Bab 4

51 11 8
                                    

Ara membuka matanya yang terasa sangat berat dengan perlahan. Pandangannya sedikit berkunang-kunang. Dia lalu meraba kepala yang agak pening, sakitnya terasa hingga ke leher. Setengah tersadar gadis itu mengitari sekeliling dan hanya menemukan beberapa orang yang tengah berkemas dengan barang bawaannya masing-masing. Sepertinya sebagian orang sudah keluar dari gerbong.

Lewat kaca jendela kereta yang setengah buram, langit terlihat sudah terang dan menampakkan sebagian sinar. Ada di mana dia sekarang? Ara menarik kaos lengan panjang untuk melihat jam digital keluaran brand Eropa yang dibelikan Papi sebulan yang lalu. Hampir jam enam pagi! Itu artinya Ara sudah tertidur selama empat jam. Dia memutar pandangan dari balik kaca jendela. Ada tulisan besar di peron yang cukup memberinya informasi,  Stasiun Tugu.

Ara mencari tas selempang yang tadi ia peluk di pangkuan sesaat sebelum tertidur pulas, namun gagal menemukannya. Telepon genggam, charger, dompet lengkap dengan KTP, kartu kredit, SIM, dan ATM, juga uang ratusan ribu, dan kaca mata raib seketika. Ara semakin panik takala menyadari jika koper miliknya yang ditaruh di bagasi atas juga tidak ada di tempat semula.

Jika sudah begini, jangankan memikirkan untuk melepaskan penat di kota Yogyakarta, untuk menyambung hidup saja dia tak tahu harus bagaimana. Dengan nyawa yang belum terkumpul sempurna, Ara terburu-buru berlari keluar gerbong seperti orang gila, berharap orang yang mencuri barang-barang miliknya belum pergi terlalu jauh.

Pandangannya mengedar, mencari-cari siapa tahu ada yang bisa dia curigai. Namun semua berjalan dengan tenang. Beberapa orang menoleh sejenak untuk menatapnya dan berlalu tanpa sapa.

Ara gemetar. Seumur hidup dia tak pernah hidup tanpa uang. Dia tak bisa membayangkan bagaimana cara bertahan tanpa uang.

Lagi-lagi ditatapnya satu per satu orang yang terlihat, berharap menemukan satu petunjuk, tapi sia-sia. Stasiun Tugu terlalu ramai untuk mencari jejak pencuri ulung yang begitu tega membuatnya luntang-lantung tidak jelas.

Ara menyusuri peron seperti orang hilang. Perutnya sangat lapar, tapi dia sadar harus berhemat dengan uang lima puluh ribu yang tertinggal di saku celana jinsnya, sisa kembalian ongkos taksi yang semalam mengantarnya ke Gambir.

Putus asa mulai merayapi hatinya. Dia bertanya dalam hati apakah keputusannya menghindar dari semua orang merupakan hal yang keliru?

Bayangan wajah Mami, Papi, Risa, dan Aldy bergantian memenuhi pikiran, membuat kepalanya serasa ingin pecah. Matanya panas. Ingin menangis, tapi dia juga tak mau jadi tontonan orang.

Otaknya tak bisa diajak berpikir sama sekali. Sambil menyeret kaki yang terbalut sneaker, Ara melangkah menuju pintu keluar. Sinar matahari menyergapnya ganas, membuatnya mengerenyit silau.

Perutnya yang mulai berbunyi mengingatkan kalau dia butuh makan. Mungkin dengan mengenyangkan perut, dia bisa berpikir lebih jernih.

Dengan langkah ragu, Ara memasuki sebuah warteg kecil di deretan depan stasiun. Seorang wanita tua berkebaya menyambutnya ramah, lalu bertanya kepadanya dengan bahasa Indonesia campuran Jawa.

Ara menunjuk apa yang ingin dia makan. Wanita itu dengan cepat memberikan apa yang Ara minta. Seporsi nasi gudeg hanya ditemani sepotong tahu dan segelas teh hangat sebagai penawar rasa lapar sementara waktu. Mata Ara mengerjab cepat menahan air mata yang rasanya merebak panas. Menu itu terlalu sederhana untuknya. Dua puluh dua tahun perjalanan hidupnya, baru kali ini dia merasa semiskin ini.

