DINARA [Tersedia Di Gramedia]...

By Vinnara

2.7M 275K 74.6K

šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ» Menyebalkan adalah ketika dia kembali ke tanah air setelah ditipu oleh mantan kekasihnya sendiri. Dina... More

Meet Dinara and Arya
1 šŸŒ»šŸŒ» Lamaran
2 šŸŒ»šŸŒ» Kesepakatan Bersama
3 šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ» Kenangan Masa Lalu
4 šŸŒ»šŸŒ» Penjajakan Kilat
5 šŸŒ»šŸŒ» The Ranajaya
6 šŸŒ»šŸŒ» Profesional Partner
7 šŸŒ»šŸŒ» Dinara - Ranajaya
8 šŸŒ»šŸŒ» Upaya Membujuk
9 šŸŒ»šŸŒ» Lamaran Yang Sesungguhnya
10 šŸŒ»šŸŒ» Hari Yang Ditunggu
11 šŸŒ»šŸŒ» Lelah Dan Menyerah
12 šŸŒ»šŸŒ» Menunjukkan Diri
13 šŸŒ»šŸŒ» Menempuh Hidup Baru
14 šŸŒ»šŸŒ» SQ Analyst
15 šŸŒ»šŸŒ» DD Logistic
16 šŸŒ»šŸŒ» Pekerjaan dan Perasaan
17 šŸŒ»šŸŒ» Menggebu-gebu
18 šŸŒ»šŸŒ» Tak Tertahankan
19 šŸŒ»šŸŒ» Getting Worse
20 šŸŒ»šŸŒ» The Winner
21 šŸŒ»šŸŒ» Pesta Perayaan
22 šŸŒ»šŸŒ» Babymoon
23 šŸŒ»šŸŒ» Hold You in Silence
24 šŸŒ»šŸŒ» Pendekatan dan Huru-hara
25 šŸŒ»šŸŒ» Merakit Amunisi
26 šŸŒ»šŸŒ» Mempersiapkan Diri
27 šŸŒ»šŸŒ» Hidup Yang Bahagia
28 šŸŒ»šŸŒ» Orang dari Masa Lalu
29 šŸŒ»šŸŒ» Mulai Dekat
30 šŸŒ»šŸŒ» Makin Dekat
31 šŸŒ»šŸŒ» Dia Datang Lagi
32 šŸŒ»šŸŒ» Mulai Resah
33 šŸŒ»šŸŒ» Ada Yang Salah
34 šŸŒ»šŸŒ» Merasa Dicurangi
35 šŸŒ»šŸŒ» Menemukan Solusi?
36 šŸŒ»šŸŒ» Penawar Racun
37 šŸŒ»šŸŒ» Meredam-redam
39 šŸŒ»šŸŒ» Rumah Yang Sesungguhnya
40 šŸŒ»šŸŒ» Maintenance
41 šŸŒ»šŸŒ» Segera Berakhir
42 šŸŒ»šŸŒ» Tingkeban
43 šŸŒ»šŸŒ» Berlapang Dada
44 šŸŒ»šŸŒ» Dinara dan Diana
45 šŸŒ»šŸŒ» Membuat Pilihan
[SEGERA TERBIT] 46 šŸŒ»šŸŒ» Melawan Logika
47 šŸŒ»šŸŒ» Genting
48 šŸŒ»šŸŒ» Pukulan Telak
49 šŸŒ»šŸŒ» Menyerah dan Kalah
šŸŒ» Kata Pembaca: Happy or Sad Ending?šŸŒ»
šŸŒ» PRE -ORDER DINARA DIBUKA šŸŒ»
GIVEAWAY DINARA

38 šŸŒ»šŸŒ» Double D [Upload Ulang]

32.6K 4.5K 1.9K
By Vinnara

🌻🌻🌻🌻

“Kenalin, saya Diana.”

Dinara hampir saja meraih jemari dan telapak tangan indah yang terjulur ke arahnya itu sebelum seseorang muncul di antara mereka. Menepis cepat tangan yang hampir bertaut dan menggenggam tangannya lalu berdiri membelakangi.

“Mas...”

“Mas Arya...”

Diana dan dirinya hampir berucap serempak menanggapi kekagetan masing-masing atas kemunculan Arya yang tiba-tiba. Perkumpulan di sana otomatis bubar, para pegawai Arya kembali ke kubikel mereka masing-masing tanpa berpamitan. Sementara itu Dinara, Arya dan Diana masih di ruang tengah kantor, belum menggaungkan apa-apa.

