KARA |Serendipity|

By iliostsan_

12.3K 4K 13.6K

Tentang Kara dan semua orang di dekatnya. Bukan hanya kisah cinta antara gadis dan pria, tetapi juga tentang... More

Prolog + Perkenalan tokoh
KS - 01
KS - 02
KS - 03
KS - 04
KS - 05
KS - 06
KS - 07
KS - 08
KS - 09
KS - 10
KS - 11
KS - 12
KS - 13
KS - 14
KS - 15
KS - 16
KS - 17
KS - 18
KS - 19
KS - 20
KS - 21
KS - 22
KS - 24
KS - 25
KS - 26
KS - 27
KS - 28
KS - 29
KS - 30
KS - 31
KS - 32
KS - 33
KS - 34
KS - 35
KS - 36
KS - 37
KS - 38
KS - 39
KS- 40

KS - 23

199 85 249
By iliostsan_

Jangan lupa vote-nya ya! ❣️

••

Kara membuka helm yang menempel di kepalanya, setelah turun dari motor Arsa yang sudah terparkir rapi di parkiran mall. Kara memandang dirinya di kaca spion Arsa untuk merapikan rambutnya yang terlihat berantakan.

Tring ...

"Bentar, keknya bang Fariz nge-chat gue, lagi," ucap Kara.

Arsa membuka helm dan meletakkannya. Merapikan tatanan rambut agar tidak terlihat terlalu berantakan.

| udah sampe? Lgsg ke butik, ya.
15.36

Oke bang|
15.36 ✓✓

"Yuk, ke atas ... eh bentar-bentar," ucap Kara sekali lagi.

"Apalagi?" balas Arsa jengah.

Arsa kembali menatap Kara yang sedang asyik memperindah diri di dekat motornya. Dia menarik napas dalam-dalam dan menunggu dengan tidak sabar.

"Cepetan!" teriak Arsa dari kejauhan sembari bersedekap dada.

"Sabar dong, wajah gue pucet banget nih," balas Kara terlampau santai dengan asik memandang diri dan sesekali tersenyum kecil ke arah cermin bedak.

"Nanti di butik lo juga bakal di make-up in, udah lah cepetan!" ucap Arsa. Namun, perkataannya diabaikan oleh Kara.

Stok kesabaran Arsa sudah habis melihat kelakuan Kara yang sangat tidak tahu situasi. Gadis itu benar-benar membuatnya sedikit malu karena beberapa orang yang melewati gadis itu memandangnya dengan heran.

Arsa mendekati Kara dan menarik lengan gadis itu tanpa diminta membuat liptint yang seharusnya ada di bibirnya, bertemu dengan pipi halus Kara. Kara memelototi bayangannya di cermin, melepaskan tangan Arsa dari tangannya dan mengerutkan kening kesal.

Arsa berbalik dan menghela nafas berat.

"Arsa! Kalau mau narik itu bilang-bilang dong. Lo nggak liat nih, liptint gue udah sampe pipi. Kalau orang lain liat penampilan gue kek gini, ditaruh dimana muka gue nantinya? Mana sebentar lagi gue pemotretan. Lo mah gitu," seru Kara heboh, membuat Arsa memandang Kara datar.

"Ya udah, dibersihin aja pake tissue apa susahnya sih?"

"Liptint gue sulit buat hilangin bekasnya, harus pake air." Kara merogoh tas kempisnya itu dan mengambil tissue yang selalu ia sediakan di dalam tas.

Melihat kembali dirinya dari pantulan cermin, sesekali menggerutu karena kesalahan Arsa yang membuat Arsa lelah mendengar celoteh Kara yang tak henti-hentinya menyudutkan dirinya karena hal-hal sepele seperti ini.

Arsa dengan kasar mengambil tisu dari tangan Kara dan fokus untuk membersihkan noda liptint di pipi Kara dengan lembut. Membuat Kara tiba-tiba kaku, matanya menatap Arsa yang terlihat sangat tampan saat dilihat dari dekat seperti ini.

Usai bergulat dengan tisu dan pipi Kara, Arsa membuang muka, menatap mata indah Kara dengan mantap dengan posisi seperti ini membuatnya semakin leluasa menikmati kecantikan dewi tercantik di hadapannya, membuat waktu seolah berhenti sejenak. Setelah itu Arsa meremas tisu dan menarik Kara ke dalam mall dan berjalan ke lantai tempat butik itu berada.

Sesampainya di butik, Kara dan Arsa disambut oleh Fariz. Fariz menarik Kara untuk cepat-cepat mengganti baju dan melakukan pemotretan di ruangan khusus di butik tersebut.

Arsa duduk di kursi tunggu, menunggu Kara hampir dua jam penuh. Pantatnya seakan mati rasa karena duduk tanpa bergerak sedikitpun membuatnya menghela napas panjang.

