DINARA [Tersedia Di Gramedia]...

Oleh Vinnara

2.7M 275K 74.6K

šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ» Menyebalkan adalah ketika dia kembali ke tanah air setelah ditipu oleh mantan kekasihnya sendiri. Dina... Lebih Banyak

Meet Dinara and Arya
1 šŸŒ»šŸŒ» Lamaran
2 šŸŒ»šŸŒ» Kesepakatan Bersama
3 šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ» Kenangan Masa Lalu
4 šŸŒ»šŸŒ» Penjajakan Kilat
5 šŸŒ»šŸŒ» The Ranajaya
6 šŸŒ»šŸŒ» Profesional Partner
7 šŸŒ»šŸŒ» Dinara - Ranajaya
8 šŸŒ»šŸŒ» Upaya Membujuk
9 šŸŒ»šŸŒ» Lamaran Yang Sesungguhnya
10 šŸŒ»šŸŒ» Hari Yang Ditunggu
11 šŸŒ»šŸŒ» Lelah Dan Menyerah
12 šŸŒ»šŸŒ» Menunjukkan Diri
13 šŸŒ»šŸŒ» Menempuh Hidup Baru
14 šŸŒ»šŸŒ» SQ Analyst
15 šŸŒ»šŸŒ» DD Logistic
16 šŸŒ»šŸŒ» Pekerjaan dan Perasaan
17 šŸŒ»šŸŒ» Menggebu-gebu
18 šŸŒ»šŸŒ» Tak Tertahankan
19 šŸŒ»šŸŒ» Getting Worse
20 šŸŒ»šŸŒ» The Winner
21 šŸŒ»šŸŒ» Pesta Perayaan
22 šŸŒ»šŸŒ» Babymoon
23 šŸŒ»šŸŒ» Hold You in Silence
24 šŸŒ»šŸŒ» Pendekatan dan Huru-hara
25 šŸŒ»šŸŒ» Merakit Amunisi
26 šŸŒ»šŸŒ» Mempersiapkan Diri
27 šŸŒ»šŸŒ» Hidup Yang Bahagia
28 šŸŒ»šŸŒ» Orang dari Masa Lalu
29 šŸŒ»šŸŒ» Mulai Dekat
30 šŸŒ»šŸŒ» Makin Dekat
31 šŸŒ»šŸŒ» Dia Datang Lagi
32 šŸŒ»šŸŒ» Mulai Resah
33 šŸŒ»šŸŒ» Ada Yang Salah
34 šŸŒ»šŸŒ» Merasa Dicurangi
35 šŸŒ»šŸŒ» Menemukan Solusi?
36 šŸŒ»šŸŒ» Penawar Racun
37 šŸŒ»šŸŒ» Meredam-redam
38 šŸŒ»šŸŒ» Double D [Upload Ulang]
40 šŸŒ»šŸŒ» Maintenance
41 šŸŒ»šŸŒ» Segera Berakhir
42 šŸŒ»šŸŒ» Tingkeban
43 šŸŒ»šŸŒ» Berlapang Dada
44 šŸŒ»šŸŒ» Dinara dan Diana
45 šŸŒ»šŸŒ» Membuat Pilihan
[SEGERA TERBIT] 46 šŸŒ»šŸŒ» Melawan Logika
47 šŸŒ»šŸŒ» Genting
48 šŸŒ»šŸŒ» Pukulan Telak
49 šŸŒ»šŸŒ» Menyerah dan Kalah
šŸŒ» Kata Pembaca: Happy or Sad Ending?šŸŒ»
šŸŒ» PRE -ORDER DINARA DIBUKA šŸŒ»
GIVEAWAY DINARA

39 šŸŒ»šŸŒ» Rumah Yang Sesungguhnya

32.9K 4.5K 1.4K
Oleh Vinnara

🌻🌻🌻

Rasa marah memang memberi efek buruk bagi tubuh, salah satunya adalah sakit kepala yang Dinara rasakan saat ini. Terutama jika marahnya tak tertahankan namun dia harus tetap menahannya. Saat marah, hormon adrenalin dan kortisol dilepaskan dan membuat terjadinya penyempitan pembuluh darah karena kurangnya asupan oksigen dan nutrisi ke otak. Ini penyebab ilmiah kenapa sakit kepala saat marah sering terjadi, dan rasanya tak kalah nyeri dengan sakit kepala biasa.