“Mas, kenapa?” tanya Diana. Ada nada tersinggung di suaranya. “Saya cuma ajak kenalan, nggak akan saya apa-apain.”

Jangan bilang Arya takut Dinara akan ditindas oleh Diana, mohon maaf dia tidak selemah itu.

“Hati-hati kamu. Istri saya lagi hamil.”

“Saya tahu.” Diana tampak melirik tonjolan di perutnya sekilas. “Apa saya sehama itu?”

“Kamu bisa nularin penyakit ke dia.”

“Mas!” Tanpa sadar, Dinara memekik di belakang suaminya. Itu membuat Arya menoleh dengan mimik wajah kaget, bingung atas reaksi tidak terduga barusan. “Mas nggak boleh gitu,” ucapnya tak suka.

“Mas mencoba melindungi kamu dari dia.”

“Caranya nggak gitu!” bantah Dinara cepat.

“Oh, terus caranya gimana? Mas bahkan rela repot gonta-ganti baju sampai mobil tiap mau berurusan sama dia. Demi jagain kamu.”

“Mas!” pekik Dinara sekali lagi. Entah kenapa hatinya nyeri mendengar Arya bicara begitu, dia melirik Diana beberapa nano detik dan ada luka berdarah-darah di matanya. Pasti kaget mendengar orang yang pernah dia sayangi sampai bicara seburuk ini di tempat umum. “Mas bisa omongin baik-baik, pelan-pelan, jangan gini.”

“Mas takut kamu ketularan, Di. Penyakitnya bisa menular lewat sentuhan, droplets. Dan kamu lagi hamil.”

Dinara langsung menatap perutnya sendiri saat ini, pikirannya kacau sekali. Arya pasti melakukan ini hanya karena dia sedang hamil, hanya karena menitipkan benih di perutnya, bukan karena alasan lain. Dia hanya tidak mau rugi, tidak mau anaknya tertular, dan kenyataan itu sangat menyebalkan.

“Masker kamu mana?” tanya Arya ketus sambil berbalik ke arah Diana.

Demi Tuhan, Dinara ingin menangis saat ini melihat seorang wanita diperlakukan seperti itu di depan matanya sendiri.

“Oke, saya pakai sekarang. Saya jaga jarak.”

“Mas nggak boleh gitu.” Dinara menggeram dengan suara bisikan tertahan. Dia benci karena Arya belum mengerti kenapa situasinya mendadak panas seperti ini padahal mereka sudah dewasa, mereka bisa bersikap tenang dan bicara baik-baik, menghindari kegaduhan. “Mas nggak boleh mengumumkan penyakit orang lain di depan umum kayak gitu. Mas nggak boleh mempermalukan orang kayak gini.”

“Mas mencoba melindungi kamu.” Arya menatapnya tajam. “Dan mas akan lakukan cara apa pun untuk itu.”

Yang Dinara lupakan adalah, Arya itu bebal serta keras kepala. Mungkin memang efek negatif tumbuh di lingkungan terlalu kaya dan terlalu tidak nyata maka karakternya pun sedikit berbeda. Katakanlah Dinara sudah gila karena saat ini secara tidak langsung tengah membela mantan kekasih suaminya, tapi bukan itu, mereka sama-sama perempuan, sama-sama manusia. Dan Arya memang sudah keterlaluan.

“Saya punya penyakit TBC, Nyonya Arya Ranajaya. Sangat bisa dimaklumi kenapa suaminya bersikap seperti ini. Penyakit saya menulari orang dewasa.”

Diana menyela di tengah-tengah mereka, dia sudah mengenakan masker dan saat ini tengah membalur kedua telapak tangannya dengan hand sanitizer. Dia terluka, jelas, Dinara bisa melihatnya, tapi sorot mata Diana begitu kuat dan tabah. Mata yang penuh kasih. Yang membuat Dinara tidak memiliki alasan untuk membencinya, meski saat ini hatinya nyeri sekali.

“Saya Dinara,” ucapnya setelah beberapa saat. “Salam kenal, Mbak Diana.”

“Salam kenal kembali.”

Wanita itu tersenyum di balik masker yang menutup lebih dari sebagian wajahnya saat ini. Sementara Dinara tidak bisa seperti itu, dia sudah lelah berpura-pura, dia lelah menahan semuanya.

“Kalian ketemu lagi?” tanyanya pada sang suami, menjurus ke topik yang lebih serius. “Bukannya udah lebih dari tiga kali, Mas?”