Tak lama, Kara keluar dengan wajah yang masih dihiasi make-up dengan baju sekolah yang tadi ia pakai di sekolah.

"Gimana? Udah beres semuanya?" tanya Arsa menggebu-gebu. Dirinya sangat lelah menunggu Kara.

Kara terduduk di samping Arsa. "Bukannya nawarin gue minum, malah gue diserbu sama pertanyaan. Kasih gue minum dulu dong, haus nih," titah Kara membuat Arsa berdiri dan segera mengambilkan Kara minuman.

"Pulang lagi? Gue udah capek nunggu lo hampir dua jam di sini," ucap Arsa dengan wajah yang tampak kelelahan.

"Iya, ini juga gue mau pulang, capek gue. Dan tadi bang Fariz sempat nawarin ke gue buat jadi model, tapi, gue tolak. Baru hari pertama aja udah bikin gue ngantuk dan capek banget, apalagi gue terima tawaran bang Fariz?" ucap Kara menggebu-gebu, membuat Arsa terkejut.

"Kok lo tolak? Seharusnya lo terima aja, mana tau lo bisa ngumpul-ngumpul uang dari sekarang buat masa depan," balas Arsa.

Kara sibuk menatap dirinya dari pantulan kaca, tangan yang asyik menghapus make-up yang belum sepenuhnya terhapus. "Nggak ah, mau naik kelas dua belas juga. Gue nggak mau gara-gara pemotretan nilai gue anjlok dibuatnya," katanya, "Lagipula, gue ikut sekarang ini aja, belum minta izin sama nyokap. Jadi, alasan gue logis buat nolak pekerjaan ini," lanjutnya enteng, membuang tissue bekas itu ke dalam tong sampah yang ada di sana.

"Untungnya lagi, gue langsung dapat bayaran, bakal ditransfer ke rekening gue nanti," ucap Kara antusias.

"Nggak seharusnya lo nolak, mana tau dari model, lo dapat penghasilan gede. Lo aneh, ada peluang lo sia-siakan, padahal banyak yang mau berada di posisi lo, Kar," balas Arsa.

"Hmm ... gue ragu, Sa. Di satu sisi gue seneng dapat kesempatan jadi model dan langsung dapat keuntungan yang nggak sedikit, tapi, di sisi lain gue ragu," katanya. "Ada rasa yang bikin hati gue bimbang, apalagi gue belum minta izin sama ortu. Gue takut keluarga gue nggak suka gue jadi model dan ... gue juga males, sih, punya kerjaan yang bikin gue kerepotan," lanjut Kara sembari merunduk.

"Gini deh, kalau rasa pengin memperjuangkan mimpi lo jadi model itu besar, lo tinggal yakini keluarga lo. Lagipula jaman sekarang sulit banget nyari kerjaan, Kar. Gue takut aja lo jadi pengangguran karena sifat males lo itu udah mendarah daging," balas Arsa menyarankan.

"Iya, sih, tapi ...."

"Lebih mending lo pertimbangkan lagi, nanti gue bilang deh sama bang Fariz. Biar pas lo berubah pikiran, nggak sulit-sulit amat lo ngelamar kerja jadi model di butik ini, lagipula yang punya butik ini udah akrab sama gue," balas Arsa membuat Kara menoleh, memandang Arsa dengan keraguan yang mendalam.

"Hmm ... iya deh, ntar gue pertimbangkan lagi terus gue bakal minta izin sama ortu." Arsa mengangguk kemudian berdiri, menoleh memandang Kara yang masih terduduk memandang lurus ke depan.

"Mau nginep di sini lo? Nggak capek apa badan lo?" Kara menoleh kemudian beranjak, berjalan beriringan dengan Arsa menuju pintu masuk setelah berpamitan dengan tali tas yang diselipkan di bahu.

Kara berjalan lusuh, sesekali memandang toko yang dilewati. Ada satu toko yang membuat Kara tertarik.

Kara berhenti, Arsa yang sibuk melihat sekeliling tidak menyadari kalau Kara sudah berbelok ke salah satu toko perhiasan. Kara memperhatikan gelang-gelang yang berjejer rapi di dalam etalase kaca.

Arsa yang menyadari bahwa ada yang tertinggal menoleh, merasa terkejut karena Kara sudah hilang dari sampingnya. Seharusnya pria itu menggenggam tangan gadis itu agar tidak lepas dan nyangkut ke salah satu toko.

Arsa putar balik dan celingukan melihat apakah ada sosok Kara di dalam toko dan pada akhirnya ia menemukan Kara yang sibuk mencoba-coba berbagai gelang yang ditujunya. Arsa memperhatikan Kara dari luar, malas untuk masuk apalagi jika sudah bahas berbelanja dengan gadis membuatnya lelah menunggu.

