"Lah, kok pada turun dari angkot? Kan lapangan di belakang doang."
Dara tersenyum kikuk menanggapi pertanyaan Jena. Mereka baru saja sampai ke kafe, setelah kurang lebih 20 menit menaiki angkot. Syukurlah Ersya lumayan mengenal daerah ini. Kata Asep, walaupun sudah lama ke sini, mereka tidak pernah berniat menjelajahi daerah tersebut. Mereka bahkan baru tahu bahwa ada lapangan di belakang kafe.
"Tadi ada siluman yang ngejar kita, gila jantung gue masih ngedugem," jawab Andra dramatis sambil memegang dadanya.
Mendengar kata 'siluman' Dara tertawa kecil lalu memukul lengan Andra. Walaupun lucu, ia rasa yang tadi mengejar mereka itu orang yang lebih tua. Memberi sebutan seperti itu sangat tidak sopan.
"Ha? Eh iya, tadi gua sempet denger suara ledakan. Darimana dah?" tanya Jena heran membuat mereka balik saling pandang. Melihat gelagat teman-temannya yang tidak beres itu, matanya lantas menyipit curiga. "Ulah lu pada, ye?"
Dara tertawa kaku kemudian segera mengibaskan tangan. "Ada ituuu, nanti deh diceritain. Sekarang balik dulu ayok udah malem," ucapnya mengalihkan pembicaraan. Selain ia terlalu lelah, tanpa sadar sekarang sudah larut malam. Ia hanya takut orang rumah akan cemas.
"Anu, Ra. Gue keknya ntaran deh baliknya," sahut Andra disusul oleh anggukan yang lain.
"Lah, kenapa?" tanya Dara. "Udah malem lusa sekolah---"
Belum usai ia berbicara, Dio sudah menarik tangan cewek itu secara tiba-tiba. "Kalo gitu kita duluan, kalian jangan sampe pagi. Lusa masih sekolah."
"Sans, duluan aja."
Walaupun masih tidak mengerti, Dara hanya pasrah ketika ditarik Dio menuju parkiran kafe. Ia menaiki motornya dengan perasaan bingung. Matanya tak henti melirik mereka yang sudah kembali ke kafe. "Yo, kok mereka gak balik?"
Dio memakai membuka kaca helm-nya lalu menoleh ke arah Dara. "Udah biasa, lo gak perlu tau. Gue anter lo balik."
Dara terdiam kesal. Ia tidak suka kalimat yang diucapkan Dio. Seakan-akan dirinya bukan bagian dari mereka. Mendengkus keras, tiba-tiba ia merasa diasingkan. Tak sadar pegangan pada stang motor kian mengerat bersamaan dengan rasa sebal yang naik ke permukaan.
Dio menghela napas. Ia peka dengan apa yang dirasakan Dara. Karenanya ia menaikkan kaca helm-nya begitu juga milik cewek itu, menatap matanya yang terlihat sebal.
"Nanti lo bakal paham dan terbiasa sama keadaan ini. Udah diem, gausah kesel. Alay."
***
"Cara ngilangin jerawat gimana? Ini jerawat sebiji di pipi nyemak bener."
"Diamplas."
"Mantep," sahut Ardi seraya mengacungkan jari jempolnya ke hidung Farzan.
"Pake masker kue putu, Dra."
"KUE PUTU LEWAT."
Melihat Farzan yang hendak membuka mulutnya, Revan segera menutup mulut cowok itu dengan rapat. "Bising."
"MAMPUS," Ersya tertawa senang.
"Kok guru belum ada yang dateng? Bel udah bunyi setengah jam yang lalu padahal," sungut Dara sembari mengecek jam tangannya.
"Guru mana yang dateng on time ke kelas kita? Kagak ada lah," sahut Alfa santai. Ia kembali memainkan bola tenis yang entah dapat darimana.
Dara menghela napas pelan. Benar juga, mau ia bujuk sekalipun tidak semua guru meladeninya. Ia harus terima kenyataan bahwa dirinya akan tertinggal beberapa pelajatan.
"Oh iya," Dara menoleh ke arah yang lain, "kemarin kalian balik ke rumah, kan?"
Mendengar pertanyaan Dara, mereka mendadak terdiam. Tidak ada yang berniat menjawab pertanyaan sang ketua kelas tersebut. Mereka hanya saling pandang, seakan-akan berkomunikasi melalui pikiran masing-masing.
Dara mengernyit heran melihat reaksi teman sekelasnya itu. Sebuah firasat menghampiri otaknya, mengatakan bahwa yang terjadi adalah kebalikan dari pertanyaannya.
"Kalian kok---"
"EH WOI PUSPA DATANG CUY!"
Mendengar seruan Ardi, mereka langsung bergegas duduk ke tempat masing-masing. Dara berdecak pelan, masalahnya ia masih pada rasa penasarannya. Dirinya harus kembali bertanya nanti.
"Pagi semuanya, bukak buku kelen cepat," perintah guru biologi tersebut sembari berjalan menuju kursinya.
"Bu, kok mukanya masam?" tanya Ardi iseng.
Andra yang berada di sampingnya menyeletuk, "Emang kapan sih muka Bu Puspa tersayang sumringah pas masuk kelas kita?"
"Aduh, diam dulu kau. Lagi pening ini kepalaku, kek mau pecah tau kau?" sahut Bu Puspa kesal seraya memegang keningnya.
"Emang kenapa, Bu?"
"Tau gak kelen? Se---"
"Gatau, Bu."