Setelah perbincangan yang alot dengan sang suami, akhirnya Dinara sampai di depan rumah ibunya—naik taksi, sendiri, membantah suaminya berulang kali, dan menyeret koper besar serta perutnya yang menonjol bundar. Dia menarik napas berulang-ulang sebelum meneruskan langkah, dan dari celah pagar rumah tampak adiknya tengah mengelap kap mobil kesayangan.

Dinara merasa tercabik ketika melihat itu, ada kemungkinan kalau mereka harus mengembalikannya, sementara Danish tampak sudah jatuh cinta pada mobil pemberian Arya. Dia harus menghitung tabungan dan mengganti sebesar jumlah yang dikeluarkan Arya untuk membelinya.

“Mbak?” panggil Danish. Dinara kalah cepat, dia bahkan masih melamun, termenung di luar pagar, lupa memasang ekspresi biasa-biasa saja di wajahnya. “Mbak ke sini sama siapa?” Pemuda itu buru-buru membuka pagar dan menyalaminya.

“Hai, Om Ninish,” sapa Dinara ramah sembari mengusap kepala adiknya. “Ada yang kangen nih.”

“Dedenya kangen sama aku?” Mata Danish berbinar melihat kedatangannya, tapi tidak lama, karena kemudian tatapannya mengedar ke sekitar, seperti mencari keberadaan seseorang. “Mas Arya mana? Mbak ke sini sama siapa? Kenapa bawa koper besar?” cecarnya.

“Mbak boleh masuk, Nish?”

Danish menarik napas dan menyeretnya lembut, menarik koper Dinara dengan tangannya yang lain, langsung menuju ruang tamu, tidak menunggunya duduk karena dia tampak tidak sabar untuk bertanya.

“Kenapa Mbak pulang kayak gini?”

“Mbak mau nginap beberapa hari.”

“Sama mas Arya, kan? Nanti mas Arya nyusul ke sini apa gimana? Mbak sama siapa? Masa sendirian? Hamil besar, bawa koper...”

Danish kelihatan keras sedang menyangkal.

“Mama ada?”

“Mbak jawab aku dulu,” ucapnya. Tatapan di mata anak itu berubah lain, dia bukan Danish yang biasanya. “Ada apa sebenarnya?”

“Mbak cuma mau nginap, Nish.” Dinara menundukkan kepala, posisi mereka terbalik, Danish yang jauh lebih tinggi berdiri di hadapannya dengan tangan terlipat, seperti sedang mengintimidasi dan memarahi.

“Mbak kira aku sebocah itu?” tanya Danish kesal. “Aku telepon mas Arya dulu,” katanya buru-buru. “Ah, nggak usah. Aku cari dia sekalian.”

“Nish!”

“Mbak diem di sini, istirahat aja ke kamar.”

“Nish, jangan!”  Dinara menarik lengan adiknya kuat. Danish adalah atlit taekwondo hebat, dia seorang pelatih sekarang, dan bukan mustahil kejadian dengan Haikal dulu kembali terulang. Namun lawan mereka sekarang adalah Arya dan Ranajaya, itu berbeda. Kekerasan sedikit saja bisa berbuntut panjang. “Jangan cari mas Arya sekarang, tolong...”

“Aku mau minta penjelasan,” ucapnya cepat. Tenaga Danish tak tertahankan. “Kenapa mas Arya ngebiarin Mbak Dinar pulang ke rumah, sendirian, bawa koper besar, pas lagi hamil besar. Ini perlu dijelasin sampai aku ngerti. Mudah-mudahan alasan mas Arya masuk akal, dia lagi sekarat dan mau mati, misalnya. Jadi nggak bisa ngantar.”

Dinara gemetar, kabar simpang siur tentang keberingasan adiknya sudah lama terdengar. Tapi baru kali ini benar-benar ada di situasi itu, berhadapan langsung dengannya, menatap mata Danish yang mengerikan, menahannya mati-matian.