Arsa bersedekap di depan pintu toko. Banyak yang melirik Arsa dengan tatapan memuja, seolah-olah Arsa adalah pria yang tidak boleh disia-siakan untuk dilewatkan untuk memandang keindahan wajahnya. Risih sih, tapi, dirinya berusaha tidak memperdulikan tatapan itu dan beralih memandang Kara yang terlihat lesu.

"Ngapa lo lusuh banget kek kain belum disetrika?" tanya Arsa setelah Kara tepat di depannya merunduk lesu.

"Gue pengin beli gelang, tapi, masalahnya uang dari pemotretan tadi belum nyampe ke rekening gue! Apalagi kantong dan tas gue kosong melompong, huh!" katanya, "Kenapa sih, ketika dibutuhkan malah nggak ada. Udah kek teman yang datang pas ada butuhnya aja, deh!" rutuknya dan berjalan meninggalkan Arsa. Arsa melongo dibuatnya.

Arsa menoleh ke arah toko tersebut dan berjalan memasukinya.

••

Sepanjang perjalanannya menuju tempat parkir Kara mengoceh, mengeluarkan uneg-uneg yang dia rasakan atau yang terlintas di benaknya ia ucapkan secara gamblang, sampai-sampai tidak menyadari bahwa Arsa yang tertinggal di dalam mall.

Setelah sampai parkiran Kara baru menyadarinya. Dengan cepat Kara celingukan mencari Arsa. "Ish! Gue lagi kesel dia malah ngilang? Wah ngeselin parah tuh orang. Udah gak menghibur gue, ini malah ntah dimana dia sekarang," gerutunya menggebu-gebu.

Dari kejauhan Arsa menghampiri Kara dengan napas yang terengah-engah, ia berlari takut gadis itu hilang, lagi.

"Darimana aja sih lo? Gue lagi kesel, nih, malah ngilang lo! Ish!" umpat Kara membuat Arsa terdiam.

"Ya udah, sih, maaf," balas Arsa. "Dan kenapa muka lo ditekuk begitu?" tanya Arsa sembari memberikan helm pada Kara, diambil alih oleh Kara dan mulai memasangnya. Kara hanya terdiam, malas berbicara, lagi.

"Lo laper nggak? Gue mampir ni ke Ampera." Kara menggeleng dengan lesu.

"Gue tau lo lemes gini karena nggak makan, kan?" Kara terdiam, membuat Arsa mengerti kalau gadis itu sedang bad mood.

Arsa meninggalkan area mall setelah membayar parkiran dan menuju Ampera untuk mengisi perutnya.

Sesampainya di Ampera, Kara yang memejamkan mata terusik dengan gerakan Arsa yang membuatnya membuka lebar matanya. "Kenapa ke sini? Gue mau pulang, Arsa."

"Makan dulu."

"Nggak, gue nggak selera."

"Makan atau nggak gue anter balik?"

"Gue bisa pesen ojol." Arsa menghela napas panjang. Ia melirik ke samping memandang Kara yang masih saja duduk dengan lesu di boncengan.

"Makan dulu, ya, setelah itu gue anter balik deh, nggak ke mana-mana lagi." Kara memandang Arsa yang berucap halus membujuknya untuk makan dengan terpaksa Kara turun dan mengikuti seruan Arsa.

Setelah itu, mereka masuk ke dalam Ampera dan duduk di tempat yang terkena kipas.

"Mau makan apa?" tanya Arsa memandang Kara.

"Terserah lo."

"Ya udah, mbak saya pesen nasi sama ayam panggang dua, makan sini."

"Ayam panggang dua, ada lagi?"

Arsa melirik Kara yang sama sekali tidak memandangnya balik. "Nggak ada mbak."

"Minumannya apa mas?"

"Teh hangat dua."

"Baik, ditunggu ya mas, mbak." Mbak itu pergi dari meja mereka.

"Lo kenapa, sih?" Setelah hening beberapa saat, suara Arsa dapat memecahkan keheningan yang ada.

Kara menggeleng pelan. "Nggak papa."

"Kata Ahsan kalau cewek bilang gak apa-apa pasti ada apa-apanya, coba deh bilang sama gue."

"Gue merasa ... sedih yang nggak ada sebab," balas Kara dengan ekspresi kosong.

"Kalau ada apa-apa share ke gue, udah gue bilang, 'kan, sama lo, kalau lo butuh sandaran gue siap jadi tempat bersandar lo, Kar."

"Makasih."

sepuluh menit berlalu dan makanan akhirnya sampai, Kara dan Arsa menyambutnya dengan senang hati. Kara dan Arsa menyantap makanan itu dalam diam, tak lama kemudian sebuah ide muncul di benaknya.

"Gimana kalau kita balap makan, siapa yang duluan habis makanannya, bebas ngasih hukuman sama yang kalah, gimana? Mau nggak?" tawar Arsa membuat Kara tampak berpikir sejenak dan tak lama, Kara mengangguk setuju. Dengan cepat ia melahap makanan dengan rakus.