“Urusan di antara kami belum selesai.” Diana menjawabnya. “Oh, maaf saya yang harus jawab karena mas Arya pasti bingung kasih alasan. Tapi tiga kali pertemuan nggak cukup, Dinara. Seenggaknya butuh beberapa minggu, bulan bahkan tahun kalau saya masih bertahan.”

“Anna!” Suara Arya terdengar membentak.

Anna. Jadi begitu dia memanggilnya. Bukan Di, ternyata Di hanya dipakai untuk Dinara seorang. Namun... kenapa dia tetap tidak merasa senang?

“Kalau gitu selesaikan urusan kalian dulu, saya pulang, Mas.”

“Di, tunggu! Jangan ke mana-mana, diam. Mas antar kamu sekarang.”

“Mas selesaikan dulu urusannya baru susul saya.”

“Dinara!”

“Mas, saya ke sini karena kita punya janji, kan? Istri Mas Arya nggak ke mana-mana, dia mau pulang ke rumah.”

Seketika, Dinara dan Arya menoleh pada suara itu, pada sosoknya yang berdiri tak jauh dari mereka, pada sikapnya yang mulai menumbuhkan bibit benci di dada Dinara, dan pada pikirannya sebagai seorang wanita—atau manusia, tapi tidak memiliki respek pada sesama. Apa dia pikir saat ini pertengkaran di antara mereka hanya cekcok biasa ala anak SMA?

“Diam kamu,” desis Arya dengan tatapan keji dan buru-buru meraih tangan Dinara agar tidak pergi. Dan demi apa pun, Dinara benci situasi ini. Dia terlihat lemah, Arya begitu berlebihan padanya, dan dia tidak suka itu.

“Kalian berdua orang-orang sinting.” Dinara mengumpat dengan suara pelan, namun matanya menatap Arya tajam. Tangannya mengepal kuat, Dinara menarik kesadarannya penuh-penuh. Tidak lagi mengubur fakta bahwa dua orang ini sering bertemu di belakangnya.

Apa Arya pikir dia tidak tahu? Apa sekarang Arya akan melancarkan permohonan maaf disertai bujuk, sembah, dan rayu? Atau wanita itu? Dia bahkan tidak terlihat takut sama sekali meski saat ini berhadapan pada situasi yang sulit. Dipergoki istri sah mantan kekasihnya saat berkunjung ke tempat kerja. Diana seolah sudah siap dengan semua ini, dan... merasa bahwa hal itu tidak salah.

“Kita bertiga sinting, Dinara. Kamu jelas tahu itu. Menggantikan saya untuk jadi pengantin mas Arya? Really?”

Kalau Dinara tidak tahu dia sedang sakit, pasti sesuatu sudah melayang ke wajahnya saat ini. Oh, tapi tidak. Dia tidak akan mengotori tangannya dengan cara murahan seperti itu. Cukup melakukannya dalam imajinasi.

“Kenapa saya harus merasa sinting saat ada laki-laki yang sendirian, free, butuh pasangan dan ingin menikah dengan saya dalam waktu dekat?” jawabnya sambil tersenyum miring, tidak merasa terintimidasi sama sekali. “Yang sinting itu, perempuan yang meninggalkan calon suaminya lalu datang lagi—”

“Di—”

“Dan!” Dinara mengangkat sebelah tangannya di udara, meminta semua orang mendengarkan. “Laki-laki yang ingkar janji karena bertemu mantan diam-diam di belakang istri.” Dia berucap sambil menatap Arya lamat-lamat.

“Kamu cemburu.” Diana menurunkan masker di wajahnya, tersenyum mengejek.

“Karena saya yang paling waras di sini.”

Sial. Dinara membenarkan pernyataan itu.

“Selamat, Mas Arya. Istrinya udah jatuh cinta duluan. Kenapa Mas belum juga?”

“Diana!”

Brengsek. Dinara mengumpat dalam hati. Dia melupakan fakta bahwa Diana adalah seorang sarjana psikologi lulusan Universitas Indonesia dan jelas-jelas lebih pintar darinya dalam mempermainkan emosi. Dia terlihat ringkih, tapi jiwanya menguat di sekitar, dan hebatnya dia menempatkan Dinara seolah jadi perebut di sini.

“Ayo pergi dari sini, mas nggak mau kamu kenapa-kenapa.”

Oh, sialan lelaki bajingan!

Dinara menghempas tangannya kuat-kuat. Dia benci diperlakukan seperti orang lemah oleh suaminya saat ini. Harga dirinya terluka habis-habisan, Diana yang penyakitan, dirinya hanya hamil dan Arya terlalu membesar-besarkan.