“Ini cuma kemauan mbak aja.” Dinara merasakan kakinya mulai terseret oleh langkah Danish. “Sumpah, Nish... ini cuma karena mbak lagi sensitif aja. Mas Arya nggak apa-apa, tadi juga mau nganter tapi mbak yang keras kepala, mbak yang maksa naik taksi ke sini. Mas Arya nggak salah, jangan pe—”

“Bela terus!” Danish meneriakinya sampai Dinara tersentak dan merasa dadanya sakit. Bulu di sekujur tubuhnya meremang, kulit perutnya menegang, dia ketakutan. Tapi akal sehatnya tetap bekerja, pegangan di lengan Danish tetap kencang. “Bela terus mas Arya sampai dia kayak orang suci yang nggak punya dosa padahal jelas-jelas dia udah nyakitin Mbak!”

“Nggak, Nish... please, ini cuma karena mbak lagi sensi aja.”

Dadanya naik turun, Danish mungkin harus menemui pakar kesehatan untuk mengatasi masalah emosinya yang berlebih. Dinara menenangkannya, mengusap-usap lengan pemuda itu, perlahan membawanya duduk. Mereka berakhir di sofa dengan tangan yang tidak terlepas, Danish bisa melesat pergi tiba-tiba dan tidak bisa ditahan.

“Mbak nggak mungkin sensi kalau mas Arya nggak macam-macam,” ucapnya dengan suara lebih pelan.

“Masalah kecil, Nish. Tapi karena mbak lagi hamil, sensinya berlebih, kalau nggak lagi hamil mbak nggak akan begini.”

“Mbak nyalahin kehamilan? Nyalahin anak Mbak sendiri demi cari alibi?”

Menohok sekali, Danish. Dia juga tumbuh lebih dewasa secara emosional. Dan Dinara menggelengkan kepala tanpa suara, memberi penyangkalan, meski Danish tidak akan semudah itu dibuat percaya.

“Mbak cuma pengen pulang, nenangin diri, pengen nginep di sini, memang nggak boleh, ya? Mbak harus ke mana kalau lagi ngambek sama mas Arya kalau bukan pulang ke rumah Mama?”

“Bawa koper sebesar itu?” Danish menunjuk barang bawaannya. “Itu bukan nginep, Mbak Dinar kabur, pindahan.”

“Itu... banyak baju yang udah nggak kepake, mau mbak simpan sebagian di sini.”

“Jangan bohong!” teriak Danish di sebelahnya dengan tangan mengepal. “Berhenti buat bohongin aku, Mbak! Aku nggak setolol itu! Mbak kalau nginap di sini, kalau baik-baik, mas Arya pasti nganterin! Dan kalau mas Arya nggak jahatin Mbak, nggak mungkin dia ngebiarin Mbak pergi sendiri! Jelas dia udah jahatin Mbak Dinar. Mbak jangan bohong ke aku!”

Ternyata pergi ke sini sendiri memunculkan banyak persepsi buruk dari keluarganya sendiri dan Dinara menyesal. Harusnya tadi dia biarkan Arya mengantar saja agar tidak ada sambutan mengerikan seperti ini dari adiknya.

“Hai, Mbak? Nish?”

Dinara dan Danish berpaling ke asal suara. Ibu mereka muncul dari balik pintu samping rumah menuju garasi yang terbuka, terlihat baru sampai dan kaget mendapati dua anaknya melakukan konfrontasi di ruang tamu.

“Ada apa? Kok ngomongnya kenceng banget? Kedengeran lho sampai luar,” ujarnya sambil berjalan mendekat.

“Ma...” panggil Dinara cepat, dia mengambil alih keadaan sebelum Danish buka mulut duluan. “Mama, aku mau izin nginap di sini beberapa hari. Boleh?”

“Mbak, tenang dulu.” Melia meraih kedua tangannya, membawa Dinara kembali duduk, mereka bertiga berjejer di kursi terpanjang ruang tamu dengan Dinara yang berada di tengah-tengahnya. “Mau minum dulu, Mbak?”

Dinara menggeleng cepat.

“Kabur dia, Ma. Pasti mas Arya udah macem-macem sama mbak Dinar.”

