KARA |Serendipity|

Od iliostsan_

12.3K 4K 13.6K

Tentang Kara dan semua orang di dekatnya. Bukan hanya kisah cinta antara gadis dan pria, tetapi juga tentang... Více

Prolog + Perkenalan tokoh
KS - 01
KS - 02
KS - 03
KS - 04
KS - 05
KS - 06
KS - 07
KS - 08
KS - 09
KS - 10
KS - 11
KS - 12
KS - 13
KS - 14
KS - 15
KS - 16
KS - 17
KS - 18
KS - 19
KS - 20
KS - 22
KS - 23
KS - 24
KS - 25
KS - 26
KS - 27
KS - 28
KS - 29
KS - 30
KS - 31
KS - 32
KS - 33
KS - 34
KS - 35
KS - 36
KS - 37
KS - 38
KS - 39
KS- 40

KS - 21

224 81 239
Od iliostsan_

Give me vomment, please!
···
🌹Happy Reading Guys 🌹

••

Kara melempar asal batu-batu kecil ke danau di depannya. Benar, Kara membolos sekolah. Dengan tatapan kosong menyiratkan bahwa ia sedang ada masalah yang tak mampu dibendung.

Biasanya Kara tak akan kalang kabut, karena sebuah berita yang menyebar tentang dirinya. Namun, ia hanya cukup kesal dengan penuturan Reni beberapa menit yang lalu.

"Kalau mau bolos, profesional dong! Masa' bolosnya masih sekitaran sekolah sih?" Pria itu duduk di samping Kara. Kara menoleh, Arsa. Di dahinya terlihat basah dan rambutnya sedikit berantakan. Entah apa yang dilakukan pria itu sebelum menghampirinya kemari.

Tidak jauh dari belakang sekolah, selain ada beberapa warung makan, ada sebuah bendungan yang bisa disebut danau. Di sana terdapat rumput hijau nan lebat dan pohon berdahan besar untuk berteduh.

"Bukan urusan lo," ujar Kara tanpa melihat ke arah Arsa. Sembari melanjutkan kegiatan awal, membuang-buang batu ke danau.

"Gue juga sama kek lo, bakalan kabur gitu aja kalau gue gak kuat sama masalah yang gue terima." Arsa yang tadinya memandang Kara dengan sendu, mengalihkan perhatian pada danau yang terbentang cantik di hadapannya.

"Tapi sayangnya gue gak kek lo. Meninggalkan masalah karena takut menghadapinya."

"Maka dari itu, gue iri sama lo. Bisa-bisanya lo bertahan dan tetap tegar di depan orang yang sayang sama lo," katanya, "lo ... pembohong handal yang pernah gue temui." Senyum tipis terpatri memandang Kara dengan tatapan berarti. Mencoba menyalurkan energi positif untuk Kara, agar gadis itu dapat tersenyum kembali.

Kara tertawa renyah tanpa ingin menyangkal. Buat apa menyangkal jika memang itu adanya. "Makanya berguru sama gue, biar lo kuat ngadepin masalah yang lo terima," balas Kara dengan nada bercanda.

Arsa mengangguk, gelak tawa samar ia layangkan pada Kara. "Pasti! Hahaha."

Seperkian detik, Arsa terdiam. Ia memandang Kara dari samping. Perihal kebimbangan rasa yang ia alami beberapa waktu silam, sudah terjawab dan Arsa memantapkan hati pada pilihan 'mempertahankan'. Bagaimana pun juga cinta itu harus diperjuangkan, bukan berhenti di tengah jalan.

Kara tak terusik, walau merasa risih diperhatikan se-intens itu, ia mencoba menyibukkan diri-melempar batu ke arah danau, seperti awal.

"Kar, pagi ini cerah tapi gak secerah sebelumnya, kenapa, ya?" Kara menoleh, memandang Arsa dengan kening berkedut menandakan bahwa ia tidak mengerti.

Namun begitu, Kara mencoba menjawab pertanyaan random yang dikatakan Arsa barusan. "Mau hujan, mungkin." Kara mengangkat kedua bahu setelah memberikan jawabannya tanpa pikir panjangnya itu.

"Langit bersedih, lihat bidadari kek lo sedih kayak sekarang," ujar Arsa terkesan kaku. Membuat Kara tertawa renyah ketika Arsa tiba-tiba mengatakan hal yang tak terduga.

"Apaan sih lo, garing banget."

