Bab 3

62 12 4
                                    

Entah berapa lama Ara menenggelamkan wajah di bantal, saat sayup terdengar suara dering ponselnya. Satu. Dua kali dering dia abaikan.

Dering keempat membuat Ara penasaran, siapa yang cukup keras kepala menelepon hingga berkali-kali. Ara merayap turun untuk mengambil benda pilih yang sekarang teronggok di karpet.

"Mami?" desisnya begitu membaca nama di layar, sebelum menggeser bulatan hijau untuk menerima panggilan dan menyapa.

"Hai ... lesu sekali? Sudah tidur, Cantik?" Suara Mami terdengar sangat riang.

"Sedih, Mam--"

Ara sedang tak ingin berbohong. Jika biasanya Mami cuek, Ara ingin sekali saja didengar. Dia hanya sedang ingin merasa disayangi. Rasanya tidak berlebihan.

"Kenapa sedih?" pertanyaan Mami menerbitkan perasaan bahagia di hatinya.

"Aldy make credit cardku nggak kira-kira--"

"Astaga, cuma itu?" Kelegaan Mami memang terdengar tak dibuat-buat. "Mami dapat rejeki nih, besok Mami lunasin semua tagihan kamu. Sekalian transfer uang jajan."

'Selalu begitu.' Ara hanya membatin sambil menelan bulat-bulat kekecewaannya.

Ara lalu mendengkus pelan. Kebiasaan Mami yang tidak pernah berubah dari sejak dia masih kecil. Sejujurnya Mami terlihat penyayang tapi di saat yang bersamaan dia seperti monster yang menakutkan. Mami selalu menekannya untuk jadi yang terbaik dalam banyak hal tapi tidak pernah memberinya support selain uang. Mami mengajarkannya untuk selalu menjadi yang sempurna padahal tidak ada satu orang pun di dunia ini yang sempurna.

Mami sangat keras, tidak butuh kompromi, pun pada mimpi-mimpi Ara yang awalnya hanya ingin menjadi guru. Tapi Mami mengatakan jika kecantikan Ara yang istimewa akan menjadi pembuka pintu kesuksesan di masa depan.

Jadilah Ara kecil dimasukkan ke sebuah kursus model dan menghabiskan penyesalan bertahun-tahun di sana hingga sekarang. Menuruti obsesi Mami tanpa berani mengatakan tidak. Merasa bahwa baktinya seorang anak akan membuat hidupnya tenang. Tapi ternyata tidak!

"Oh ya, tadi Mami cuma mau kasih tahu, Mami mau nyusul Papi ke Singapura. Flight pertama besok."

Ara tak menjawab. Tak ada yang bisa dijawab karena memang tak ada yang perlu dijawab.

Lagi-lagi, telepon diakhiri seperti biasa. Tak ada basa basi apa pun.

Ara bangun. Dia mengurungkan niat untuk kembali memeluk bantal. Hatinya masih kosong dan sakit.

"Baiklah. Gak ada yang peduli sama gue. Ini saatnya gue juga nggak peduli dengan siapa pun." Ara mengusap sisa air mata di pipi.

Dengan cepat, Ara memasukkan dompet dan ponsel ke tas selempang, lalu mengambil beberapa potong baju dan dalaman untuk dimasukkan ke koper lecil.

Ara mengganti baju atasannya dengan lengan panjang agar tidak perlu memakai jaket.

"Gue juga butuh liburan!" hibur Ara sambil menutup koper.

Ara keluar setelah memastikan bawaan. Sementara, Bandung menjadi tujuan awalnya. Tapi ke mana? Meski sering ada show dan peragaan busana di kota kembang itu, Ara bahkan tidak punya teman atau keluarga dekat di sana.

Tapi Jakarta membuatnya sumpek dan sakit kepala. Dan Ara harus pergi sementara waktu.

Ara keluar kamar dengan riuh kepala yang sedang merencanakan sesuatu. Kunci apartemen berbentuk kartu tebal sebesar atm itu dia masukkan ke kantong belakang celana, setelah memastikan pintu terkunci sempurna.

Sambil menyeret koper, Ara berhitung dengan keberuntungan. Tanpa berpikir panjang, Ara menekan tombol lift dengan pikiran yang masih tidak menentu. Ketika pintu lift terbuka, kebetulan ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Ara mempercepat langkah dan segera melambaikan tangan begitu driver berbaju biru itu menoleh ke arahnya.

