DINARA [Tersedia Di Gramedia]...

By Vinnara

2.7M 275K 74.6K

šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ» Menyebalkan adalah ketika dia kembali ke tanah air setelah ditipu oleh mantan kekasihnya sendiri. Dina... More

Meet Dinara and Arya
1 šŸŒ»šŸŒ» Lamaran
2 šŸŒ»šŸŒ» Kesepakatan Bersama
3 šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ» Kenangan Masa Lalu
4 šŸŒ»šŸŒ» Penjajakan Kilat
5 šŸŒ»šŸŒ» The Ranajaya
6 šŸŒ»šŸŒ» Profesional Partner
7 šŸŒ»šŸŒ» Dinara - Ranajaya
8 šŸŒ»šŸŒ» Upaya Membujuk
9 šŸŒ»šŸŒ» Lamaran Yang Sesungguhnya
10 šŸŒ»šŸŒ» Hari Yang Ditunggu
11 šŸŒ»šŸŒ» Lelah Dan Menyerah
12 šŸŒ»šŸŒ» Menunjukkan Diri
13 šŸŒ»šŸŒ» Menempuh Hidup Baru
14 šŸŒ»šŸŒ» SQ Analyst
15 šŸŒ»šŸŒ» DD Logistic
16 šŸŒ»šŸŒ» Pekerjaan dan Perasaan
17 šŸŒ»šŸŒ» Menggebu-gebu
18 šŸŒ»šŸŒ» Tak Tertahankan
19 šŸŒ»šŸŒ» Getting Worse
20 šŸŒ»šŸŒ» The Winner
21 šŸŒ»šŸŒ» Pesta Perayaan
22 šŸŒ»šŸŒ» Babymoon
23 šŸŒ»šŸŒ» Hold You in Silence
24 šŸŒ»šŸŒ» Pendekatan dan Huru-hara
25 šŸŒ»šŸŒ» Merakit Amunisi
26 šŸŒ»šŸŒ» Mempersiapkan Diri
27 šŸŒ»šŸŒ» Hidup Yang Bahagia
28 šŸŒ»šŸŒ» Orang dari Masa Lalu
29 šŸŒ»šŸŒ» Mulai Dekat
30 šŸŒ»šŸŒ» Makin Dekat
31 šŸŒ»šŸŒ» Dia Datang Lagi
32 šŸŒ»šŸŒ» Mulai Resah
33 šŸŒ»šŸŒ» Ada Yang Salah
35 šŸŒ»šŸŒ» Menemukan Solusi?
36 šŸŒ»šŸŒ» Penawar Racun
37 šŸŒ»šŸŒ» Meredam-redam
38 šŸŒ»šŸŒ» Double D [Upload Ulang]
39 šŸŒ»šŸŒ» Rumah Yang Sesungguhnya
40 šŸŒ»šŸŒ» Maintenance
41 šŸŒ»šŸŒ» Segera Berakhir
42 šŸŒ»šŸŒ» Tingkeban
43 šŸŒ»šŸŒ» Berlapang Dada
44 šŸŒ»šŸŒ» Dinara dan Diana
45 šŸŒ»šŸŒ» Membuat Pilihan
[SEGERA TERBIT] 46 šŸŒ»šŸŒ» Melawan Logika
47 šŸŒ»šŸŒ» Genting
48 šŸŒ»šŸŒ» Pukulan Telak
49 šŸŒ»šŸŒ» Menyerah dan Kalah
šŸŒ» Kata Pembaca: Happy or Sad Ending?šŸŒ»
šŸŒ» PRE -ORDER DINARA DIBUKA šŸŒ»
GIVEAWAY DINARA

34 šŸŒ»šŸŒ» Merasa Dicurangi

29.5K 3.9K 1.3K
By Vinnara


🌻🌻🌻🌻

Dinara meninggalkan unit apartemennya dengan perasaan tak menentu saat sengaja menguntit Arya dengan penanda yang dia ciptakan sendiri. Arya si titik hijau bergerak mendekati Diana, dan tak butuh waktu lama bagi dua titik itu untuk berdekatan lagi. Seperti kemarin, seperti waktu-waktu yang lalu, dan karena Dinara sedang hamil—pasti karena itu, dia benar-benar kesal.

Mematikan benda penunjang untuk mengawasi sang suami adalah jalan keluar terbaik, tercepat dan teraman saat ini. Dia juga memutuskan untuk berhenti mengawasi Varrel, entah saat ini saja atau untuk seterusnya. Kegiatan itu tidak baik untuk kesehatan mentalnya sebagai wanita hamil. Dinara tidak pernah dihadapkan pada pekerjaan yang membuat hati dan pikirannya repot begini.

Jadi, dia keluar dari tempat tinggalnya dengan Arya menuju kediaman Melia. Ada banyak hal yang harus diurus, bertemu Haikal salah satunya, juga mengkaji ulang pekerjaan baru ini dengan Hauna.

