Bab 10

41 7 0
                                    

Ara cukup lama mematut diri di depan cermin tua yang terpasang di dinding kayu. Tunik coklat muda lengkap dengan rok berwarna senada yang kemarin dibelikan Bu Hasna di kota akhirnya menjadi pilihan Ara. Wajah cantik gadis itu terlihat bercahaya meski tanpa polesan make up tebal yang selalu menjadi rutinitasnya sehari-sehari saat berada di Jakarta.

Selepas membantu Mbok Parni dan Mbok Minah -kedua asisten rumah tangga di rumah Bu Hasna- di dapur, Ara memang segera membersihkan diri. Tadi pagi selepas subuh, sambil berjalan kembali ke kamar, tiba-tiba saja Bu Hasna berbisik sambil melembutkan kalimatnya di telinga Ara yang masih memakai pakaian salat lengkap.

"Nanti siang, temani Ibu dan Abah makan ya, Nak. Sekalian kita ngobrol dan merencanakan apa yang akan kita lakukan selanjutnya."

Ara terkesiap tak percaya. Dua minggu lebih berada di sini, undangan makan bersama dari Bu Hasna rasanya terdengar sangat istimewa. Selama ini, jika waktu makan tiba, Ara lebih sering melakukannya di kamar atau sesekali berbaur bersama dengan para murid perempuan di ruang makan.

"Tapi, Bu--"

Nada bicara Ara terdengar pelan. Ia ragu dengan ajakan Bu Hasna sekaligus merasa tersanjung.

"Kenapa, Ara keberatan?" Bu Hasna mengernyitkan kening sambil menatap mata coklat milik gadis itu.

"Tidak," sela Ara cepat, "Rasanya Ara tidak pantas mendapat undangan makan bersama dengan...."

"Tidak boleh berbicara begitu. Ibu dan Ara kan tidak ada bedanya. Kita semua sama di hadapan Allah," Bu Hasna berkata pelan sambil mengelus lembut punggung Ara. Gadis itu mengangguk pelan tanpa berani membantah lagi.

Siangnya selepas zuhur, Ara sudah dipanggil Mbok Parni. Bu Hasna sudah menunggu di ruang makan keluarga, ucap perempuan yang mengaku masih berumur empat puluhan itu dengan santun. Ara menurut, mengekor langkah Mbok Parni dan senyum lembut Bu Hasna menyambut kedatangannya di ruang makan.

"Ayo duduk, Nak," ucap Bu Hasna sambil membantu Mbok Minah yang tengah sibuk menata makanan di atas meja. Tiga piring kosong lengkap dengan sendok dan garpu sudah disiapkan dengan rapi termasuk dua gelas air putih ditambah segelas teh panas di mug blirik besar.

"Padahal Ara makan di kamar saja, Bu," ujar gadis itu yang belum melangkah sejengkal pun saat matanya bersitatap dengan Bu Hasna. Dia merasa sungkan harus berada bersama Ibu dan Abah di meja makan. Ara merasa bukan siapa-siapa di sini. Bukankah dia memang orang baru bagi keluarga Abah dan Bu Hasna?

"Tidak apa-apa. Nanti kamu malah bosan di kamar terus," Abah menimpali ketika muncul dari balik pintu dan menarik sebuah kursi persis di sebelah Bu Hasna.

Ara membungkuk hormat. Sejenak terdiam sebentar lalu agak ragu menarik kursi dan pelan-pelan duduk setelah yakin Bu Hasna dan Abah sudah terlebih dahulu menempati tempat duduknya. Sambil menyibakkan pasmina yang dipakai seadanya di kepala, Ara memperhatikan hidangan yang tersaji di meja setelah Mbok Minah kembali ke dapur. Kepulan asap dari nasi yang baru saja diangkat dan aroma lauk pauk menggugah selera makannya seketika.

"Ara juga tadi ikut memasak lho, Bah," ucap Bu Hasna bangga sambil melirik ke arah Abah yang tengah menyesap teh panas di dalam mug blirik besar. Bu Hasna lalu menyodok nasi di dalam bakul dengan centong kayu ke atas piring lengkap dengan lauk dan segera menyerahkan kepada Abah. Tangan Ibu yang terampil juga segera menyodok sedikit nasi untuknya dan mengambil beberapa lauk.