“Kamu salah kalau mengartikan perjanjian yang dikhianati sebagai ungkapan rasa cemburu,” balasnya tak mau kalah. Belum mau mengalah.

“Padahal barusan kamu ngaku.” Diana tersenyum dengan tangan bersedekap di depan tubuhnya. “Kamu yang paling waras jadi kamu sah-sah aja merasakan itu.”

“Diana, Dinara, stop! Berhenti kalian berdua!”

“Minggir!” Dinara merasakan kekuatannya meluap, dia mendorong Arya dengan sekali tepuk ke sisi tubuh, lalu berjalan mendekat ke arah Diana, menaikkan sebelah sudut bibir. “Dan menyimpulkan kalau saya jatuh cinta duluan sama mantan calon suami kamu?”

“Oh, kamu tersinggung ternyata.” Dia tertawa, tawa yang disengaja. “Padahal saya cuma asal bicara.”

“Kamu melukai harga diri saya,” ucapnya tanpa melirik Arya. Karena dirinya sendiri nyeri mengatakan pernyataan ini.

“Kamu nggak sadar sekarang sedang melukai harga diri suami kamu di hadapan pegawainya?” Diana maju satu langkah, tatapan matanya tadi sudah berubah. “Kamu menyangkal terang-terangan nggak mencintai dia sementara sekarang kamu sedang mengandung anaknya.”

Dinara menatap sekeliling, kepalanya mendadak pusing, perutnya menegang, dan dia melihat wajah Arya sudah sangat merah. Ini langkah yang salah, Dinara mengambil langkah yang salah, tapi dia tidak bisa mundur sekarang.

“Perasaan saya terhadap suami saya adalah konsumsi kami pribadi,” ujarnya tanpa berpikir. “Yang barusan kamu lakukan adalah jenis intimidasi, kamu jelas hanya ingin mempermalukan saya.” Dinara mati-matian menahan getar di suaranya. “Saya nggak mau jahat sebenarnya, anggap perdebatan kita sekarang mempermalukan mas Arya di depan semua anak buahnya. Tapi yang kamu lakukan jauh lebih memalukan lagi. Lupa ya, siapa yang meninggalkan calon suaminya hanya beberapa bulan sebelum pesta pernikahan?”

“Jadi kita sedang beradu siapa yang lebih mempermalukan mas Arya saat ini?”

Ular licik sialan.

No.” Dinara menggeleng. “Saya cuma membela diri, dan mengingatkan seseorang nggak tahu malu di hadapan saya sekarang. Biar dia berkaca.”

“Cinta bertepuk sebelah tangan yang barusan saya bongkar dan tanpa sadar diakui duluan benar-benar melukai harga diri kamu, ya?”

“Maksudnya?” Dinara tersenyum miring. “Mas Arya bertepuk sebelah tangan ke saya?” Dia melirik lelaki itu dan memberinya tatapan meremehkan.

“Saya harap kita bisa nonton rekaman CCTV di sini—sama-sama, lain kali.”

“Kamu denial.” Dinara membuat tawa yang miris. “Kamu jelas tahu apa yang terjadi, ada yang berubah, dan ini buktinya.” Dia mengelus perut, naik dan turun, mengintimidasi perempuan itu.

“Kamu jelas tahu kalau laki-laki bisa melakukannya tanpa perasaan.”

“Wah, rendah sekali ternyata pandangan kamu terhadap mas Arya.” Dinara menertawakan celah yang tercipta dari kalimat Diana. “Untung ya, Mas nggak jadi nikah sama dia.” Dinara menoleh sekilas pada suaminya. “Kamu menyamakan nafsu birahi mantan calon suami kamu setara dengan hewan tanpa pikiran.”

“Cukup. Ayo pergi dari sini.”

Seumur-umur mengenalnya, Dinara belum pernah melihat wajah Arya seperti itu. Dia terlihat kalah, lelah, sakit, dan marah. Namun berusaha menahan semuanya.

“Kamu sebegitu gengsinya ya, mengakui perasaan?” Diana tidak terpengaruh. “Cuma disentil sedikit karena cemburu, topik pembahasan kita jadi melebar ke mana-mana. Saya pikir kamu bisa jadi teman baik, ternyata pertemuan pertama kita malah jadi ajang perdebatan.”

Diana benar. Harga dirinya terluka setelah mengakui hal itu tanpa sadar. Dinara benci merasakannya sendiri sementara Arya bersikap abu-abu, tidak setia, ingkar janji padanya. Dia tidak mau merasakan itu sendirian. Lebih baik menyangkal dan menguburnya dalam-dalam.

