Bab 12

38 7 0
                                    

Jakarta menyambut kedatangan Alexia Nayara Iskandar dengan hujan yang cukup deras. Taksi biru yang membawanya membelah jalanan ibukota membuat hati Ara semakin gamang. Gedung-gedung pencakar langit, papan-papan billboard, lampu-lampu temaram, dan kemacetan yang dulu menjadi teman setia tak mampu membuat kegamangannya mencair. Ara tidak mengerti kenapa.

Langit terlampau gelap untuk membaca di mana matahari tengah tersembunyi. Ara menatap kaca jendela taksi yang buram karena hujan belum juga berhenti. Udara terasa semakin dingin, ditambah lagi air conditioner di dalam taksi yang ditumpanginya membuat gadis itu segera merapatkan jaket yang melekat di tubuhnya. Sebuah jaket denim berwarna hitam yang tadi diberikan Risyad di ruang tunggu bandara.

"Pakailah ini," ucap Risyad sesaat sebelum Ara berpamitan karena pesawat yang ditumpanginya sudah akan berangkat. Tanpa canggung Risyad meletakkan jaketnya di atas koper. Ara terkesiap. Mereka baru saja bertemu, tapi lelaki itu seolah tak ingin menciptakan jarak yang tebal di antara keduanya.

Ara tidak segera menjawab, dia tidak tahu harus mengatakan apa. Pandangannya beralih kepada Bu Hasna yang tengah duduk di sampingnya untuk meminta persetujuan.

"Udara dingin di pesawat memang tidak baik buat alergi kamu, Nak. Maaf Ibu sampai lupa tidak membelikanmu baju hangat. Ambilah jaket yang diberikan Risyad. Jaket ini baru dikeluarkan dari ranselnya sebelum tadi kita berangkat."

"Ara malu sudah banyak merepotkan Ibu dan Abah," ucap Ara sambil berbisik hampir tak terdengar.

"Ibu tidak pernah merasa direpotkan. Ara tahu itu kan?" senyum Ibu mendamaikan perasaannya. Ara lalu mengangguk sebagai sebuah jawaban.

Suara klakson memutus lamunan Ara tentang Bu Hasna dan Risyad. Apartemen yang ditinggali Ara sudah di depan mata, tapi entah kenapa Ara malah semakin gelisah. Gadis itu melirik kunci sebesar kartu ATM yang kini sedang digenggamnya.

Mungkinkah kedatangannya akan sia-sia? Hampir sebulan dia meninggalkan Jakarta. Beberapa kontrak diputus sepihak lantaran Ara sulit dihubungi, sebagian masih dipending karena Ara tak bisa berkelit dari kewajibannya sebagai Brand Ambassador yang iklannya sudah lama tayang di televisi.

Risa memang mendesaknya agar segera pulang setelah mendapatkan nomer sementara Ara dari Mami sebab Ega marah besar karena kesulitan mencari tahu di mana Ara berada. Awalnya Ara bergeming. Tapi gadis itu sadar bahwa ada kewajiban dan tanggung jawab yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Taksi sudah tiba di depan lobi apartemen. Hujan hanya meninggalkan sisa-sisa gerimis begitu mobil berhenti. Ara menyerahkan dua lembar uang seratus ribu dan menolak kembalian ketika dia turun. Sang supir yang membantu mengeluarkan koper Ara dari bagasi mengucap terima kasih dan segera meninggalkan gadis itu yang masih berdiri mematung dengan tubuh yang sedikit menggigil.

Ada sedikit ragu yang menyelinap di hatinya dan tidak bisa ditepis. Tapi Ara memutuskan untuk segera masuk dan menekan dua angka pada layar lift dan tak lama pintu geser otomatis itu segera terbuka.

Sedang apa Bu Hasna di Wonosobo sana? Apakah rasa kehilangan dan kesedihan yang diam-diam menyiksa hati Ara sekarang juga dirasakan Bu Hasna? Bagaimana kabar Abah, Mbok Minah, Mbok Parni, dan santri-santri yang mulai akrab dengannya belakangan ini? Apakah mereka akan mengingatnya seperti Ara selalu mengingat mereka?