Ara belum bisa berpikir apa yang akan dia lakukan. Dia masih sangat bingung dan kepalanya terus saja berdenyut. Dengan suapan perlahan, dia mencoba menikmati dan menghabiskan sisa makanannya. Tak ada yang boleh tertinggal di piring, semua harus masuk ke perutnya. Siapa tahu nanti siang dia tak akan mendapat sebutir nasi pun.

Tanpa disadari, sepasang mata tengah menatapnya tanpa kedip. Laki-laki berambut cepak dan berpostur tinggi tegap itu tengah berjalan memasuki warteg. Matanya seakan tak mau melepaskan pandangan dari gadis itu.

Dia tersenyum penuh arti saat bertemu tatap dengan Ara. Seperti senyum lelaki yang tengah kasmaran. Ara memalingkan wajah. Namun rasanya ada magnet yang menariknya begitu dalam untuk kembali menatap lelaki itu yang menyambutnya dengan seulas senyum semringah.

Jujur, Ara melihat tempat ini tidak cocok untuk lelaki berpenampilan rapi seperti yang sekarang tengah berdiri menatapnya. Setelan kemeja lengan panjang berwarna pastel dan berkerah pendek yang dipadu dengan celana jeans biru tua itu seakan salah tempat ketika memasuki warteg tempat Ara makan.

Ara sudah selesai menghabiskan nasi dan menyisakan separuh teh hangat, saat lelaki itu mendekat. Pandangan mereka kembali bertemu. Tanpa basa basi, lelaki itu duduk di sebelah Ara.

"Hai, kamu nggak mengenaliku? Katamu mau dijemput di pintu gerbang, kenapa malah sudah di sini?"

Lelaki itu menyapa sambil menepuk punggung tangan Ara. Dia bicara seakan sudah mengenalnya begitu lama.

Ara melongo.

"Ooh, kelaparan, ya?" Dia terkekeh.

Mendengar suara itu Ara kaget bukan kepalang. Pikirannya yang tengah kosong lambat laun terasa aneh, seperti tengah diisi oleh sesuatu yang ganjil dan di luar nalar. Tiba-tiba Ara seolah pernah mengenal lelaki di sampingnya meski entah di mana.

"Kalau makannya sudah, kita keluar, yuk," bisiknya pelan.

Ara hanya mengangguk. Dia hanya merasa aneh, kenapa harus mengangguk.

"Kamu mau ke mana? Kok sendirian aja ?" sambungnya ketika mereka sudah keluar.

"Entahlah--" Jawaban Ara terdengar hanya seperti menggumam.

"Dari?"

"Jakarta."

"Mau ke?"

"Jogja."

"Nggak bawa apa-apa?" Lelaki itu menatapnya lagi.

"Hilang." Entah kenapa, Ara seperti tidak bisa berbohong.

"Trus, sekarang mau ke mana?"

Ara menatap mata lelaki itu. Mata teduh dan senyum yang tak lepas dari bibirnya. Gadis itu menggeleng pelan.

"Aku nggak bawa kendaraan. Kita balik ke rumahku dulu, lalu kuantar kamu ke mana pun kamu mau balik. Oke?"

Lagi-lagi Ara mengangguk. Ada sesuatu yang membuatnya percaya pada lelaki itu.

Mereka naik Trans Jogja hingga ke terminal Giwangan, lalu Ara dituntun untuk naik ke sebuah bis jurusan--

Entah. Ara tak terlalu memperhatikan. Seluruh dunianya hanya terisi lelaki itu, dengan senyum dan mata teduh yang membuatnya terlena. Dia lupa kalau tak punya apa-apa, dan tak tahu diajak ke mana.

Ara duduk tenang di sebelah lelaki itu. Mereka bercerita tentang banyak hal, hingga bus sudah jauh keluar kota Jogja.

"Di depan ada terminal yang agak besar. Boleh kusimpan saja cincin dan antingmu? Aku takut kalau ada yang berniat jahat." Lelaki itu berbisik.

Tanpa perlawanan, Ara melepas apa yang dia minta. Dan lelaki itu menerimanya masih dengan senyum yang sama.

Ara sedikit terganggu saat kernet berteriak menyebutkan tujuan terdekat. Namun lelaki di sebelahnya kembali menenangkan. Dia menepuk punggung tangan Ara.

"Tidur sajalah. Kamu pasti lelah. Nanti kubangunkan kalau sudah sampai." Bisikannya memang benar-benar manjur.

Perlahan, Ara merasa matanya kembali berat. Kelopaknya menutup sempurna, tanpa tahu siapa nama lelaki di sebelahnya.

NadamWhere stories live. Discover now