Tanpa ragu, Ara masuk ke taksi yang sudah kosong. Dan sebuah kalimat meluncur begitu saja dari mulutnya.

"Ke stasiun Gambir, Pak."

Hanya itu yang ada di kepalanya. Gambir. Sembari menikmati jalanan ibu kota yang masih sangat ramai, Ara menikmati perjalanan menuju stasiun sambil sesekali melirik kontak yang ada di teleponnya.

Siapa yang akan ia kunjungi?

***

Selembar tiket sudah di tangan. Yogyakarta adalah kota yang paling mungkin dia datangi saat ini. Satu-satunya kereta yang masih ada jadwal di malam selarut ini. Hasil browsingnya tadi, sepertinya cukup menjanjikan ketika dia menghabiskan waktu di pantai dan menikmati senja di Parang Tritis, atau sekadar jalan-jalan di Malioboro.

Pada akhirnya, tidak perlu rumit memikirkan siapa yang akan dia temui di sana. Bukankah Ara cuma butuh ketenangan dan melarikan semua beban yang ada di pikirannya?

Gadis itu menaiki tangga dengan perlahan. Tak ada yang mengejarnya. Bukan Mami, Risa, atau bahkan Aldy. Kali ini dia akan pergi, dengan caranya sendiri.

Seorang petugas membantunya menemukan gerbong yang sedang dia cari. Petugas dengan senyum yang tak lepas dari bibir itu juga membantu Ara menaruh koper di bagasi atas.

Ini pertama kali dia ke Jogja dengan kereta. Biasanya hanya ke Bandung saja. Perjalanan luar kotanya hampir selalu menggunakan pesawat.

Ara mengedarkan pandang begitu mendapatkan tempat duduk. Tidak terlalu ramai. Gerbong hanya terisi sekitar setengah dari kapasitasnya. Ara tak bisa memperhatikan satu per satu karena tubuh mereka tenggelam dalam sandaran kursi yang tinggi, menyisakan pucuk-pucuk kepala saja.

Lima menit dia menunggu, ketika peluit terdengar melengking jauh di depan, dekat lokomotif. Kereta eksekutif itu perlahan bergerak maju. Pelan, kemudian lebih cepat, hingga melaju pada kecepatan stabil.

Ara mengangguk pelan, saat pramugari kereta menawarinya makanan. Aroma nasi goreng saat bungkus styrofoam-nya terbuka begitu menggoda. Gadis itu mendengkus pelan. Bertahun-tahun dia dijejali dengan dogma bahwa makan malam dengan makanan berat itu akan merusak bentuk tubuh.

'Persetan dengan semua itu. Malam ini gue bebas menentukan apa yang akan gue makan.' Ara membulatkan tekad.

Sesuap demi sesuap Ara habiskan tanpa rasa bersalah. Itu nasi goreng ternikmat yang pernah dia makan. Tanpa peringatan Risa tentang kalori, ataupun pelototan Mami tentang berapa kalori yang harus dia buang setelah ini. Ara tak peduli.

Dua puluh menit sesudah seluruh nasi berpindah ke perut, Ara mulai mengantuk. Hari ini begitu melelahkan. Setelah pagi tadi dia bangun jam empat pagi, kegiatannya berjejalan antri tanpa mengizinkan dia rehat sejenak pun.

Ara menyibak lengan panjang yang menutupi arloji. Angka digital di sana menampilkan angka 2.30, sementara perjalanan menuju Jogja masih jauh.

Dikatupkan matanya sejenak. Ada rindu dan sakit sekaligus yang menyelinap. Entah untuk siapa.

'Gue hanya ingin menjadi diri sendiri. Gue lelah. Gue ingin bebas menentukan langkah. Gue--"

Ara tak bisa membuka mata. Berat. Kesadarannya masih ada. Banyak hal yang harus dia selesaikan. Banyak pekerjaan. Tugas kuliah. Kontrak pemotretan. Menghajar Aldy yang selingkuh. Kangen Mami. Memeluk Papi.

Namun Ara terlalu lelah. Konspirasi nasi goreng, semburan AC, dan kurang tidur membuatnya menyerah. Ara tenggelam lebih pulas. Untuk pertama kali dia merasa bebas.

NadamWhere stories live. Discover now