Bab 8

42 11 1
                                    

"Seburuk apapun, mereka tetap orangtuamu, Nak. Allah juga memerintahkan kita untuk menyayangi dan menghormati mereka bukan?" ucapan Bu Hasna lebih mirip nasihat yang langsung membuat Ara tak berdaya. Berulangkali perempuan separuh baya itu meminta agar Ara tak lupa memberi kabar kepada Mami dan Papi di Jakarta. Tapi setiap kali itu pula Ara berusaha menolaknya dengan halus.

"Mereka pasti cemas dengan keadaanmu sekarang," lanjut Bu Hasna hati-hati begitu melihat raut muka Ara yang tiba-tiba berubah menjadi sedih.

Seandainya begitu, Ara pasti tidak akan berlama-lama di sini. Mami dan Papi akan menjadi orang pertama yang tahu di mana sekarang dia berada: perjalanannya ke Yogya, paniknya Ara luntang-lantung di Stasiun Tugu saat semua barang miliknya raib, belum lagi ketika seseorang melakukan gendam kepadanya.

Semua kejadian itu membuat Ara terguncang dan kaget. Saat itu dia tidak tahu nasibnya akan berakhir di mana kalau saja Bu Hasna tidak datang menolong. Bukankah Allah begitu baik kepadanya?

Sejujurnya, apa yang dikatakan Bu Hasna memang membuatnya bersedih. Sebab Ara yakin betul kalau kehadirannya bagi Mami dan Papi tak ada artinya. Sudah terlalu banyak kejadian yang membuat hatinya patah.

"Masalahnya...." suara Ara terputus. Seribu rasa ragu menahannya untuk tetap diam. Tekadnya sudah bulat, tidak ada alasan untuk memberitahu Mami dan Papi bahwa sekarang dia berada ratusan kilometer jauhnya dari mereka. Di sebuah kota kecil yang sejuk bernama Wonosobo.

"Masalahnya, mereka pasti tidak akan peduli di manapun Ara berada," keluh gadis itu dengan suara yang terdengar parau di telinga. Ara menarik napas panjang, ada rasa sesak yang kembali memenuhi dada.

"Kenapa tidak dicoba dulu, Nak?"

"Ara takut kecewa, Bu."

"Kecewa itu manusiawi, tapi sebagai seorang anak, kamu masih menjadi tanggung jawab mereka. Jadi sudah sepantasnya mereka menjaga, menyayangi, dan melindungi kamu."

Kalimat Bu Hasna membuat Ara terdiam. Tatapannya terpaku pada tempat lain. Sebuah telepon genggam lengkap dengan sim card yang sudah teronggok beberapa hari di atas nakas. Bu Hasna memberikannya minggu lalu. Tapi Ara bergeming, tidak terbit sekalipun keinginan untuk mengabari Mami, Papi, Risa, terlebih Aldy.

"Maaf, Ibu tidak bermaksud mengusirmu. Kalau kamu kerasan, kamu boleh tinggal di sini sesuka hatimu. Pintu rumah Ibu selalu terbuka lebar untukmu," kalimat Bu Hasna menyentak kesadaran Ara. Gadis itu lalu membetulkan pasmina pemberian Bu Hasna yang menutupi sebagian kepalanya.

Hati Ara sangat bimbang, tidak mungkin selamanya dia berada di sini. Tapi Ara belum siap kembali ke Jakarta secepatnya. Dia bahkan tak peduli jika harus kehilangan pekerjaan sebagai model yang diidam-idamkan banyak perempuan di luar sana. Saat ini Jakarta terlalu penat baginya.

Harus diakui, Bu Hasna bukan hanya orang baik yang dikirimkan Allah kepadanya. Tapi dua minggu berada di sini membuat Ara merasakan sesuatu yang tidak pernah dia dapatkan di dalam hidupnya. Padahal tidak sepeser pun uang tersisa di saku celana. Berbeda saat Ara berada di Jakarta, honor belum turun saja sudah membuatnya belingsatan tak karuan.

"Apa Ibu mempunyai anak?" tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulut Ara.