"Sampai ada insiden berdarah segala ya, Nak?" Ibu tersenyum ke arah Ara sambil memberi kode agar Ara lekas mengambil piringnya untuk diisi dengan nasi.

"Lho? Benarkah?" kening Abah yang sudah keriput berkerut demi mendengar kalimat yang diucapkan oleh istrinya tadi.

"Ara hanya membantu memotong sayur," ucap gadis itu malu-malu. Dia lalu melihat sekilas ke arah jarinya yang terluka dan ditutupi dengan perban. Sakitnya masih terasa berdenyut. Pekerjaan di dapur yang tidak pernah disentuhnya seumur hidup, membuat Ara sangat canggung memegang pisau saat hendak memotong sayuran.

Akhirnya insiden jari berdarah tidak bisa dihindari. Mbok Parni dan Mbok Minah panik luar biasa. Untung Bu Hasna selalu menyediakan kotak P3K di rumah sehingga dengan cepat luka di jari Ara mengering.

Tanpa banyak bicara, ketiganya lalu menikmati hidangan makan siang dengan penuh syukur. Pun Ara yang berani bertaruh bahwa saat-saat bersama Bu Hasna adalah salah satu moment terbaik dalam hidupnya.

* * *

"Sori kalo gue telepon elo, Ra. Elo ngilang kayak ditelan bumi sih. Nomer telepon lo gak aktif-aktif tiap kali gue telepon. Gue hampir putus asa. Untung gue inget pernah ke rumah elo nyariin kabar lo. Nyokap lo yang kasih nomer telepon ini," cerocos Risa di seberang sana mengagetkan Ara.

"Ada apa, Sa?" Ara bertanya dengan nada datar.

"Loe inget kontrak kerja yang di Bali? Eventnya maju ke minggu ini. Kita latihan besok. Lo bisa dateng kan?" pertanyaan Risa menyadarkan Ara seketika akan realita hidupnya.

"Gue harus pulang ke Jakarta?" tanya Ara seperti bertanya pada diri sendiri.

"Iyalah, Ra!" Risa terdengar kesal ketika mendengar nada bicara Ara yang terdengar tidak tertarik dengan pekerjaan yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh mereka itu.

"Tapi gue lagi di Wonosobo, Sa," cetus Ara mulai bingung. Bukan karena nilai kontrak fantastis yang akan diterimanya, tapi lebih kepada tanggung jawab yang harus dikerjakan Ara karena sudah terlanjur menandatangani kontraknya.

"Lo pulang dong, Ra, naik pesawat paling pagi kalo bisa."

Ara menelan ludah pahit demi mendengar kalimat yang diucapkan Risa. Tadinya dia mengira akan memulai kehidupan baru di Wonosobo sementara waktu dan baru kembali ke Jakarta saat dia sudah benar-benar siap. Tapi Ara lupa dengan beberapa kontrak kerja yang sudah ditanda tanganinya beberapa bulan kemarin.

"Sa, gue gak janji bisa pulang..." Ara tercekat tak mampu meneruskan kalimatnya.

"Jangan gitu, Ra, kita bisa dipenjara kalo wanprestasi," desak Risa di ujung telepon dengan nada bicara yang mulai meninggi.

Ara terdiam. Tak mampu berkata lebih banyak. Matanya mulai membentuk kristal-kristal bening, bibirnya kelu, jantungnya berdebar tak menentu. Meski begitu sebuah kalimat dia ucapkan juga untuk mengakhiri percakapan dengan Risa.

"Oke, gue usahain. Thanks, Sa, gue harus istirahat."

Telepon ditutup oleh Ara. Gadis itu merasa tak sanggup membayangkan hari-harinya akan kembali dipenuhi oleh jadwal panjang modelling, sederet aturan agensi, dan tekanan dari Mami Papi. Ara merasa sudah lelah. Dia hanya ingin hidup tenang, memilih takdirnya sendiri meski itu akan melukai banyak orang.

NadamWhere stories live. Discover now