"Allahuakbar Farzan, jangan dulu kau carik masalah. Mau cerita dulu aku jadi jangan sampek aku pelintir muncung kau itu ya," Bu Puspa membuat gerakan memelintir gemas dengan kedua tangannya.
Mendengar itu, Farzan menaikkan tangannya yang membentuk simbol 'ok' sembari bersandar ke kursi. "Asiap santuy, Bu."
"Oke. Jadi kemaren kan, tak tau lah aku siapa yang buat, ada yang lempar bom ke kandang ayamku, kelen pikirlah," terang Bu Puspa dengan raut wajah yang geram. Ia menaikkan lengan seragam dinasnya dan berkacak pinggang. "Sampek rusak kandang ayamku. Tau gak kelen, aku kejar mereka tapi mereka malah lari entah ke mana. Sampek capek aku kejar mereka, tak ada hasil. Ujungnya aku jugak lah yang bereskan kandang ayamku itu. Memang anak muda sekarang kelakuannya kurang ajar kali. Kek tak ada lagi yang dipikirkannya. Heran aku, heran."
Mereka semua mendadak terpaku. Cerita Bu Puspa terasa sangat tidak asing. Mereka tidak tahu bahwa ternyata korban dari petasan bom milik Farzan adalah Bu Puspa. Dan mereka juga tidak sadar bahwa yang kemarin 'siluman' yang mengejar mereka adalah guru biologi tersebut. Mendadak tidak tahu harus bersikap seperti apa, mereka semua saling bertukar pandang. Rasa cemas Bu Puspa akan mencurigai mereka mendadak naik ke permukaan.
Ternyata dunia se-sempit ini.
Mengernyit heran, Bu Puspa bertanya, "Loh tumben kali kalian diam? Ada apa ini?"
"Enggak, Bu. Gak ada apa-apa," sahut Asep cepat.
Memicingkan mata curiga, Bu Puspa berjalan mendekati Ersya. Cowok itu berdiri tegap saat merasa didekati oleh guru biologi-nya itu.
"Kenapa kau tegang kali?" tanya Bu Puspa mengintimidasi.
"Hah? Tegang apaan, Bu. Saya gak lgi ngebokep."
"ASTAGFIRULLAH ERSYA SUKAEJIH."
"Brengsek Ersya ketularan Repan.
Mendengar namanya disebut, ia lantas melempar pena yang sedaritadi digigiti kepada Farzan. "Gue diem ya su."
"EH BENTAR," ucap Bu Puspa tiba-tiba. Beliau berputar dan bergerak ke kursi Ardi. Mata Dara mengikuti setiap gerakan dari guru biologi itu. Harap-harap tidak akan terjadi masalah.
"Coba kau teriak."
"Bayar dulu, Bu."
Plak!
Bu Puspa menggeplak kepala Ardi dengan buku tulis di meja lalu berseru, "BAYAR APANYA BODAT CUMAN TERIAKNYA KAU MASAK HARUS DIGAJI."
"Yeu, si Ibu. Teriak juga butuh tenaga kali, capek nih capek," Ardi mengelus tenggorokannya sembari mengeluh.
Entah kenapa serentak saja sekelas bertepuk tangan dengan ricuh. Tidak tahu apa sebabnya, mereka seakan mendukung apa yang tengah Ardi lakukan. Padahal sebenarnya, tidak ada yang tahu apa jalan pikiran cowok itu. Tidak apa terlihat bodoh, yang penting dukung aja dulu.
"Mantap, ya, Di."
"Dongo bener, lanjutkan."
"Ngoghey."
Ardi tersenyum bangga sambil menatap sekitarnya. Ia mengibaskan tangannya, menyapa sekelas yang semakin ricuh. Merasa seperti aktor terkenal, kepercayaan dirinya semakin tinggi.
Lain halnya dengan Bu Puspa. Beliau malah mengernyit heran sekaligus bingung dengan tingkah IPS 5. Ia memutar kepalanya, melihat anak murid yang nakal itu semakin bersemangat menepuk tangan.
"NGAPAIN KELEN TEPUK TANGAN SETAN? EMANGNYA SI ARDI BODAT INI ARTIS? TURUNKAN TANGAN KELEN ATAU KUTURUNKAN KOLOR KELEN SATU-SATU. MAU?"
Oke, mereka tidak mau bermain-main dengan ancaman Bu Puspa. Mereka tahu, bahwa bila beliau sudah mengancam, maka itu bukan hanya ancaman semata. Dengan itu suara tepukan itu menyurut. Dara memejamkan mata, benar-benar berharap mereka tidak akan terkena masalah. Tujuannya di sini untuk mengurangi masalah, bukannya menambah.
"KELEN KAN YANG MAEN MERCON KEMAREN? NGAKU KELEN. GAK USAH PAKE CENGKUNEK, NGAKU KELEN."
"Iya, Bu. Tapi zuzur kita kagak tau bakal kena rumah Ibu---eh maksudnya kandang ayam Ibu. Jadi ya gitu, monmaap kita kagak sengaja."
"Nah, betul."
"KELUAR KELEN SETAN. JALAN JONGKOK DARI UJUNG KORIDOR SAMPEK SINI. CEPAT!"
"Asiik jamkos."
Dara menghela berat seraya memejamkan mata. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi, walaupun ia juga tidak menyangka Bu Puspa akan tahu secepat itu. Dengan malas-malasan ia berjalan kekuar, mengikuti teman sekelasnya yang sudah keluar dengan semangat.
"Oke, jamkos lagi dan lagi."