"Jangan sedih makanya. Jangan buang air mata lo buat hal yang gak berguna." Kara hanya terdiam, memandang danau dengan tatapan kosong. Entahlah rasa apa yang sedang ia alami saat ini.

Hening.

"Kar, dari kejadian ini, gue jadi pengen punya kemampuan khusus deh." Kara lagi-lagi menoleh, memandang Arsa dengan tatapan tanda tanya.

"Apa?"

"Baca pikiran orang." Lagi-lagi Kara memandang Arsa dengan rasa tak tahu.

"Buat apa lo pengin punya kemampuan itu?"

"Karena gue penasaran apa yang lo pikirin saat ini."

"Kalau lo berkeinginan punya kemampuan baca pikiran orang lain. Yang ada, lo gak bakal tenang karena selalu dihantui pikiran orang-orang yang melintas di pendengaran tak kasat mata lo."

"Yah, paling tidak gue bisa menghibur lo, orang pertama yang beruntung melihat senyum yang terpancar dari bibir manis lo. Kayak kejadian sekarang." Reflek tangan Kara memukul pelan bahu Arsa dengan pipi yang bersemu. Karena tidak ingin menjadi bahan perbincangan oleh Arsa, Kara berdehem menetralkan detak jantung dan mendinginkan pipi yang sempat 'memanas'.

"Lebih baik lo nggak usah berfikiran pengin punya kemampuan aneh kayak gitu segala. Yang ada lo dibilang gak sopan karena baca pikiran orang sembarangan. Lagian, mana ada di dunia ini orang yang punya kemampuan membaca pikiran orang lain, biasanya juga ada di cerita fiksi doang. Korban novel lo, ya?" Arsa mencibir. Memang benar apa yang dikatakan Kara. Kalau memang ada, ia mungkin merasakan pahit karena mempunyai bakat yang aneh.

Lagi-lagi hening. Atmosfer disekitar mereka sedikit canggung dan kaku. Keduanya sedang dalam mood yang berbeda. Yang satu, sedang memikirkan berbagai cara agar Kara melupakan kesedihannya. Yang satu lagi, tak mampu berpikir jernih dalam waktu dekat ini.

"Kalau kemampuan baca pikiran orang lain itu salah, gue pengen punya satu kemampuan yang mungkin gak bisa lo bayangin sebelumnya," ujar Arsa tiba-tiba.

Kara menghela napas sejenak, "kemampuan apa?"

"Kemampuan menjaga lo dari jauh, melindungi lo dari kejahatan fisik atau mental dan ... orang pertama yang gerak cepat menutup kuping lo dari perkataan yang gak patut didengar." Kara terdiam sejenak, setelah memahami kata-kata yang tersirat yang dikatakan oleh Arsa barusan membuat lengkungan di bibir terlihat walau samar.

"Lo ternyata baik, ya, gue kira lo nggak punya hati."

"Kok bisa lo berpikiran kayak gitu?"

"Lo tau, terkadang penampilan, point pertama jika orang baru mengenal lo. Penampilan dan kesan pertama penting banget dalam menjalin suatu hubungan, seperti pertemanan. Awal gue jumpa lo, kata yang dominan terlintas di otak gue lo itu gak punya hati, urak-urakan, dan gak punya adab. Kesan pertama yang mengejutkan dari lo. Lo kasarin cewek, padahal lo tau, kalau yang lo lakukan akan membuat citra lo buruk di depan orang banyak."

"Lo salah besar mendeskripsikan dan menetapkan kata 'kasar' tentang gue cuma melihat penampilan gue doang. Benar apa kata lo, gue kelihatannya cowok nakal dan sering buat onar di sekolah. Tapi, yang lo tau sekarang ... gue masih punya hati. Emang gue kasar waktu itu, tapi kasarnya gue punya alasan," katanya, "Kecewa. Rasa kecewa membuat semua yang baik di gue lenyap gitu aja." Setitik rasa bersalah Kara rasakan setelah mendengar satu fakta tentang Arsa.

"Maaf, gue salah menilai lo dari segi penampilan. Gue suka keliru kalau menilai seseorang," ucap Kara dengan mata memandang indahnya langit pagi.

Lagi-lagi hening.

"Gue juga sama kayak lo. Banyak yang bilang gue gak punya adab, gak pantes temenan sama cowok dengan baju yang berantakan kayak sekarang," ucap Kara tiba-tiba setelah terdiam cukup lama. Arsa hanya mampu memasang kedua telinga, mencerna baik-baik perkataan Kara.

