Bab 11

35 6 0
                                    

"Jadi kamu mau pulang ke Jakarta?" nada suara Bu Hasna terdengar sedikit berbeda. Ara tahu, tapi dia tidak bisa memastikan kenapa.

Dengan lemah, Ara mengangguk. Ditekannya rasa tak menentu yang memenuhi dada. Cukup sulit mengambil keputusan ini, sesulit saat memutuskan untuk tinggal sementara waktu di sini.

Ara tahu, lewat hari-hari yang mereka lalui bersama, Bu Hasna dan Abah adalah orang-orang yang sangat baik dan tanpa pamrih. Semula Ara bertaruh tidak akan kerasan tinggal di tempat seperti ini. Apa rasanya hidup jauh dari hingar bingar? Tidak ada uang di saku celana, tidak ada klub malam, tidak ada kepulan asap rokok, tidak ada pil-pil haram yang memabukkan, tidak ada kemewahan, bahkan Ara seperti hidup terpencil dan terpenjara.

Tapi dia salah besar. Kehidupan di sini jauh lebih menenangkan hatinya. Membuatnya paham kemana tujuan hidup sebenarnya. Tangan-tangan tulus membantu dan membimbingnya dengan penuh cinta. Bu Hasna, Abah, Mbok Parni, Mbok Minah, bahkan puluhan santri dengan sukacita menerima kehadirannya yang bukan siapa-siapa.

"Sudah kamu pikirkan matang-matang, Nak?" tanya Bu Hasna pelan masih dengan nada suara yang sama.

Ara menatap wajah lembut perempuan paruh baya yang duduk di hadapannya itu.

"Ibu tidak pernah sekalipun merasa keberatan dengan kehadiranmu, Abah juga. Kami bahkan sudah menganggapmu seperti anak sendiri. Ibu tahu, kamu punya keluarga di Jakarta. Pekerjaanmu juga tidak mungkin kamu tinggalkan tapi entahlah, Ibu merasa... akan sangat kehilangan kamu."

Mata Ara memanas, tapi dia berusaha tidak menangis di hadapan Bu Hasna. Dia tidak mau kepergiannya membuat perempuan yang mulai dia sayangi itu sedih.

"Ara hanya ingin menyelsaikan kewajiban Ara di Jakarta, Bu," hanya itu kalimat yang sanggup keluar dari mulutnya saat ini.

Dia tidak bisa memastikan, akan berapa lama di Jakarta? Apakah dia akan kembali lagi ke Wonosobo? Apakah semua kontrak kerja yang terlanjur ditandatangani bisa dibatalkan demi mencoba memulai hidup baru? Apakah Mami dan Papi akan membiarkannya mengambil keputusan sesuai keinginannya sendiri? Apakah Wonosobo hanya akan jadi kenangan? Sungguh Ara benar-benar tidak tahu.

Dia memilih pulang ke Jakarta saat ini karena dia harus bertanggungjawab atas apa yang pernah dipilihnya dulu, sebelum bertemu Bu Hasna, sebelum terlanjur jatuh cinta dengan kota ini.

"Ingat tempo hari saat ibu mengajakmu makan siang bersama? Ingat saat Ibu mengatakan akan membicarakan rencana kita selanjutnya?" tanya Bu Hasna.

Ara mengangguk, "Ara ingat, Bu. Tapi waktu itu kita tidak sempat membicarakan apa-apa karena anak Ibu yang bernama..."

"Risyad. Namanya Risyad, Nak."

"Mas Risyad telepon Ibu dan Ara berpamitan kembali ke kamar setelah kita selesai makan bersama."

Ara memainkan jemari tangannya sambil menunggu Bu Hasna melanjutkan kalimatnya.

"Sebenarnya Ibu ingin memintamu tinggal di sini, maksud Ibu mungkin kemampuanmu menguasai lima bahasa bisa bermanfaat untuk para santri di sini. Itupun jika kamu tidak keberatan mengajari mereka," Bu Hasna terdengar lega setelah mengatakan kalimatnya. Wajahnya yang tadi sempat menegang kini berubah lebih tenang.

Ara tertegun, mengajari para santri? Tidak pernah terlintas di benaknya untuk menjadi seorang guru, meski cita-citanya saat kecil dulu menjadi guru. Tapi Mami memporak-prandakan mimpinya tanpa menyisakan apapun. Di otak Ara sudah tertanam sebuah kepercayaan bahwa masa depannya ada di dunia modeling. Setidaknya itu yang Mami bilang sejak dia pertama kali memasukkan Ara ke Zemima Modeling School, salah satu sekolah model ternama di Jakarta.