"Maaf jika Ara lancang bertanya," buru-buru Ara meralat kalimatnya.

Gadis itu sempat diperkenalkan kepada Abah, suami Bu Hasna yang usianya sudah sepuh. Tapi Ara tak melihat siapa-siapa selain puluhan murid Abah dan Ibu yang mondok di sini.

Bu Hasna mengangguk pelan. Raut mukanya berubah semringah, seperti menyimpan sesuatu. Mungkin semacam kerinduan seorang ibu.

"Ada tiga lelaki yang diberikan Allah untuk menjadi penerus Abah," ucap Bu Hasna dengan senyum khas yang tersungging di ujung bibirnya. Bu Hasna kemudian sedikit bercerita tentang ketiganya yang memilih jalan hidupnya masing-masing selepas mereka menyelesaikan pendidikan.

Ara hanya menyimak tanpa melepaskan pandangan dari Bu Hasna. Hatinya selalu tenang saat mendengarkan perempuan setengah baya itu berbicara. Ara tak menampik, itu yang menjadi salah satu alasan kenapa dia memilih bertahan di sini.

Sejujurnya, semula Ara sempat ragu ketika pertama kali bertemu dengan Bu Hasna. Mungkinkah ada perbuatan manusia yang dilakukan tanpa pamrih? Dua minggu berada di sini sudah cukup membuat Ara gelisah karena sungkan menumpang di rumah seseorang yang baru saja dikenalnya.

Rasanya Mami dan Papi pun begitu. Meski berlimpah materi, Mami bahkan selalu mengingatkan Ara untuk membalas budi.

"Waktu kecil kamu itu sakit-sakitan, Ra, sudah habis berapa ratus juta untuk biaya pengobatanmu."

"Mami lagi mau menambah koleksi berlian. Tolong transfer uang ke rekening Mami ya."

"Jangan pelit, Ra! Setiap bulan Papi transfer ke rekening kamu, kok malah kamu perhitungan sih?"

"Halah! Minta uang segitu aja kamu bilang gak ada? Durhaka nanti."

Ara pun terpaksa patuh. Tidak ada rasa hormat, Ara hanya takut. Kilatan kemarahan di mata biru milik Mami yang blasteran Indonesia-Belanda itu sudah Ara lihat sejak masih kecil. Dan itu menyisakan trauma hingga kini.

* **

"Ara di Wonosobo, Mam--"

Hanya itu yang sanggup keluar dari mulut Ara. Sudah diduga, Mami tidak terlihat kaget, apalagi tertarik. Ara menarik napas panjang.

"Pantes si Risa ke rumah," balas Mami ketus.

"Mami gak tanya kabar Ara?"

"Kamu pasti baik-baik aja makanya kamu telepon Mami kan?"

Sekuat tenaga ditahannya kristal-kristal bening yang hendak mengalir dari pipi Ara. Entah rasanya sia-sia meruntuhkan egonya demi menghimpun kekuatan untuk menekan sederet angka di telepon dan berharap banyak pada Mami.

"Ara gak akan pulang ke Jakarta dulu. Ara minta tolong ATM dan credit card Ara diblokir dulu karena hilang," ucap gadis itu dengan suara bergetar. Ara mengigit bibirnya tanpa sadar.

"Apa??"

Kesadaran Mami mulai pulih, nun jauh di Jakarta sana, perempuan berumur lima puluh tahun itu merasakan sesuatu yang aneh ketika mendengar kalimat yang baru saja diucapkan anak gadisnya.

"Maksud kamu gak akan pulang ke Jakarta?"

Ara tak punya minat menjawab dan lebih memilih mengatupkan rapat-rapat mulutnya. Keduanya terdiam dengan jeda yang cukup lama, larut dalam pikiran masing-masing. Tak ada suara, hanya desahan napas berat yang membuat suasana sore itu terasa semakin canggung.

"Lain kali Ara telepon lagi," akhirnya Ara menutup percakapan dan meletakkan telepon genggam yang dipinjamkan Bu Hasna. Dia termangu lama di samping tempat tidur dengan kesedihan yang tak bisa ditolaknya.

NadamWhere stories live. Discover now