“Kalau asumsi kamu terhadap kecemburuan saya diartikan sebagai perasaan cinta, rasanya terlalu dangkal, Diana.” Persetan siapa yang lebih tua di sini. “Kamu sendiri gimana?”

“Oh, saya? Jelas saya kembali karena saya masih cinta sama mas Arya. Saya minta kembali hak-hak saya, menyelesaikan urusan kami yang sempat tertunda.”

“Mempermalukan diri sendiri.”

“Itu lebih baik daripada menyakiti pasangan saya dengan menyangkal dan mengaku nggak mencintai dia terang-terangan.”

Dinara menarik napas dalam-dalam, ini harus segera diakhiri. Ini tidak baik untuk kesehatannya. Bayi di dalam sana mulai menendang-nendang, membuatnya tidak tenang.

“Kalau yang kamu maksud cinta itu dengan pergi meninggalkan dia, membuat dia patah hati sampai bertindak gila dengan menikahi orang yang baru dia kenal, maka kamu salah persepsi. Itu bukan cinta, Diana. Cinta nggak menyakiti. Apa pun alasan kamu, pergi dari dia adalah kesalahan yang sulit buat diampuni. Bertahan dan berjuang di sisi mas Arya adalah satu-satunya cara untuk membuktikan kalau kamu memang mencintai dia. Dan kamu bukan semuanya.”

Diana tersenyum dengan getar di bibirnya, dan Dinara senang, dia merasa menang.

“Saya takjub dengan pengetahuan luas kamu tentang cinta.”

“Terima kasih.” Dinara melangkah hingga jarak mereka hanya beberapa centi, dia tahu kalimat itu hanya sarkasme belaka, dirinya sendiri merasa geli dan gatal-gatal mengupas tuntas apa itu perasaan cinta ala-ala novel romansa. Lalu tangannya bergerak halus menepuk-nepuk punggung kurus wanita itu. Benar kata Pradnya, Diana terlalu tipis. “Kamu perlu belajar lagi soal filosofi cinta buat kita perdebatkan lain kali. Semangat, ya.”

Setelahnya Dinara tidak menoleh ke belakang lagi. Dia memutar tumit dan keluar dari ruangan itu. Meski berhasil membungkam Diana pada akhirnya, dia tetap tidak merasakan kelegaan atau memenangkan sesuatu. Tidak. Dinara justru kehilangan banyak. Harga diri, kepercayaan, kehormatan dan perasaan. Dia terus-terusan mengabaikan panggilan Arya di belakang yang memintanya untuk berjalan lebih pelan demi keselamatan.

Arya salah mengira jika maksudnya menikahi Dinara akan menjadikan dia ratu yang duduk diam di singgasana. Seorang ratu harus bisa bertarung demi melindungi raja dan kerajaannya. Dia tidak lemah, dan tidak akan pernah sudi dianggap begitu. Meski saat ini langkahnya sudah amat goyah.

“Di,” panggil Arya ketika pintu lift terbuka dan Dinara masuk ke dalamnya, sudah ada dua wanita di sana. Mereka melirik, itu lift khusus perempuan. “Ayo kita naik lift yang satunya,” ajak Arya sembari mengulurkan tangan.

“Saya di sini aja, Mas. Selesaikan urusan Mas Arya sama Diana.”

“Dinara—”

“Maaf, Pak. Ibunya nggak mau didekati dulu, dan ini lift khusus wanita. Permisi, ya.”

Salah satu dari dua penumpang lift yang bersama Dinara sekarang menghalangi langkah Arya untuk kemudian menekan tombol dan menutup pintu lift itu segera. Ini tidak benar, tapi Dinara merasa berterima kasih atas bantuannya. Dia menyeret tubuhnya mundur, berdiri canggung di antara dua wanita asing itu tanpa berani mengangkat kepala. Dinara hanya sempat membaca nama di tanda pengenal mereka, Ambarwati dan Anis Indrayani dari Shopedia.

“Mau ke lantai berapa, Bu? Ke ground?”

“Ah, iya.” Dia buru-buru mengangkat kepala. “Makasih banyak atas bantuannya.”

Nevermind, memang cowok pemaksa harus dikasih pelajaran sesekali.”

“Itu pak Arya,” bisik yang satunya sambil melakukan gerakan sikut menyikut.

