Happy reading, Gilang akan menemani malam minggu kalian:) mau ngrbucin tapi kaga ada pasangannya wakakak.
__
Hari sudah semakin larut, Ica mendapat kabar via telepon jika Adik dari Mamanya akan menikah, lusa. Dan besok pagi, Ica harus pulang ke kota kelahirannya, Palembang. Ica sudah merindukan pempek kapal selam dengan cuka yang rasanya sangat enak. Ica harus bersiap-siap saat ini juga.
Ica mengeluarkan Tas punggung dari lemari, ia tidak akan membawa banyak pakaian. Liburan semester hanya 2 minggu, dan itu akan ia manfaatkan sebaik mungkin. Ica menepuk tangannya sambil menatap tas yang sudah tersaji. Tinggal mengurus masalah tiket. Nenek tidak ikut, mereka hanya titip amplop untuk Tante Iren, nama Adik Mamanya.
Ica menepuk keningnya pelan, ia lupa mengabari Gilang. Jika tidak ia beritahu, pasti laki-laki itu akan marah padanya. Lebih baik Ica telepon sekarang.
“Halo, Kak!” sapa Ica berjalan ke depan cermin.
“Ini siapa?”
Ica mengerutkan keningnya, ia melihat layar ponsel yang jelas menampilkan nama Gilang. “Jangan becanda deh kak, ini Ica,” ucap Ica memutar bolamatanya.
“Gue siapa?” tanya Suara dari seberang.
“Lah?” Ini yang bodoh Ica atau Gilang, ia mendengar gelak tawa dari seberang. Lalu krasak-krusuk, tak lama kemudian hening.
“Halo!”
“Ca, maaf tadi bukan gue yang ngangkat, gue lagi ke toilet. Tau-tau ponsel udah di pegang Doni,” papar Gilang.
Ica menghela nafas lega, “Nggak apa-apa kak.”
“Oh iya, masa suara gue lo nggak hafal-hafal juga.” Gilang mendengus, ia berjalan ke arah dapur. Teman-temannya memang tidak punya akhlak, main angkat telepon dari pacarnya.
Ica menyengir, “Hehehe, ya habisnya mirip si,” balas Ica membela diri sendiri.
“Bagusan suara gue kemana-mana dari pada si Doni,” sahut Gilang tidak setuju.
“Iya, Iya. Kak Gilang emang segalanya,” cetus Ica memainkan pensil alis yang ia ambil dari atas meja.
“Oh iya, kenapa telepon malem-malem? Masih kangen? Tadi siang kan baru aja jalan.”
Ica menggelengkan kepalanya sambil terkekeh, memang tingkat percaya diri Gilang itu tinggi sekali. Ya, wajarlah. Apalagi didukung penampilan yang kece serta wajah yang tampan.
“Ica mau pulang ke Palembang, besok!”
Panggilan tiba-tiba terputus, Ica menggeram lirih. Di lihatnya layar ponsel, sinyal tidak hilang, apa paket internetnya yang habis? Tidak mungkin, baru kemarin sore Ica mengisinya, masa iya sudah habis.
__
Gilang berlari ke kamar untuk mengambil kunci motor, ia melempar bantal dan barang-barang yang menghalangi pencariannya.
“Nyari apa to, lang?” tanya Jamal jengah.
“LIAT KUNCI MOTOR GUE, NGGAK?” Ketiga temannya menggeleng serempak, Gilang mendengus. Ia menyambar kunci mobil milik Jamal lalu keluar dari kamar.
“Pinjem bentar, Mal.” Teriak Gilang.
Tidak ia perdulikan ponselnya yang bergetar di dalam saku celana, yang ada di otaknnya saat ini ia harus segera sampai ke rumah Nenek. Memikirkan Ica yang akan pulang ke kota asalnya membuat Gilang kalut, entahlah mengapa.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, Gilang sudah sampai di halaman rumah Nenek. Ia melirik Arloji di tangannya, sudah hampir jam 11 malam. Pandangannya menatap lampu kamar Ica yang masih menyala. Ia menelpon Ica, menyuruh gadisnya untuk keluar. Gilang berjalan mondar-mandir di sekitar mobil, ia menoleh ketika pintu rumah Nenek terbuka.
Ica melangkah menghampiri Gilang dengan baju tidur pendek bergambar angry bird marah, sangat kontras dengan wajahnya yang merengut. Gilang langsung berhambur memeluknya, Ica bertanya-tanya, mengapa Gilang jadi bersikap aneh.
“Kenapa baru ngomong kalo mau mudik,” ucap Gilang lesu.
