Bab 2

73 14 2
                                    

Ke mana harus pulang? Semua tempat seakan tidak memberinya ruang. Ara terpekur lama di parkiran apartemen setelah mematikan mesin mobil matic miliknya. Jemarinya memainkan kunci mobil dengan tangan bergetar. Sisa-sisa air mata masih terlihat di matanya yang sedikit meredup. Kepala Ara sangat pening dan perutnya belum terisi sebutir nasi pun karena kesibukan hari ini di agensi.

Semua gara-gara Ega sialan! pekiknya dalam hati dengan perasaan kesal setengah mati. Ditambah lagi pertemuannya dengan Aldy di parkiran tadi menambah lengkap penderitaannya hari ini.

Meski ditekan sedalam mungkin, Ara harus mengakui kalau dia sedih dan marah melihat pemandangan tadi. Pergunjingan tentang kedekatan mereka memang sudah lama terdengar di telinganya. Tapi Ara lebih memilih percaya kepada Aldy. Toh tak ada yang berubah dari sikap cowok itu kepadanya. Masih hangat dan sangat manis.

Matanya kembali memanas. Tapi Ara buru-buru menarik napas panjang demi menahan sesak di dada. Tidak boleh lagi ada air mata untuk cowok berengsek itu. Dengan susah payah Ara menenangkan hatinya yang kacau balau dan segera menatap kaca spion untuk memastikan bahwa dia sudah terlihat normal. Meski apartemen relatif sepi di jam seperti ini, tapi mana tahu di lift dia bertemu dengan orang usil yang diam-diam memperhatikan penampilannya yang berantakan.

'Lo kuat, Ra!' teriaknya berulang-ulang dalam hati.

Segera disambarnya tas laptop yang berada di jok mobil tepat di sampingnya. Sambil menyeka sisa-sisa air mata yang nyaris jatuh. Ara keluar dari mobil, dia segera menekan tombol lock pada keyless entry dan bergegas menuju lift.

Tak sampai lima menit, Ara sudah tiba di depan pintu apartemen miliknya. Dia terdiam sejenak. Hanya di sini tempat satu-satunya yang bisa meredakan kekesalan dan kesedihannya sekarang. Biasanya Ara lebih nyaman pergi ke klub malam atau diskotik jika kepalanya sudah penat. Tapi entahlah kenapa kali ini pilihannya justru bertolak belakang dengan kebiasaannya selama ini.

Setelah pintu terbuka, Ara langsung menjatuhkan tubuhnya di kasur sambil melempar tas yang tadi dia bawa. Masa bodoh jika macbook yang sebulan lalu baru dibelinya rusak. Beberapa barang milik Ara bertebaran di atas seprei. Lipstick, dompet, kacamata gagang tipis keluaran Calvin Klein, ponsel, dan sebuah amplop putih yang tadi diberikan oleh sekuriti ketika dia memasuki apartemen.

Matanya nanar menatap langit-langit kamar. Hati Ara masih tak menentu. Kemana dia melarikan gundah hatinya sekarang? Dia melirik jam di pergelangan tangannya. Malam bergerak sangat cepat, hari sebentar lagi berganti. Ara memcengkram seprei hingga tangannya tak sengaja menyentuh amplop putih tadi.

Tagihan bank Citra Asia seperti biasa. Ara bangkit dan segera merobek pinggiran amplop. Dia terlonjak begitu melihat nilai fantastis yang tertulis di sana. Lima puluh juta sekian!

Kepalanya semakin berdenyut. Apa-apaan ini? Dia membaca ringkasan transaksi kartunya dan langsung teringat mantan kekasihnya. Ara teringat bulan lalu saat Aldy meminjam kartu kredit karena sudah kehabisan uang. Hanya satu hari dan akibatnya tidak main-main. Aldy ternyata jauh lebih berengsek dari yang dia bayangkan. Kekesalan Ara semakin menggunung.

Darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu mengingat tenggat waktu pembayaran semakin dekat? Rasanya Ara ingin berlari dan menemui Aldy untuk memintanya bertanggungjawab atas semua kekacuan yang sudah dia lakukan. Tapi Ara yakin mantan kekasihnya itu akan berkelit.

Dengan kasar diraihnya telpon dan segera menekan beberapa angka yang sudah dia hapal di luar kepala.

"Lo kangen gue kan, Ra? Sama. Gue juga. Maafin gue ya," sambar suara di ujung sana begitu telepon terangkat.

"APA? KANGEN? NAJIS!! LO PIKIR APA YANG ELO LAKUIN TADI MAIN-MAIN? " potong suara Ara meninggi.

"Dengerin gue dulu, Ra."

"LO YANG DENGERIN GUE, AL!"

Aldy terdenger menghela napas panjang.

"SEJAK KAPAN LO SUKA BERLIAN? BUKANKAH ELO PINJEM KARTU KREDIT GUE BUAT AMBIL CASH KARNA LO UDAH KEHABISAN DUIT?" tak ada ampun lagi untuk Aldy, Ara geram dan sangat marah.

Dia merasa Aldy hanya memperalatnya selama ini. Aldy tidak benar-benar mencintainya seperti yang selalu dia bilang. Tak ada suara. Aldy tak menampik juga mengiyakan, membuat Ara semakin berang.

"JAWAB GUE, AL!!"

"Sori Ra, gue..."

Suara itu hilang dan hanya menyisakan desahan berulang-ulang. Sementara Ara berusaha sekuat tenaga menahan matanya yang kembali memanas. Dadanya seperti tertimpa ribuan ton beban dan membuatnya sakit tak terkira.

"F**K YOU!" teriak Ara lalu menutup telpon dan melemparnya sembarang. Layar berukuran 6 inci itu tergeletak di lantai, beruntung benda yang selalu menjadi teman setia Ara itu masih utuh. Ara kembali menangis sejadi-jadinya. Hatinya hancur, sedih, dan kosong.

Jika sudah begini, siapa yang bisa jadi sandaran? Sekelebat bayangan wajah Papi dan Mami melintas di pikirannya. Tapi lagi-lagi Ara harus menelan kekecewaan ketika membayangkan obrolan dengan Mami minggu lalu saat dia menelponnya.

Entah, saat itu Ara hanya ingin memastikan mereka berdua baik-baik saja. Tapi Mami dan Papi seolah tak peduli. Mereka lebih tertarik dengan bisnis baru yang tengah dirintis di Singapura.

"Mami baru pulang ke rumah?"

Ara bertanya sedikit ragu saat itu ketika nada suara Mami terdengar tak bersemangat.

"Enggak."

"Trus?"

"Habis video call sama klien Mami di Singapura."

"Papi kemana?"

"Belum pulang."

Ara mendesah dengan gelisah. Betapa ingin dia mendengar kata-kata yang menyejukkan dari perempuan yang melahirkannya ke dunia. Tidak perlu panjang dan penuh basa-basi, cukup dengan mengatakan bahwa Mami merindukannya. Terlebih mereka sudah lebih dari tiga bulan tidak bertemu.

Padahal jarak mereka tidak lebih dari dua puluh kilo. Dalam sekali lesatan, mereka bisa melepas rindu jika mau. Tapi Mami terlalu dingin dan asing. Baginya yang terpenting hanya uang dan uang.

Dan malam itu Ara semakin tenggelam dalam kesepian, kesedihan dan kemarahan yang tak berujung.

NadamWhere stories live. Discover now