“Nggak, Nish. Aduh, jangan ngomong gitu. Ini cuma hormon aja, mbak lagi sensian.”

“Bohong!”

“Nish, ka—”

“Ssshhh...” Suara desisan dari ibu mereka menginterupsi keduanya. Dinara dan Danish kompak terdiam sambil menatap ibu mereka dengan perasaan tak keruan. “Mbak-nya baru datang kok dimarahin sih, Nish?” Tangan Melia terjulur panjang untuk menyentuh pundak anak bungsunya, memberi usapan pelan di sana. “Mbak mau nginap? Udah makan belum?” Lalu beralih pada putri sulungnya.

Iya, Ma. Mau nginap di sini sementara, kalau boleh, kalau Mama nggak keberatan,” ucapnya pelan. Dinara menundukkan wajah, tidak berani menatap mata sang ibu.

“Kenapa nggak boleh? Ini rumahnya Mbak kok, masih rumahnya Mbak Dinar. Meski di luar sana Mbak punya istana yang besar, rumah ini masih punyanya Mbak sama Danish. Mbak boleh datang kapan aja ke sini.”

Dinara mengangguk dengan kepala tertunduk, menahan tangis yang entah sejak kapan mendesaknya untuk berteriak. Padahal dia kuat. Sejak tadi dia kuat, sejak bertengkar dengan Diana, berdebat dengan Arya, dia kuat. Kenapa baru satu menit bersama ibunya, semua terasa berat?

“Makasih ya, Ma.” Melia meraih telapak tangannya yang dingin. “Jadi... kalau aku sama mas Arya lagi nggak baik, aku boleh pulang?” Dia mengangkat kepala dan bertatap dengan sang ibu, tidak ada jawaban. Apa Melia keberatan menampungnya setelah tahu Dinara dan Arya bermasalah?

“Ma,” panggilnya sambil menggoyangkan tangan mereka yang bertautan. “Aku... boleh kan cari Mama kalau aku pergi dari rumahnya mas Arya?”

“Memangnya Mbak mau ke mana lagi? Ya, ke sini, ke mama, kan mama ini mamanya kamu.”

Dinara menahan getar hebat di bibir lalu menciumi tangan ibunya, menggumamkan terima kasih berulang-ulang dengan tangis yang nyaris meledak. Membiarkan tubuhnya dipeluk oleh sang ibu meski sebelumnya hubungan mereka tidak terlalu dekat. Dia tidak punya siapa-siapa sekarang, dirinya bukan apa-apa tanpa Melia.

“Mama, makasih banyak... makasih...”

“Sshh...” Melia mengusap punggung dan kepalanya bergantian, hal yang sudah lama sekali tidak dia dapatkan, hatinya nyeri, luka-lukanya terbuka lebar, Dinara menggelepar, membiarkan semua kesakitan itu keluar. Dia yakin melepaskannya tidak akan membuat dirinya mati. Ada Melia di sini, ada ibunya, pasti ibunya akan mengobati itu semua. Pelukannya menyembuhkan. Dinara percaya itu.

“Mama... mengizinkan Mbak menikah biar Mbak bahagia,” ucap sang ibu terbata. Beliau menangis, pasti terbawa suasana. “Mama cuma mau Mbak bahagia. Jadi, kalau Mbak udah nggak bahagia lagi, pulang ya, Nak? Pulang ke rumah, pulang ke mama. Mama selalu di sini, mama selalu jadi milik Mbak Dinar meski Mbak udah jadi milik orang lain. Mama...” Suara ibunya bergetar hebat, isaknya begitu menyesakkan.

“Mama... bersyukur Mbak masih ingat rumah ini, ingat mama, waktu Mbak lagi sedih, lagi susah. Mama senang Mbak nggak ke mana-mana, Mbak cariin mama.”

Luka itu lagi, luka masa lalu mereka berdua. Dinara merasakan kesedihan sang ibu disertai kelegaan yang tidak bisa dia terjemahkan. Mungkin Melia berpikir, Dinara akan kabur lagi saat dia punya kegundahan—seperti biasanya. Memilih untuk berdiam diri, dengan alasan menenangkan diri, tanpa melibatkannya sama sekali.