Ica melepaskan pelukan lalu menatap mata Gilang, “Ica aja baru dikabarin malem ini.”
“Besok pulangnya sama siapa?”
“Sendiri.”
“Emang berani?”
Ica berpikir kemudian mengangguk mantap, mau bagaimana lagi. Ia harus memberanikan diri pulang dari bandung menuju palembang naik pesawat seorang diri. Nenek tidak ikut karena sudah renta.
“Gue temenin, fiks.”
Ica menggangguk kecil, “Temenin sampe bandara ya?”
“Ya, nggak lah. Sampe rumah lo!”
Ica melotot horror. Berasa mau dilamar aja gue pulang sama doi, batin Ica. Ica mencoba menolak dengan berbagai alasan, ia yang sudah besar dan tidak perlu di temani, ia yang beginilah, begitulah. Tapi, yang namanya Gilang tetap saja kekeuh ingin menemaninya pulang.
“Ntar gue nginep di hotel deh, yang penting lo selamet sampe rumah!’
Ica menghela nafas panjang lalu mengangguk, semoga saja Papa dan Mamanya tidak mengamuk karena ia pulang bersama anak orang, laki-laki pula.
“Ya udah, biar gue yang pesen tiket pesawat. Gue pulang dulu mau siapin pakaian.”
“Hati-hati, Kak. Oh iya, ini mobil siapa?” tanya Ica menatap mobil berwarna hitam mengkilap.
“Mobil Jamal, nyari kunci motor nggak ketemu-ketemu. Kesel banget gue,” balas Gilang bersungut-sungut.
Ica tertawa. “Mukanya jangan gitu dong, bikin sepet mata aja,” seru Ica memegang tangan Gilang.
Gilang mencebik, “Bocil tidur sana! Udah malem.”
Giliran Ica yang mencebik, “Yeeeeee… bocil saha eta?” (Bocil siapa itu?)
“Eta jelma gelo,” jawab Gilang terbahak. (itu loh orang gila)
Ica mendengus, ia memukul lengan Gilang yang masih saja tertawa.
“Lagian lo sih, dari mana coba bisa bahasa sunda? Lahir aja di Palembang.” Gilang mencubit pipi Ica gemas.
“Ish sakit tau.” Ica mengelus pipinya sambil menatap Gilang sinis, “Ku kebet gek masoki karung kauni.” (Gue tali ntar masukin karung lo)
Gilang menatap Ica lurus, “Ngomong apa barusan?”
Ica terkekeh, satu kosong. Gilang tidak mengerti arti dari ucapannya barusan.
“Galak dak kau ku kebet?” tanya Ica lagi. (Mau nggak lo di tali?)
“Jawab iya atau nggak?” ucap Ica.
“Emang artinya apa?”
“Jawab aja, kak.”
Gilang mengangguk pelan, “Iya.”
Ica tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai ia harus memegangi perutnya, “HAHAHA… HAHAHA….”
“Pasti nggak bener nih artinya!” ucap Gilang menatap Ica curiga, gadis itu hanya menyengir lebar.
“Udah pulang sana, Ica mau tidur.”
“Jangan lupa mimpiin gue, ya!” ucap Gilang menaik turunkan sebelah alisnya.
“Kalo bisa,” balas Ica mengulum senyum.
Gilang masuk ke dalam mobil, Ia membuka kaca jendela untuk memberikan kecupan di udara pada kekasihnya yang lucu. Ica terkekeh, ia melangkah masuk ke rumah setelah mobil Gilang menghilang dari pandangannya.
__
Sepertinya rasa sukanya terhadap Gilang hanya sebuah obsesi semata, buktinya saja saat ini jantungnya mampu berdetak dua kali lebih kencang karena duduk berdampingan dengan seorang laki-lak. Laki-laki yang ia kenal lewat acara di luar sekolah.
“Jadi, kita mau kemana?” tanya Serli.
“Aku ikutin maunya kamu aja.” Alvin tersenyum manis.
Serli tersenyum senang, ada rasa baru yang menelusup dihatinya. Serli menggandeng lengan Alvin untuk masuk ke dalam mobil, meninggalkan halaman rumahnya. Agaknya ia harus melupakan Gilang, sudah ada Alvin yang menerima dirinya tanpa penolakan. Alvin yang manis, Alvin yang bersikap baik padanya. Ia tidak pernah merasa bosan memandangi wajah Alvin.
_____
Bantu vote ya🙂🙂
Comment, hehehe.
Ini Gilang versi indo, hihi. Author mah suka, gatau kalian.