“Iya, gue tahu itu pak Arya dari DD. Kan kita semua tahu kalau dia sering jalan sama selingkuhan—eh, mantan ceweknya tiap habis jam makan siang. Aib dan gosip kantor sebelah mah gue udah hafal di luar kepala,” ujar Ambar. “Maaf ya, Bu, tapi kebetulan kantor kita tetanggaan dan karyawan DD itu teman-teman saya jadi... gosipnya menyebar dengan cepat.”

“Bu Ambar, udah...” Yang satu lagi bernama Anis, mencoba menghentikan Ambar bicara.

“Ih, Anis apa sih? Gue justru dari dulu malah pengen buntutin pak Arya dan kirimin foto-foto bukti perselingkuhan dia ke istri sahnya.”

“Iya, udah. Kan kayaknya udah tahu, tuh kasihan ibunya. Mana lagi hamil besar.”

Dinara diam saja, merasa malu, terluka, dan nyeri hingga ulu hati mendengar obrolan itu. Dia berdiri menyudut ke ujung lift sambil mendekap perut. Bukan perkataan Anis dan Ambar yang menyakitinya, tapi kenyataan bahwa kelakuan Arya sudah tercium jelas oleh orang lain yang membuatnya merasa terhina.

Dia sakit, dan tidak bisa dijelaskan kenapa. Dinara sudah tahu soal Diana dan Arya, dia bisa mengobati dirinya sendiri, membujuk hatinya untuk tidak terlalu nyeri, tapi bagaimana mengatasi situasi ini? Dia hanya bisa diam, merasa bersalah untuk Arya, merasa sedih karena tidak bisa menutup aib-aib suaminya. Merasa terluka karena Arya dipandang hina.

“Bu, kayaknya pak Arya bakal nunggu di ground juga pakai lift yang satunya. Ibu mau saya kasih trik kabur yang baik dan benar? Kebetulan di sayap kanan ada lift juga, Ibu langsung keluar dari parkiran, bukan di lobi utama.”

“Iya.” Dinara mengangguk cepat. Apa saja lah, asal dia bisa pergi dari tempat ini segera.

🌻🌻🌻

Ini pasti karena dia sedang hamil. Hormon kehamilan yang jahat itu memang nyata adanya, bukan cuma omong kosong belaka. Violeva bilang, saat hamil orang-orang cenderung berubah sesuai bawaan bayi mereka. Dan mungkin itulah yang terjadi pada Dinara saat ini. Pasti bawaan bayi, karena mengandung anak ini, dia jadi orang yang tidak terkendali. Dinara melakukan hal-hal gila demi Arya.

Tangannya gemetar hebat saat menemukan layar laptop yang menyala dan menunjukkan keberadaan suaminya, Arya tidak di sini, tidak menyusulnya. Arya si titik hijau itu masih berdekatan dengan titik birunya, dan Dinara sangat kesal. Dia segera mengeluarkan aplikasi pemantau itu, menghapusnya dari perangkat, peduli setan dengan pekerjaan, Dinara hanya harus membeli laptop baru dan meminta akses masuk lagi dari Hauna. Benda sialan ini tidak akan dibawa, Dinara harus pulang ke rumah ibunya. Dia butuh menenangkan diri.

Pasti karena hormon kehamilan, dirinya jadi semarah ini. Dinara tidak seperti ini, bukan orang yang sekarang kalap memasukkan baju-bajunya ke koper dan menahan sakit di kepala, perut, serta dadanya.

Namun, menghindari orang dan situasi tertentu untuk melindungi kesehatan emosionalnya bukanlah sebuah kelemahan, ini adalah langkah yang bijaksana. Dia harus menjauh dari Arya untuk sementara. Tidak perlu terlibat adu konfrontasi dengannya.

Dinara tertegun ketika menemukan sepasang buku kecil yang menjadi bukti bahwa dia dan Arya terikat sejak berbulan-bulan yang lalu, meraih salah satunya, lalu menarik napas dalam-dalam. Dia harus membawa satu miliknya untuk berjaga-jaga, tidak tahu pasti apa yang akan terjadi nanti, dan berurusan dengan keluarga Arya tidak mudah, Dinara tahu itu. Maka dia akan melakukan langkah antisipasi. Dinara membawa serta buku nikahnya pergi. Jika mereka harus berpisah pada akhirnya, maka tidak akan drama buku nikah yang tertahan di pihak laki-laki.

