Bab 5

46 11 3
                                    

Guncangan di pundak membuat Ara membuka mata. Lengket. Rasanya masih sangat ngantuk.

"Mbak, bangun. Sudah sampai." Suara itu kembali menggedor kesadaran.

Ara mengerjab-ngerjab. Kepalanya menoleh kiri kanan, lalu berhenti pada pemuda berkalung handuk di depannya.

"Sampai? Di mana ini--"

"Temanggung." Pemuda itu memotong tak sabar. "Teman Mbak tadi pesen, kalau sudah sampai Temanggung, Mbak dibangunkan."

"Teman?" Ara merasa linglung.

"Halaaaah, yang tadi duduk bareng Mbak, tapi dia turun dulu." Pemuda itu terlihat tak sabar. "Jadi mau turun nggak? Busnya sudah mau tolak ke Banjarnegara, nih."

Ara buru-buru berdiri. Dengan gontai, dia berusaha turun dari bus. Tubuhnya terasa melayang, ringan sekali.  Dia melangkah tanpa tahu harus ke mana. Kepalanya seperti kosong. Otaknya habis tanpa sisa, hingga untuk memerintah mencari pintu keluar saja tidak bisa.

Gadis itu mondar mandir dengan tatapan kosong. Sesekali dia berhenti untuk menatap sekeliling lalu kembali melangkah.

Ara sedang menatap ke arah sebuah bus yang sedang memutar untuk keluar dari area parkir. Baginya semua bus itu terlihat sama, persegi panjang. Ingatannya tak bisa merangkai, bagaimana dia bisa sampai ke tempat ini. Ke mana bus-bus itu akan pergi. Bus mana lagi yang harus dia tunpangi. Ara juga tak ingat, uang di saku hanya tinggal berapa puluh ribu. Ke mana dia harus pulang!

Riuh sekaligus senyap. Otaknya seperti sedang berpikir keras, tapi entah tentang apa.

Tiba-tiba dari depan, seseorang menabraknya dengan keras. Dia hanya melenguh pelan, lalu ambruk. Tubuhnya menyentuh lantai terminal yang keras berdebu. Matanya kembali menutup. Kesadarannya entah hilang ke mana.

***
Ara mengerjab. Kepalanya seperti ditindih batu besar, berdenyut dan nyeri. Dia berusaha membuka mata lebih lebar, lalu menutup kembali.

"Kamu sudah sadar, Nak?"

Satu sapaan lembut disusul elusan tangan membelai rambutnya yang berantakan tergerai sepunggung. Meski seingat Ara, dia sudah mengikat rambutnya jadi satu.

Ara sudah menjawab, tapi hanya erangan yang terdengar. Tubuhnya terbaring meringkuk dengan kepala berbantal pangkuan seseorang bersuara lembut itu. Guncangan kecil yang terasa menegaskan Ara kalau dia berada di dalam mobil.

Entah menuju ke mana.
Entah bersama siapa.

"Nak--"

Panggilan itu terdengar begitu menenangkan. Mata Ara yang terpejam seakan diembus angin sejuk saat kegerahan. Gadis itu bersumpah, rela menukar seluruh yang dia punya jika ibunya bisa selembut ini.

Erangannya terdengar lagi saat Ara menyebut dan memanggil ibunya. Meski tak terdengar jelas, Ara bisa merasakan belaian jemari itu kembali menyisir kepalanya.

"Biarkan dia istirahat dulu, Bu." Satu suara lain yang berat dan berwibawa terdengar.

Bukan suara Papi, Ara tahu. Namun dia tak bisa membuka matanya lebih lebar untuk melihat. Lalu saat semua terdiam, lagi-lagi Ara jatuh tertidur.

***

Ara merasakan seseorang menepuk-nepuk pipinya.

"Nak--"

Entah sapaan yang ke berapa hingga akhirnya Ara mau membuka mata. Tidurnya benar-benar lelap. Seingatnya tadi, dia berada di dalam mobil. Sementara saat ini dia berada di sebuah kamar berdinding kayu.

Retinanya pertama kali menangkap sesosok wajah keibuan. Wanita di depannya itu kurang lebih berumur lima puluh tahun dan mengenakan jilbab biru tua lengkap dengan kacamata tebal.

"Apakah keadaanmu baik-baik aja?" tanyanya lagi dengan wajah terlihat cemas.

Ara merekam ekspresi itu dan membayangkan, kapan terakhir kali Mami menatapnya seperti itu. Guratan memori Ara menemukannya samar, sepertinya lebih dari tujuh tahun lalu saat Ara sakit. Selebihnya tak pernah.