"Tapi, yang namanya selera, pasti semua orang punya seleranya masing-masing. Gue suka style gue kayak gini, kalau nggak suka yaudah gak usah di lihat."

"Dan yang perlu lo tau, hidup gak selamanya bagus di kita. Lo akan kalah jika berhadapan dengan orang yang memang membenci lo dari awal. Walaupun lo mencoba baik, pada akhirnya lo dipandang jelek. Iri, adalah faktor utama mereka seperti itu." Arsa angkat bicara.

"Gosip, berita bohong, akan menyebar luas ketika konflik yang lo hadapi semakin besar. Karena manusia gak bisa jauh dari kata mengurusi urusan orang lain, bahkan ikut andil dalam konflik panas yang kita alami. Atau bisa dikatakan 'penguntit tak diundang'. Jadi, gue harap lo mampu menyikapi hal ini dengan hati tenang dan kepala dingin. Karena gue tau, lo itu cewek tangguh yang pernah gue temui."

"Ya bener kata lo. Gue sebenernya bisa aja menutup telinga gue dari masalah ini. Masalah yang sama sekali gak gue perbuat. Emang salah gue berteman dengan cowok? Ada hukumnya kalau cewek nggak tau malu kayak gue gak boleh berteman sama cowok? Gue heran deh, salah gue apa. Paling tidak ngomong sama gue, terbuka. Biar gue gampang ngubah sisi buruk gue itu. Bukan kayak bocah gini." Mata Kara berkaca-kaca. Memandang langit yang bergemuruh seakan-akan merasakan apa yang dirasakan oleh Kara.

"Dan, yang bikin gue kesal sekesal-kesalnya, ketika orang yang gue sayang dan gak ada sangkut-pautnya sama masalah yang nimpa gue, malah ikut disinggung."

"Gue gak masalah, mereka nge-judge gue dengan spekulasi mereka. Gue masih fine aja dan berusaha nutup mulut biar citra gue baik di depan orang yang gak suka sama gue. Tapi, sebagai seorang anak, gue gak bakal terima orang tua gue dinilai jelek sama mereka karena cuma lihat tingkah gue sepintas lalu doang."

"Gue merasa gak habis pikir aja gitu, bisa-bisanya mereka ngomong yang nggak-nggak tentang nyokap gue. Kenal aja nggak, sok-sokan tau segalanya." Kara menghela napas sembari menyeka air mata yang mulai menetes dari pelupuk mata.

Tak ada respon dari Arsa. Arsa cukup terkejut karena awalnya ia tidak tahu-menahu orang tua gadis itu disangkutkan pada masalah yang menimpanya. Untuk saat ini ia hanya bisa mendengar dan mencoba memposisikan diri sebagai Kara tanpa berbuat sesuatu. Walaupun Kara terlihat kuat, namun batinnya tertekan di dalam sana.

Kara menoleh ke arah Arsa masih berlinang air mata, ia kembali menyeka air mata yang terus mengalir tanpa ingin berhenti. "Maaf gue malah curhat gini sama lo."

Arsa menggeleng. "Gak papa. Udah tugas gue sebagai teman lo, dengan membuka telinga lebar-lebar mendengar dan menerima apapun keluh kesah lo. Paling tidak, dengan lo cerita sama gue beban pikiran lo berkurang."

"Makasih udah mau luangin waktu buat dengerin curhatan gue. Gue juga heran kenapa mulut gue lancar banget buat curhat kayak gini ke lo. Padahal gue itu orangnya gak terlalu terbuka sama orang lain selain keluarga."

"Gue cuma gak mau membebani mereka dengan curhatan gue yang gak seberapa ini. Apalagi rata-rata teman gue, punya masalah hidup sendiri yang mungkin lebih besar dari yang gue alami saat ini." Sebelum Arsa membalas perkataan nya, Kara melanjutkan perkataannya agar Arsa mengerti maksudnya.

"Gue nggak merasa terbebani lo ungkapin apa yang lo rasakan saat ini malah bikin gue merasa dipercayai sama lo. Dan selagi lo merasa lega dengan mengucapkan satu kata dua kata, mungkin gue bisa sanggup menampungnya dan mencoba menghibur lo." Arsa tersenyum, senang karena merasa hadirnya membuat Kara nyaman.