Betapa telah lama Ara memimpikan kehidupan keluarga yang nyata seperti di rumah Bu Hasna. Cinta, kasih sayang, rasa hormat, saling menjaga, saling berbagi, saling mengasihi, saling mencintai, dan hal-hal yang tidak pernah Ara temukan di sini. Bahkan sosok lembut nan penyayang seperti Bu Hasna tidak pernah dia temukan pada sosok yang melahirkannya ke dunia. Mami.

Apakah itu berarti Ara menyesal menjadi anak yang terlahir di keluarga Subroto Hadi Iskandar? Bukankah Allah memerintahkan manusia untuk mensyukuri setiap hal yang terjadi di hidupnya seperti yang sering diucapkan Bu Hasna?

Pikiran Ara masih berkecamuk tak tentu arah, hingga pintu lift yang terbuka menyadarkannya. Dengan terburu-buru, dia keluar sambil menyeret koper dan mendekati pintu kamarnya.

Ara mengeluarkan kartu tebal sebagai kunci dan menempelkannya pada pintu kamar apartemennya. Tak lama Ara masuk dan segera mencuci tangan di wastafel. Ara lalu membuka gordyn yang tertutup rapat dan masih menemukan langit yang buram di luar sana.

Rasa lelah menginginkan tubuhnya untuk segera merebahkan diri sejenak di sofa demi mengusir rasa gamang. Sofa berbahan kulit yang sedikit berdebu karena hampir sebulan lebih sudah ditinggalkan Ara. Gadis itu lalu melepaskan jaket yang membungkus tubuh rampingnya. Lagi-lagi ingatannya melayang ke Wonosobo. Apa yang harus dia lakukan sekarang?

* * *

Ara segera masuk ke dalam rumah megah berlantai tiga milik Mami dan Papi begitu wajah Bik Mimin muncul di balik pintu.

"Neng Ara sehat?" seru Bik Mimin tampak kaget dengan kedatangannya.

Ara memeluk perempuan separuh baya itu dengan haru. Lama tidak bertemu membuat Ara rindu celotehan-celotehan khas Bik Mimin yang sudah lama tidak dia dengar.

"Kata Mami, Neng Ara tinggal di Wonosobo sekarang? Neng Ara sehat-sehat aja kan? Di sana tinggal sama siapa? Apa jangan-jangan Neng Ara sudah menikah dengan orang sana?" pertanyaan Bik Mimin terlalu panjang untuk dijawab sekarang. Setelah kemarin siang tiba di Jakarta, Ara tak ingin mengingat hal-hal yang membuat hatinya sedih.

"Ara sehat, Bik," ucapnya singkat sambil mengurai pelukan.

"Bibik lihatnya juga gitu. Lebih sehat dan bercahaya. Kayak gak ada beban."

"Benarkah?"

"Iya. Beda pas Neng Ara lagi di sini, bawaannya muruuuuung aja. Neng Ara kenapa tinggal di Wonosobo? Gak kangen Mami, Papi sama Neng Mika?"

Ara terperangah mendengar kalimat itu. Sebulan lebih tinggal di sana, apakah dia merindukan kehadiran Mami, Papi, dan Kak Mika? Tapi mereka bertiga tak sedikit pun memiliki kekhawatiran seperti Bik Mimin dan itu membuat Ara sedih. Mami dan Papi memang tak peduli dan tak ingin mencari tahu kenapa dia lebih memilih Wonosobo dibanding Jakarta. Ara segera berjalan ke dapur untuk menghindari pertanyaan Bik Mimin. Perempuan separuh baya itu mengikuti langkah Ara di belakang.

"Ara lapar. Bibik masak apa?"

Ara membuka kulkas besar dengan dua pintu di sudut dapur. Deretan minuman berkaleng tersimpan rapi. Ara mengambil salah satu yang menjadi favoritenya, fresh tea rasa leci dan meneguknya hingga tandas.

"Bibik bikin ayam opor sama capcay aja, Neng. Udah sebulan ini masaknya juga gak banyak karna Mami lebih sering di Singapura nemenin Papi," raut muka Bik Mimin terlihat sedih.

"Ara mau ke kamar dulu mencari handphone lama Ara. Kemarin waktu di Wonosobo, barang-barang punya Ara hilang termasuk handphone. Bibik tolong siapin makan ya."

Dengan cepat Bik Mimin mengangguk. Sementara Ara naik ke lantai dua dan segera masuk ke kamar yang biasa ditempatinya saat dia pulang ke rumah Mami.

NadamWhere stories live. Discover now