Mendadak nyeri di perutnya menggila, Dinara merasa mual luar biasa tapi berusaha menahannya. Dia tidak sanggup berjalan ke wastafel di kamar mandi, kakinya nyeri. Dia benci dirinya sendiri dalam versi menyusahkan seperti ini. Dinara tidak lemah, tapi kehamilan ini membuatnya lengah. Kondisi fisiknya tidak sama lagi, dia gampang sekali lelah.

Tidak banyak waktu setelah mengepak barang-barang dalam koper besarnya, Dinara menyapu pandangannya pada tiap sudut kamar itu, tempat yang ditinggalinya dengan Arya akhir-akhir ini. Tempat yang harusnya jadi rumah masa depan untuk Arya dan Diana setelah mereka menikah, Dinara tahu itu. Dia hanya mengabaikannya.

Dia mengabaikan banyak sekali, pertemuan Arya dan Diana tiap Selasa, Jumat dan... beberapa hari lain, usai makan siang hingga sore hari. Dinara menguburnya, pura-pura tidak tahu saja, pura-pura tidak mengawasi, ingkar pada janjinya sendiri untuk menindak Arya yang bohong karena bertemu Diana lebih dari tiga kali.

Dan sampai saat ini Dinara tidak tahu alasannya apa. Kenapa dia harus bertahan untuk kesia-siaan ini? Kenapa dia harus jadi orang yang terus memaklumi?

Pasti mas Arya masih belum selesai.

Pasti banyak yang harus dibahas sama mereka berdua.

Kayaknya Diana sakit, kenapa mereka bolak-balik ke rumah sakit?

Pikiran dan suara-suara itu memenuhi kepala, memintanya untuk mengerti, membujuknya agar tak marah. Meski akal sehatnya juga mengatakan, bahwa tidak normal seorang lelaki beristri melakukan pertemuan rutin dengan mantan kekasihnya diam-diam. Tapi kemudian dia menyangkal lagi. Tidak apa-apa, hubungan Dinara dan Arya berbeda, hal seperti ini harusnya bisa dimaklumi.

Dan Dinara rela bertahan dalam ketidakpastian. Tidak ada apa pun yang dijanjikan, dia hanya bertahan dan kesakitan atas kebodohan yang diciptakannya sendiri. Arya bahkan tidak tahu, tidak peduli. Arya tidak tahu bahwa Dinara mengetahui segalanya diam-diam. Kelapangan dadanya sangat diuji saat ini.

Dinara tidak pernah tahu seberapa kuat dirinya sampai hari ini dia harus memaafkan orang yang tidak kunjung meminta maaf, dan menerima permintaan maaf yang tidak pernah dia terima. Seperti yang sudah dilakukan Diana dan Arya kepadanya.

Kalau saya pergi, nanti mas Arya gimana?

Siapa yang siapin bajunya sebelum berangkat kerja?

Siapa yang siapin obat alerginya waktu dia mau makan udang?

Siapa yang...

Semua alasan itu bertumpuk di kepala, semua alasan itu yang membuatnya tidak meninggalkan Arya. Alasan yang terlalu dibuat-buat, alasan yang sangat kekanakan.

Bersikap seperti istri yang normal, Dinara. Dia sudah jujur, Arya mengaku kalau Dinara datang lagi dan mereka masih ada urusan, tolong sadar diri. Arya sudah tidak berbohong lagi. Kamu harus normal, kamu tidak tahu apa-apa, bersikap seperti istri pada umumnya. Suami kamu baru pulang bekerja, bukan habis menemui mantan pacarnya.

Sugesti itu dia tanamkan berulang-ulang tiap kali menyaksikan penanda Arya mendekati Diana di layar laptopnya. Dia bertahan, pura-pura tidak tahu, karena akan sangat aneh jika Dinara marah-marah tak tentu arah. Dia tidak punya alasan, Arya selalu kembali ke rumah tepat waktu.

Namun hari ini tidak lagi. Semua alasan itu tidak berguna. Tumpukan kalimat bujukan dan motivasi itu runtuh sudah. Dinara menyaksikan suaminya bersama Diana hari ini, mereka akan pergi, akan sangat bodoh jika dia masih mengampuni Arya. Dia sudah tidak memiliki alasan lagi, Dinara boleh sakit hati, dia boleh merasa terkhianati.

Luka ini mungkin bukan sepenuhnya disebabkan oleh kesalahannya sendiri, tapi kesembuhannya adalah tanggung jawab Dinara pribadi. Dia harus pergi. Dia harus meninggalkan hal-hal tidak sehat yang membuatnya terluka dan sakit.

“Di...”