Pelukan itu kian mengerat, kala ada tangan lain di belakang punggungnya ikut serta memberi elusan pelan, Dinara yakin itu Danish adiknya. Dia anak yang manis, masih tetap jadi adiknya yang baik dan menggemaskan. Danish pasti sudah tidak marah lagi seperti tadi.

Orang bilang, setelah menikah wanita menjadi orang lain di rumah sendiri dan jadi tamu di rumah mertua. Katanya, setelah ijab terucap, anak perempuan bukan milik orangtuanya lagi. Bagaimana bisa itu terjadi? Dia bisa hidup dan tumbuh hingga sebesar ini berkat Melia, kenapa dia harus meniadakan kepemilikan itu dari ibunya sendiri? Jelas-jelas Dinara adalah darah dagingnya.

Ketika anak laki-laki selamanya menjadi milik ibu mereka, kenapa anak perempuan tidak mendapat hak yang sama? Lalu, bagaimana nasib orangtua yang memiliki anak perempuan semua? Bukankah itu jadi kenyataan yang menyedihkan?

Persepsi itu sungguh menimbulkan asumsi pribadi yang menyebabkan kekeliruan. Entah Dinara yang terlalu keras dan awam dalam mengartikan, dia juga tidak tahu. Yang jelas, dirinya juga milik ibunya meski sudah dinikahi oleh Arya. Dan selamanya akan tetap begitu.

🌻🌻🌻


Mas Arya :
Di, istirahat ya. Makan yang baik, nanti mas nyusul. Salam ke mama sama Danish. Mas titip dede, maaf buat semuanya.

Itu adalah pesan yang pertama dan terakhir kali dikirimkan Arya kepadanya sejak Dinara tiba di rumah sang ibu, dua hari yang lalu. Sudah dua hari dan tidak ada kabar terbaru, tidak ada komunikasi yang terjalin di antara mereka berdua lagi, Dinara tidak membalas, pun tidak mengiakan, apa karena itu Arya memutuskan untuk mengabaikan? Sudah dua hari, dia tidak memberi atau menanyakan kabar sama sekali.

Anehnya, Dinara merasa tidak apa-apa. Tidak masalah kalau Arya tidak menghubunginya, tidak menjenguknya, tidak menyusulnya, tidak menjemputnya. Keluar dari zona gila itu membuat Dinara kembali ke titik waras. Bahwa, dia tahu pernikahan seperti miliknya dan Arya tidak bertahan lama.

Orang yang menikah karena saling mencintai saja bisa bercerai, apalagi mereka berdua, kan? Dinara sudah cukup lega karena melepas status perawan tua yang disematkan lingkungan serta keluarga padanya, dia pun tidak keluar dari sana tanpa membawa apa-apa.

Dinara memiliki seorang anak dalam perutnya, dan itu sudah lebih dari cukup. Arya sudah banyak membantu selama ini, jadi biarkan dia kembali pada kekasihnya lagi. Dinara sudah selesai meminjamnya. Anggap saja begitu.

“Mbak, ayo diminum dulu,” ucap Melia sambil mengangsurkan botol kaca dengan minuman berwarna kuning keemasan di dalamnya. “Biar ibu sama bayinya sehat terus.”

Dinara menurut, diteguknya air berperisa madu dan sarang burung walet itu dengan penuh sukacita. Begitu pulang ke rumah ini, selera makannya luar biasa, mungkin efek pikiran dan kondisi mentalnya yang jauh lebih baik dibanding saat masih mengawasi Diana dan Arya. Dia bisa makan enak, tidur nyenyak dan melakukan banyak hal menyenangkan ala wanita hamil yang normal.

Minuman dalam kemasan berbotol kaca yang dikemas dalam kotak cantik nan mewah di hadapannya sekarang disebut Bird nest.  Merupakan minuman kesehatan dengan kandungan asam sialat dari sarang burung walet yang dapat memfasilisitasi perkembangan otak dan kecerdasan bayi jika dikonsumsi oleh wanita hamil.

“Habis ini cucunya oma sekolah dulu, Mbak mau sambil ngemil? Nanti Ceu Yati bikinin rujak, gimana?”