"Belum mulai Kara, ckck."

"Guwe hwarus menang!" Arsa tertawa kecil melihat tingkah laku Kara yang tampak bersemangat dengan idenya tersebut.

Kara yang memakan makanannya dengan lahap, berbanding terbalik dengan Arsa yang masih diam memandang Kara sembari bersedekap dada.

Kara melirik Arsa yang belum menyentuh makanannya. Dengan cepat ia menelan habis makanan yang ada di mulutnya. "Lo nggak makan? Jangan bilang lo takut kalah saing sama gue? Kan, lo yang usulin ini."

Arsa tersenyum tipis, mulai melahap makanan itu dengan porsi besar, mengunyah beberapa kali dan menelannya.

Kara dibuat melongo dengan tingkah Arsa barusan. "Nggak lo kunyah? Kasian tuh sama lambung lo udah teriak gara-gara orang yang miliki dia nggak tau cara makan dengan baik dan benar."

"Lambung gue, beda dari lambung orang lain."

Kara mengendikkan bahunya acuh, kemudian mulai makan dengan lahap.

Kara memandang Arsa seakan memberi sinyal bahwa ia akan menang, namanya Arsa tidak akan mau kalah, ia membalas dengan alis terangkat dan tangan yang selalu menyuapkan makanan ke mulut dengan porsi besar.

Tak berselang lama ...

Arsa mengambil serbet untuk membersihkan noda makanan di sekitar bibir setelah mencuci tangannya dan membersihkan kembali dengan serbet-memandang Kara remeh merasa bangga membuat Kara melongo sekaligus tak terima.

"Lo curang!" sahut Kara.

"Gue fair, nggak mungkin gue curang. Bukan gue banget."

"Gue nggak mau, ya, ngelakuin hukuman yang aneh-aneh dari lo!"

"Tenang, aa' Arsa nggak bakal tega bikin neng Kara tersiksa, palingan pijitin gue."

"Idih, ogah! Pokonya jangan macem-macem, ya! Kalau nggak? Gue tendang aset lo."

Arsa bergidik ngeri, jika benar Kara melakukannya, bagaimana nasib 'adiknya' nanti.

"Siniin tangan lo."

"Buat apa? Lo mau modus?"

"Cepetan." Dengan ragu Kara memberikan tangan kanan kepada Arsa, Arsa menyambutnya dan mengelus punggung tangan gadis itu dengan lembut untuk beberapa detik.

Ia merogoh kocek celana dan mengambil gelang, memakaikan Kara gelang itu dan memandangi sejenak. Sangat indah. Tak berapa lama, Arsa mengecup cukup lama tangan Kara, sembari memandang Kara lekat. Kara? Ia memandang Arsa lekat dengan ekspresi tak mengerti.

Kara tersadar, menarik cepat tangan yang dikecup oleh Arsa tanpa instruksi. "Eh! Tuh tangan, kan, gue pake makan? Lo gila ya!"

"Itu hukuman untuk lo," balas Arsa enteng tanpa merasa jijik karena telah mencium tangan Kara tadi.

"Tuh, kan, lo mau modus! Kasih tau gue dulu dong, kalau jantung gue berdetak cepat dan nggak bisa kontrol diri, Lo mau tanggung jawab ha?" Alih-alih menutupi rasa malu, Kara malah memarahi pria itu.

"Kan, udah gue bilang, gue nggak bakal tega bikin lo tersiksa sama hukuman lain. Gue suruh pijit aja lo ogah. Ya udah hukuman kek gini cocok buat lo."

Ni orang emang gak peka atau pura-pura doang? Gue udah deg-degan gegara dia, eh dia bilang hukuman ini pantes buat gue? Uh!

Walaupun sempat menggerutu atas tindakan Arsa secara tiba-tiba, matanya beralih memandang gelang yang melingkar manis di pergelangan tangan kanannya. "Suka nggak?" Tanpa sadar Kara menganggukkan kepala dengan perasaan senang. Ekspresi yang spontan diberikan Kara pada apa yang ia kasih membuat hati Arsa menghangat.

Kara mengalihkan pandang memandang jam tangan yang dipakai Arsa. "Anter gue pulang, mama gue bakal nyariin kalau gue belum pulang jam segini."

"Ya, udah." Mereka berdua beranjak dan berjalan ke kasir membayar makanan yang mereka makan dan sekalian Arsa memesan makanan ntah untuk siapa. Setelah itu, mereka menuju rumah Kara.

Thursday, Nov 12th, 2020

|Telah di revisi|
|28.12.20|

Continue Reading

You'll Also Like

3.2M 266K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
596K 42.7K 30
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.6M 225K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
699K 55K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...