Napas Arya terengah, dia pasti habis berlari, terburu-buru mencapai tempat Dinara saat ini. Aneh, bukankah tadi titik biru dan hijau itu masih berdekatan? Kenapa sekarang Arya ada di sini?

“Kamu mau ke mana?” tanyanya gusar. Tangan Arya buru-buru bergerak menarik koper yang berdiri dekat kaki istrinya. Lalu dia bersimpuh di sana, sementara Dinara duduk dengan tenang di tempat tidur mereka. “Di... Sayang... maaf—”

“Tiga kali, Mas.” Dinara membungkam Arya. “Perjanjiannya, tiga kali pertemuan lagi.”

“Di, itu tadi dia...”

Arya tidak meneruskan, kemampuan berbohongnya buruk sekali, dia sangat terbaca. Lelaki itu menggenggam kedua tangannya dengan kepala tertunduk, sebelah tangan yang lain mengelus perut Dinara yang kebetulan memang nyeri sejak tadi. Tidak apa-apa, Arya boleh melakukannya selagi masih bisa.

Namun Dinara tidak akan menunjukkan perasaan itu, dia tidak sakit, tidak lemah, tidak apa-apa. Arya tidak boleh tahu bahwa dirinya terluka.

“Maaf karena mas ingkar janji.”

“Iya.” Dinara menjawabnya segera. “Saya mau pamit pulang ke rumah mama, mau nginap di sana.”

“Di—” Arya menatapnya putus asa. “Tolong jangan begini.”

Lalu Dinara harus bagaimana? Dia sudah tidak bisa mengumpulkan atau membuat alasan lagi.

“Di, maaf karena mas bohongin kamu dengan bertemu Diana lagi. Ada alasan yang belum bisa mas jelaskan ke kamu dan—”

“Diana hamil anaknya mas Arya?”

“Nggak, Di. Ya ampun! Kenapa kamu mikir begitu?”

Dinara menatapnya datar, lalu apa yang dilakukan Diana dan Arya berkali-kali ke rumah sakit? Apa pengobatan TBC harus sesering itu? Atau... Diana punya sakit yang lebih berat?

“Saya cuma tanya, kalau enggak harusnya Mas Arya biasa aja.”

“Dinara, please...”

“Saya ngerti, Mas.” Dinara balas menggenggam tangan suaminya. “Saya maklum atas apa yang terjadi. Saya tahu Mas Arya punya alasan yang bisa saya terima, tapi....” Dia menatap manik mata putus asa itu dan menarik napas dalam-dalam. “Boleh nggak, saya egois kali ini?”

“Sayang...”

“Kali ini aja, Mas... kasih saya buat egois sedikit.” Dinara berusaha mengulas senyum tipisnya sekuat tenaga, menahan getar di bibir, berupaya keras agar terlihat biasa saja, seperti tidak ada yang salah, bersusah payah menahan sesak yang menghimpit rongga dadanya.

Nyeri. Tiba-tiba nyeri itu menyerang lebih hebat lagi.

Tidak normal memang, langsung pergi dari rumah hanya karena memergoki suaminya satu kali dengan wanita lain. Tapi... Dinara tahu semuanya, dan dia tidak tahan lagi.

“Mas, kayaknya ini cuma karena saya lagi hamil. Hormon dan bawaan bayi yang bikin saya begini. Jangan terlalu dipikirin, ya? Kalau saya lagi biasa-biasa aja, pasti sikap saya bisa lebih waras dari ini. Saya cuma lagi nggak stabil karena hamil.”

Entah sampai kapan Dinara menggunakan alasan itu untuk menutupi lukanya, menutupi perasaannya.

To be Continued.

🌻🌻🌻

Ramaikan vote dan komentarnya biar besok kita up lagi ya 😘

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 116K 33
[Spin-off Adeeva dan Arga] [Bisa dibaca terpisah] Terbangun di kamar asing adalah suatu hal yang sangat mengejutkan bagi Jihan. Terlebih saat Bima Pr...
1.8M 24.3K 7
"Saat hujan adalah kesempatan emas untuk berdoa, bukannya mengkhayal." Ucap Panca Alden Baratayudha saat melihatku terdiam di bawah guyuran hujan yan...
1M 58.2K 51
Diandra Putri, wanita dingin dengan pahatan sempurna di wajahnya. Dia tidak akan segan untuk melayangkan tinjuan pada siapa saja yang mengganggu kete...
414K 4.2K 6
Lacas itu brengsek. Memutuskan Ayla secara sepihak, lalu datang kembali setelah setahun menghilang. Tidak sendiri, tapi bersama pacar barunya. Dan ta...