“Boleh.” Dinara mengangguk sambil tersenyum. Hamil bisa semenyenangkan ini ternyata. “Tema yang mana hari ini, Ma?”

Perutnya dipasang alat perangsang gerakan yang menstimulasi kecerdasan, ketanggapan dan kesehatan janin. Ibunya bilang itu sekolah khusus untuk bayi di dalam perut. Alat berwarna putih berukuran sebesar telapak tangan dan memiliki menu atau pilihan tema pelajaran untuk janin sesuai tahapan usia. Dinara hanya bisa mendengar suara-suara samar dari sana, tapi katanya itu demi kebaikan calon bayi, jadi tidak apa-apa alat itu menempel di atas perutnya untuk beberapa menit setiap hari.

“Ma, rujaknya pengen pake kerupuk, ya.” Dinara menambahkan secara mendadak. Tiba-tiba sensasi gurih dan renyah kerupuk berpadu dengan sambal rujak yang pedas, manis dan asam menggugah selera.

“Kenapa?” tanyanya sembari mengangkat kepala, kebetulan dia sedang sibuk dengan laptop baru dan menerapkan beberapa aplikasi yang berguna untuk bekerja lagi.

“Nggak.” Ibunya tersenyum kecil dan menghindari topik.

“Mas Arya takut sama kerupuk,” sahut Danish tiba-tiba. Dia yang tengah berbaring di seberangnya itu fokus pada ponsel sejak tadi, tapi ternyata diam-diam mendengarkan juga. “Mbak kangen sama mas Arya,” imbuhnya.

“Nggak kok,” sangkal Dinara buru-buru. Dia bahkan tidak mengingat Arya sama sekali, hanya tiba-tiba ingin saja. Dia lupa pada fakta bahwa Arya sangat menghindari suara gigitan kerupuk.

“Mungkin dedenya yang kangen.” Melia menengahi sambil menyunggingkan senyum. “Katanya mas Arya takut sama suara kerupuk ya, Mbak?”

Dinara mengangguk cepat.

“Tapi dia tuh tipe yang bebal-bebal gitu sih. Aku pernah malam-malam ngajarin dia bikin nasi goreng kan, terus aku tambahin kerupuk udang, kan wajib tuh ada kerupuknya. Aku kira dia bakal lari pas denger aku gigit kerupuk deket kupingnya kenceng-kenceng, tapi dia malah nekat makan juga. Bener-bener tuh suaminya mbak Dinar.”

Melia terkekeh, Danish tersenyum geli sekaligus meremehkan, dan hanya dibalas Dinara dengan seulas senyum tipis. Menggemaskan bagaimana bayangan Arya dalam kepalanya mencoba melawan phobia itu mati-matian. Dia orang yang keras kepala dan pantang menyerah memang.

“Dia makannya nggak kayak aku tuh, Mbak. Satu kerupuk gede itu cuma dua kali gigit, segigit aja udah masuk setengahnya ke mulut dia, terus gigitnya kayak... hati-hati banget. Abis digigit nggak dikunyah langsung, ditunggu agak melempem dulu.”

Kali ini Dinara benar-benar tertawa. Iya, benar begitu memang cara Arya menikmati kerupuk kala dia sedang ingin. Dia juga suka pada kudapan ringan itu, hanya tidak tahan dengan suara gesekan, patahan dan kunyahannya saja. Namun yang lebih mengesankan lagi adalah, ternyata Danish sedekat itu dengan Arya tanpa disadarinya.

Danish sudah kenal Arya lebih jauh dibanding dulu, mengenalnya lebih baik, berhubungan dengan baik, seperti yang selalu Dinara harapkan. Sedih rasanya mendapati kenyataan saat ini yang membuat hubungan Arya dan Danish mau tak mau terpengaruh juga. Padahal mereka baru saja dekat, belum begitu akrab, tapi setidaknya Danish punya teman, sosok kakak laki-laki yang tidak pernah dia miliki.