Hening, memang hal yang tak terduga.

"Kalau lo nggak kuat sama masalah yang menimpa lo, bersandar di gue. Gue akan selalu ada disaat lo butuh tempat curhat," ucap Arsa tiba-tiba, membuat Kara menoleh. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Arsa.

"Jangan ada air mata yang jatuh dan basahi pipi lo walaupun setetes, karena gue gak bakal kuat liatnya." Kara terdiam mencerna baik-baik perkataan Arsa barusan, ia pun berpikir sejenak.

"Gue gak bisa janji kalau yang itu." Arsa terkekeh kecil, mengusap pucuk kepala Kara sayang.

Mereka tersenyum dalam diam. Kara tersenyum karena beban pikirannya sedikit berkurang dan Arsa tersenyum karena senyum yang dinantikan olehnya terbit di bibir Kara menambah kecantikan alami gadis itu terpancar tanpa ada celah.

Kriukk ..

"Maaf ya, tadi gak sempat sarapan, jadi bunyi perut gue," ucap Kara kikuk menjauhkan diri dari Arsa. Arsa tampak tertawa dan kemudian berdiri.

"Kebetulan banget kita di sini, yuk kita makan di warteg kemarin, sekalian bolos." Kara hanya tertawa kecil, merentangkan kedua tangan di hadapan Arsa.

"Bantuin gue." Arsa menarik kedua tangan Kara dengan sedikit tenaga tanpa niat ingin membuat Kara kesakitan.

Mereka berdua berjalan ke arah warteg waktu itu dengan sesekali bercanda gurau menghempas keheningan pagi.

"Lo yang bayarin, ya? Gantian, kemarin 'kan gue udah traktir lo waktu itu," ujar Arsa.

"Jadi, lo nggak ikhlas traktir gue waktu itu?" ucap Kara ketus yang dibuat-buat.

"Hmm ... ya-ya bukan gitu sih, tapi kan ...."

"Dih kok gagap sih? Gue bercanda kali," potong Kara dan terkekeh setelahnya.

"Ya gue kira lo marah sama gue," ucap Arsa mengusap tengkuknya dengan senyum kikuk.

"Ya nggak lah. Malahan gue senang banget, karena lo udah baik mau dengerin gue curhat," jedanya. "Sebagai imbalannya lo boleh pesan makanan sepuasnya." Arsa terkejut dan mengangguk.

"Beneran lo?"

"Beneran lah, nggak kelihatan nih muka gue udah serius gini?" Kara menunjuk wajahnya yang terlihat datar dan pipinya sedikit berkedut.

"Nggak, muka lo unyu sih jadi keliru Aa'," ucap Arsa jenaka.

"Gembel lo! Untung hati gue gak lemah dan gak gampang klepek-klepek sama gombalan dari gembel kayak lo."

Mereka berdua tertawa dan sampailah pada tujuan awal, warung makan. Memesan makanan, bercanda gurau agar tidak ada keheningan yang menengahi.

Bagaimana dengan bagian ini? Apa kalian mendapatkan pencerahan? Paling tidak jika ingin berpendapat kalian ada ilmu pengetahuan dalam hal yang berkaitan dengan penyampaian opini. Kalian tahu, pada kodratnya manusia akan mempercayai apa yang mereka lihat tanpa ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seolah-olah hanya melihat, semua informasi terkumpul dan menyimpulkan nya dengan pendapat yang melenceng.

Penyebar hoax, lebih banyak mendapatkan dosa karena membuat orang lain percaya dengan apa yang ia katakan. Maka, jangan sekali-kali kalian mencoba menyebar berita bohong tanpa mencari kebenaran terlebih dahulu. Karena satu kata yang menyakitkan keluar dari mulutmu, berefek besar pada orang yang kau bicarakan. Iya kalau dia nggak gubris, kalau dia gampang sakit hati dan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri? Yang ada hidupmu gak tenang.

Semoga amanat terakhir ini bisa kamu petik hikmahnya ya! Saya hanya manusia biasa, makhluk gak suci dan penuh dosa, pengen mengingatkan saja.

Sekian.

Terimakasih sudah baca cerita ini!
···
보라 해!💜

Tuesday, Nov 03th, 2020

|Telah di revisi|
|27.12.20|

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

1M 50.5K 67
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
2.4M 140K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
3.2M 265K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
1.3M 58.3K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...