar bingar dan dentuman musik yang menghajar gendang telinga. Minimal, dia bisa melupakan sejenak kekosongan di hati.

Ara membuka mata saat bel berdenting dan tombol dengan huruf B menyala. Ditegakkan tubuhnya sambil menanti pintu lift membuka sempurna. Tangannya mencari kunci mobil di saku samping tas.

Sepuluh meter sebelum mencapai mobil, Ara tertegun. Langkahnya terhenti. Sosok tiga meter di samping kirinya terlihat sangat familier. Sosok itu tadi tidak terlihat karena tertutup body sebuah Pajero. Dan dia ... tidak sendirian.

Ara memicingkan mata untuk memastikan apa yang dia lihat. Tubuh Ara bergetar. Posisi mereka terlihat intim, seperti sedang ber--

"Aldy--" Satu nama akhirnya meluncur.

Sosok itu menoleh cepat. Lalu tampak satu lagi sosok mungil yang sepertinya tadi tenggelam dalam pelukan cowok itu.

Jarak tiga meter cukup membuat mereka bisa saling tatap dengan jelas. Satu senyum manis yang lebih terlihat mengejek muncul di bibir cewek mungil itu. Ara mengenalnya sebagai salah satu model baru Ega.

"Lo--" Suaranya hanya tercekat di tenggorokan.

Senyum centil itu semakin melebar, lalu dengan santai menggelanyut manja di lengan si cowok.

"Hai, Kak Ara," sapanya dengan keramahan yang jelas dibuat-buat.

Nikita, nama cewek yang sedang memasang tampang menyebalkan itu. Ara ingat.

"L-lo ada jadwal malam ini?" Aldy tergeragap. Dia terlihat mau melepaskan tangan si cewek yang justru semakin mengeratkan pelukan di lengannya.

"Trus kenapa? Lo bisa bebas gandeng cewek bookingan itu kalau gue nggak ada?"

Ara menatap tajam meski suaranya tetap datar. Dia melihat senyuman basa basi itu lenyap dari bibir si cewek.

"Ambil aja sampah itu, Al, dan pergi jauh-jauh dari hidup--"

"Heh ... seenaknya aja lo!" potong Nikita tak terima.

"Nyatanya, baru kemarin lo digrepein Ega, sekarang jalan sama cowok gue ... ralat, mantan!" Ara mempertahankan suaranya untuk tetap datar. "Kita putus, Al."

Dengan tenang, Ara berlalu menuju mobilnya. Dia tak menoleh sedikit pun pada pasangan di belakang. Entah. Rasa nyeri tiba-tiba merambat di dada, lalu meremas jantungnya.

Ara nyaris tak sadar saat air mata meleleh di pipi. Belum ada niat untuk menghapus. Dia biarkan saja air mata itu mengalir. Dia hanya tak ingin terlihat lemah dan rapuh di depan siapa pun. Namun sekarang dia sendirian.

'Menjadi kuat itu memang kadang semenyakitkan ini. Tidak apa-apa.'

Ara berusaha meyakinkan diri. Toh, dia sudah terbiasa sendiri dan berkali-kali dikhianati. Pun untuk kali ini ....

Diinjaknya gas semakin dalam, menyusuri jalanan Jakarta yang sudah mulai terurai dari macet. Hatinya sepi. Kosong. Seperti lagi-lagi ada bilik yang ditinggal pergi penghuninya.

Satu pesan Whatsapp masuk.
[Ra, ke Diego malam ini, yuk]

Ara menyeka sisa-sisa air mata, menimang ponselnya tanpa memberi jawaban. Otak dan tubuhnya menyetujui untuk berangkat. Namun entah sisi mana dari dirinya yang sangat menginginkan pulang.

Lantunan suara Evanescence semakin keras saat Ara menambah volume tape decknya.

Ada rasa yang memang butuh perhatiannya, tapi lebih banyak yang harus diabaikan. Hidupnya harus tetap berjalan. Apa pun yang terjadi.

NadamWhere stories live. Discover now