Arya begitu baik, dia memanjakan Danish seperti adiknya sendiri, memfasilitasinya dengan berbagai kemudahan, seperti kakak sungguhan. Memperlakukan Danish tak beda dengan adik kembarnya. Selain mobil, uang hadiah, uang bulanan, Arya pun memasukkan nama Danish serta Melia—sudah tentu Dinara, dalam lingkaran klan keluarga mereka. Jadi, ke manapun Danish pergi, dia boleh menikmati seluruh fasilitas di hotel keluarga Ranajaya dengan menunjukkan kartu keanggotaan miliknya.

“Lucu ya, mas Arya.” Melia berkomentar setelah selesai tertawa. “Jadi itu belajar masak nasi gorengnya gimana?”

Danish mencebikkan bibir sambil mengangkat bahu. “Aku nyerah deh, mas Arya cuma belajar masak nasi goreng pakai bumbu instan, alias tinggal cemplungin aja, tapi tetep nggak bisa. Aku bilang lebih enak kalau ditambahin irisan bawang, sosis, daging gitu kan, eh... dia nggak bisa ngiris sama sekali. Jadi semuanya aku yang kerjain, mas Arya cuma berdiri manggut-manggutin kepala. Nyerah pokoknya.”

Melia terdengar senang mendengar cerita yang diangkat oleh anak bungsunya, Dinara bahkan tidak tahu kapan Arya dan Danish melakukan itu. Mungkin dulu di awal kehamilan, saat dia kesulitan bangun, atau mereka praktek memasak saat dia tidur, demi Arya yang bisa memasak makanan untuknya.

“Ternyata mas Arya baik, ya. Mama maklum sih kalau mas Arya nggak ngerti apa-apa urusan di rumah dan dapur, nggak bisa motong-motong atau masak apa pun. Dia dibesarkan di istana, mereka punya lusinan pelayan, mas Arya terbiasa dilayani.”

Sementara setelah menikah dengannya, Arya berusaha untuk melayani.

“Hm... baik sebenarnya.” Danish mengusap dagunya. “Tapi yang baik belum tentu benar kan, Ma? Mas Arya pernah curhat ke aku, katanya mbak Dinar pendiam banget, tertutup, lempeng gitu. Terus aku kayak... wah, mas Arya belum tahu aja. Mbak Dinar itu kuntilanak yang lagi nyamar jadi manusia, coba aja cek di kepalanya barangkali ada paku nancep.”

“Nish!” Dinara melotot, tidak terima dengan tudingan barusan tapi Danish hanya tertawa.

“Aku bilang ke mas Arya, mbak Dinar itu nggak pendiam. Tapi kalau dia tiba-tiba diam pas diajak ngobrol berarti mas Arya-nya aja yang nggak asyik.”

Danish benar, dan Dinara tidak bisa menahan tawanya keluar. Arya bukan tidak asyik, dia hanya bersikap hati-hati, agar tidak jatuh hati. Meski mungkin itu sudah terjadi saat ini.

Mungkin akhir-akhir ini Dinara terus menyangkal banyak hal, menjadikan kehamilan dan hormonnya sebagai alibi, tapi dia jelas tahu ada yang berbeda di dadanya saat ini. Bahkan jika dia tidak hamil, atau sudah selesai hamil nanti, dia tetap yakin pada perasaan itu. Dia tidak ingin menghapusnya begitu saja, Dinara memilih untuk jatuh hati pada Arya walau tidak pernah mengakuinya.

Ada banyak alasan kenapa dia tidak mengatakan itu, dirinya ketakutan. Ditambah dengan kehadiran Diana di antara mereka, dia semakin ragu untuk bicara. Hati Arya masih abu-abu padanya, Arya mungkin hanya baik selama ini karena status mereka saja. Bagaimanapun, kenangan 5 tahun bersama seseorang tidak akan mudah tergantikan dengan yang baru bersamanya beberapa bulan saja. Bahkan hubungan Arya dan Dinara mungkin tidak berkesan.

Arya bisa melupakannya dengan cepat, meninggalkannya dalam waktu singkat, kembali pada Diana segera menikah merealisasikan rencana mereka yang tertunda. Dinara sudah siap dengan hal-hal seperti itu, kembali ke rumah ibunya berarti menggantung bendera putih setengah tiang, dia berancang untuk menyerah dan menyatakan diri sebagai pihak yang kalah dalam perang.