"Nak ...." Sapaan itu terdengar lagi.

Ara memejam saat wanita itu menggenggam jemarinya. Ada aliran sejuk   yang merambat lewat aliram darah bersamaan dengan sentuhan itu.

Gadis itu membuka mata dan tersenyum samar. Bibirnya terasa kebas untuk digerakkan.

"Alhamdulillaah." Seruan itu terdengar lega dan tulus.

"Saya ada di mana?" Keluar juga akhirnya suara itu dari mulut Ara dengan lemah dan terbata. Kebingungan masih melingkupi pikirannya.

Perempuan setengah baya itu membantu Ara yang berusaha duduk. Seorang gadis yang lebih muda dari Ara membantu memberinya sandaran punggung. Dia mengulurkan segelas teh hangat lalu mendekatkan ke mulut Ara.

"Minumlah supaya tenagamu pulih." Wanita separuh baya itu tersenyum.

Ara menghidu aroma yang harum dari gelas, lalu menyesapnya sedikit. Teh dengan campuran jahe itu benar-benar membantunya meredakan pening. Tanpa ragu, dia menghabiskan hingga tandas.

"Tadi Ibu sedang mengantar kerabat yang mau ke luar kota. Maaf karena sempat menabrakmu, Nak." Lagi-lagi wanita itu mengulas senyum. "Apa yang terjadi? Kamu terlihat kacau sekali. Apa kamu sedang tersesat, Nak?"

Ara berusaha menghimpun kekuatan untuk berbicara, tapi ia sendiri tak paham apa yang sedang terjadi dengannya saat ini. Ara menarik napas panjang dan seketika tangisnya pecah.

Wanita yang dipanggil ibu itu lalu merangkul ke dalam pelukannya dan mengusap pundak Ara penuh kasih membuat gadis itu merasakan gelombang ketenangan yang luar biasa.

"Kamu boleh tinggal di sini sementara waktu." Wanita itu mengurai pelukan sambil menepuk-nepuk pundak Ara. "Nama Ibu, Hasna. Namamu siapa?"

"Ara. Nayara, Bu."

Gadis itu menurut. Dia tidak punya pilihan sekarang. Dia hanya percaya insting bahwa kali ini wanita yang ingin menolongnya itu tulus dan jujur.

Tak ada jalan ke mana pun. Uang di kantong sepertinya tak akan cukup membawanya ke mana-mana.

Saat mengulurkan tangan hendak menyentuh Bu Hasna, Ara terkejut menyadari sesuatu. Direntangkan jemarinya di depan dada. Tangannya lalu meraba kedua telinga.

"Astaga!" keluhnya lemas.

Air matanya benar-benar tak bisa ditahan.

"Kenapa, Nak?" Bu Hasana menatapnya prihatin.

"Cincin dan anting saya ... nggak ada, Bu." Ara terbata.

"Ibu tak tahu harus berkata apa. Tapi pasti benda itu sangat berharga untukmu." Bu Hasna mengelus punggung tangan Ara prihatin.

"Hadiah dari Papi. Berlian," jawab Ara lirih.

Bu Hasna dan gadis yang duduk di lantai itu berpandangan.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Nak?" Tatapannya beralih kembali pada Ara.

Ara bercerita dengan lirih. Meski ingatannya patah-patah, dia sanggup menjelaskan dengan runut.

"Saya nggak punya apa-apa, Bu. Bahkan untuk bertahan hidup saja entah ...."

Bu Hasna mendesah pelan.

"Sabar," bisiknya. "Hidup itu bukan tergantung pada seberapa banyak jumlah uang yang kamu miliki."

Ara mengerenyit.

"Kita akan lihat. Kamu tak perlu punya banyak uang untuk hidup. Yang kamu perlukan hanya iman yang tebal."

Ara tak percaya.

Selama ini yang dia yakini, bahwa uang adalah segalanya. Orang tuanya bahkan bergelut dengan waktu dan pekerjaan demi mengejar uang yang katanya akan membuat Ara bahagia.

Entah. Kali ini Ara memilih menyerahkan hidupnya pada takdir. Jika pilihannya saat ini benar, maka kelak dia akan pulang ke Jakarta tak kurang suatu apa.

Namun jika salah, Ara sudah ikhlas jika akhirnya nama Alexia Nayara Iskandar hanya berakhir di sebuah nisan.

NadamWhere stories live. Discover now