Sejak kecil Ara memang hidup nomaden. Papi mempunyai bisnis di beberapa negara sehingga keluarganya tidak bisa menetap di satu tempat. Itu membuat Ara mahir dan menguasai beberapa bahasa sekaligus karena selalu berpindah tempat. Hingga akhirnya Mami memutuskan menetap di Jakarta karena Ara dan Mika, kakak perempuan Ara, tidak mungkin sering berpindah-pindah sekolah.

"Tapi kalau keputusanmu sudah bulat kembali ke Jakarta, kami tentu tetap akan mendukungmu," ucap Bu Hasna sambil menatap Ara dalam-dalam.

"Ara mau tetap tinggal di sini, Bu. Tapi Ara harus pulang dulu ke Jakarta. Apakah Ibu masih mau menerima Ara jika nanti Ara kembali?"

Senyum Bu Hasna sudah lebih dari sebuah jawaban bagi Ara. Pun ketika perempuan itu bangkit dan mendekat untuk merengkuh tubuh Ara ke dalam pelukannya. Haru menyelimuti perasaan keduanya selain perasaan sedih karena mereka akan berpisah sementara waktu. Bagi Ara semua sudah lebih dari cukup.

Kini Ara tidak ingin menerka-nerka takdirnya lagi, rasanya berat menjalani hidup sesuai keinginan orang lain. Ara ingin kembali ke sini, meski tahu apa yang akan dihadapinya nanti saat Mami dan Papi mengetahui hal ini. Tapi Ara merasa memiliki tempat di sini dan itu lebih berharga dari apapun.

* * *

Langkah kaki Ara terhenti di anak tangga. Koper yang dibawanya sudah lebih dulu berpindah tempat ke mobil Pajero hitam yang terparkir di depan kamar tamu yang ditempati Ara.

Siapa yang berani memindahkan tanpa persetujuannya? Ara mencari-cari ke sekeliling. Dan gadis itu terlonjak saat muncul seorang lelaki muda berkulit putih dengan setelan celana jeans dan kemeja putih.

"Ara?" tanyanya tanpa sungkan.

Ara mengernyitkan kening tak mengerti. Siapa lelaki ini? Kenapa dia hapal namanya?

Menyadari kekeliruannya, lelaki itu buru-buru berkata, "Maaf jika saya lancang memindahkan koper dari teras ke mobil. Tapi Ibu wanti-wanti agar kita jangan sampai terlambat tiba di bandara."

Ara semakin tak mengerti. Dia membenahi pasmina yang dikenakan sebagai penutup kepala sambil mencoba memahami kalimat yang baru saja diucapkan lelaki itu.

"Anda siapa?" Ara akhirnya bertanya.

Lelaki itu tersenyum sambil menepuk dahinya berulang-ulang.

"Ya ampun, maaf. Saking buru-buru, saya sampai lupa memperkenalkan diri. Saya baru datang tadi malam jadi mungkin wajah saya masih asing buat kamu. Saya---"

"Risyad, kenapa Ara malah diajak ngobrol? Nanti kita terlambat tiba di bandara," suara Bu Hasna mengagetkan keduanya.

Ara baru paham ketika Bu Hasna memanggil nama lelaki itu. Ya dia adalah Risyad, lelaki yang sering diceritakan Bu Hasna kepadanya, juga dua anak lelaki Ibu yang lainnya.

"Kita berangkat sekarang, Nak," ajak Ibu lalu segera masuk ke dalam mobil. Ibu duduk di jok tengah seperti biasa begitu Risyad membukakan pintu diikuti oleh Ara yang masih nampak kaget dengan kehadiran Risyad.

"Risyad yang memaksa ingin mengantar kita ke bandara. Dan kebetulan semua santri putra tengah sibuk untuk bersih-bersih karena minggu depan ada kunjungan Pak Mentri ke pondok, padahal dia baru tiba tadi malam," suara Ibu memutus kebingungan Ara.

Ara hanya tersenyum membalas ucapan Bu Hasna sambil melirik diam-diam ke arah kaca spion mobil. Entah, tiba-tiba Ara merasakan sesuatu yang aneh tengah merambati hatinya seketika.

NadamWhere stories live. Discover now