“Mbak,” panggil Danish yang membuatnya terperanjat. Pemuda itu mendekat dengan sesuatu seperti senter di tangan, membuat benda itu menyala dan menyorot bagian-bagian perutnya. “Aku mau ngajak dedenya main.”

Dinara tersenyum, sekolah janin sudah selesai, waktunya bermain dengan sang paman. Dia melepas alat itu dari perut, digantikan dengan lampu senter yang bergerak memutar. Danish senang melakukan ini, karena saat sorot lampu itu membidik bagian tertentu, ada tendangan dari dalam sana, semacam respons alami. Cahaya dari lampu senter mampu menembus lapisan kulit hingga bayi di dalam sana dapat melihatnya, merasa silau, lalu bermain-main, menendang, bergerak, berpindah-pindah demi menghindari sorotnya.

“Pinter banget, nendang mulu. Mau jadi atlit taekwondo kayak om, ya?” tanya Danish dengan wajah ceria. “Udah ya, nggak boleh lama-lama main senternya, kata ibu nanti kamu over stimulasi.”

Saat tidak ada Arya seperti sekarang, Danish berperan sebagai penggantinya. Ah, tidak. Danish tidak pernah jadi pengganti, dia selalu ada di sana, berdiri di tempat yang sama dalam keadaan siap siaga untuk menjaganya. Hanya saja Dinara lebih sering mengandalkan suaminya sendiri akhir-akhir ini.

“Mbak...”

“Hm?”

“Udah dua hari,” katanya pelan. “Kok mas Arya nggak datang-datang?”

Dinara mengangkat bahu, dia juga tidak tahu.

“Kalau... mas Arya nggak mau jagain Mbak lagi, biar aku aja, ya? Aku bisa jadi om sekaligus ayah buat anaknya Mbak nanti. Aku bakal jagain dia baik-baik kayak anak sendiri. Aku bakal kerja yang bener dan bantuin mama di laundry. Aku nggak akan biarin anaknya Mbak ngerasain apa yang dulu kita rasain.”

Hening, menyakitkan sekali mendengarnya dari mulut seorang pemuda berusia 18 yang selalu Dinara anggap belum mengerti apa-apa.

“Makasih ya, Nish.”

“Iya.”Danish mengangguk samar. “Kalau boleh tahu, masalah mbak sama mas Arya sebenarnya apa?”

Awalnya, Dinara berniat untuk menyembunyikan ini, menyimpannya sendiri, menutupnya rapat-rapat. Tapi toh tidak ada gunanya, dia harus mengatakan hal ini pada Danish dan Melia.

“Mantan calon istri mas Arya datang lagi.”

Dan itu berarti Dinara dipukul mundur, ditambah sikap Arya yang dua hari belakangan tidak menghubunginya sama sekali, Dinara seolah tidak memiliki harapan lagi. Dia harusnya menyerah, namun saat ini belum Dinara belum kalah, dia hanya sedang menenangkan diri, menyusun strategi, mengambil langkah antisipasi.

Kira-kira siapa yang akan dipilih Arya nanti? Dinara atau mantan kekasihnya?

To be Continued.

🌻🌻🌻🌻



Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

8.8M 94.2K 12
Aksa dan Fau merahasiakan "status" pernikahan, sehingga tidak ada yang tahu bahwa mereka adalah pasangan suami istri di usia muda. Tapi ternyata, tid...
501K 33.1K 97
Sion Vererro adalah putri dari Sarah handoko dan Billy Vererro. Setidaknya, itulah yang tertulis di atas kertas. Kedua orangtuanya meninggal saat dia...
91K 3.8K 53
{tamat} [dalam tahap revisi] Cinta? Aku pernah mendengar kata itu. Namun bagaimana jika mencintai dia yang juga mencintaiku namun kami tidak bisa ber...
2.9M 116K 33
[Spin-off Adeeva dan Arga] [Bisa dibaca terpisah] Terbangun di kamar asing adalah suatu hal yang sangat mengejutkan bagi Jihan. Terlebih saat Bima Pr...