“Mbak nggak makan?”

Dinara menolehkan kepala begitu melihat sang ibu muncul dari luar rumah. Tidak ada siapa-siapa selain Eceu siang ini, Danish entah ke mana, Melia tentu saja mengurus usahanya, tapi berhubung Haikal akan datang ke sini maka mereka memutuskan untuk berkumpul.

“Nggak lapar, Ma.”

Dinara menjawab ibunya pelan, selera makan yang kemarin sudah membaik belakangan jadi kacau lagi. Hanya minuman sereal yang bisa ditelannya pagi ini, sebuah apel untuk mengganjal perut saat makan siang, dan entah apa asupan makan malamnya nanti. Semoga masakan Danish atau kemurahan hati Arya membelikan salmon mentai kegemarannya bisa membujuk selera makan itu kembali.

“Mau mama masakin? Mbak mau apa? Mas Haikal masih di jalan, ya? Masih lama katanya?”

Dinara melirik arloji di pergelangan tangan, niatnya memeriksa waktu terkini, tapi dia malah terkenang suaminya. Arloji ini sepasang dengan milik lelaki itu, dia membelinya lewat Pramudya saat ulang bulan pernikahan mereka yang ketiga.

“Mbak?” tegur Melia, kontak saja Dinara terlonjak. Laju detak jantungnya meningkat.

“Ngabarin berangkat dari satu jam yang lalu.” Alisnya berkerut, Dinara menahan napas ketika merasakan dadanya berdebar tidak normal, kulit perutnya mengencang, menimbulkan sensasi tidak nyaman. Untuk meredakan serangan itu tangannya bergerak mengelus-elus perut, berusaha membujuk dan menenangkan seseorang yang mungkin terganggu di dalam sana.

Melia mendekat dan membuat Dinara sedikit bergeser, ikut meletakkan telapak tangan di perutnya. “Kenapa? Cucunya oma kenapa? Ibunya lagi banyak pikiran, ya?”

“Nggak, Ma.” Dia menyangkal cepat. “Kurang tidur aja semalam.”

“Udah kena serangan insomsia lagi, Mbak?”

Dinara mengangguk. Dia tidak sepenuhnya berbohong, dirinya memang kurang tidur. Berulang kali mencoba resep omelet buatan Danish untuk sarapan pagi suaminya, dan semuanya berakhir di tempat sampah. Bahkan yang sudah terhidang di meja makan, karena Arya pergi begitu saja, melewatkan jam sarapan. Dia bertemu dengan Diana pagi-pagi buta.

“Banyakin tidur siang kalau gitu, mama takutnya tekanan darah Mbak jadi nggak normal karena kurang tidur. Jangan terlalu banyak kerja, coba obrolin lagi beban kerja Mbak sama Hauna.”

Beban kerjanya bahkan tidak seberapa, Dinara justru jenuh dengan pekerjaan barunya. Mengawasi Varrel si pemuda canggung membosankan, ditambah kegilaannya menguntit Diana dan Arya. Hal yang tidak sehat untuk mentalnya, dia harus berhenti melakukan kegiatan itu demi kesehatan calon bayi.

Harusnya Dinara tidak perlu uji nyali. Mestinya dari awal dia tidak perlu tahu soal ini, agar mentalnya sehat, agar tidurnya nyenyak, agar dia bisa makan dengan nikmat. Bukan begini, mengetahui segalanya justru membawa banyak petaka.

Bunyi bel dan langkah Eceu yang tergopoh membuka pintu menginterupsi perhatiannya, Dinara segera berbenah, dia tidak boleh terlihat lemah. Hanya butuh beberapa detik, sosok Haikal muncul di hadapannya. Mereka saling bertatap nanar, sama-sama menahan napas, sampai Haikal memutus kontak lebih dulu dan tertuju pada perutnya yang mulai membesar.

“Maaf mengganggu waktunya.” Haikal membuka obrolan pertama kali setelah mereka berkumpul di ruang tamu. Berkas-berkas yang terdiri dari surat perjanjian serah terima gadai, juga sertifikat kepemilikan tanah dan sawah tergeletak di atas meja yang memisahkan mereka.

“Mama di ruang tengah.” Melia memutuskan untuk meninggalkan Dinara berdua dengan Haikal, pasti belum bisa merasa aman dan nyaman setelah beberapa waktu lalu mereka sempat diterpa masalah.

“Nggak mau panggil Danish dulu, Neng?” Haikal bertanya.

“Buat apa?”

“Kita butuh orang ketiga sebagai saksi sekaligus pelindung kamu.”

Dinara mendengkus kecil. “Mas mau dipukul lagi ya sama dia?”

Haikal terkekeh, tidak menolak tapi tidak menyetujuinya juga. Dengar-dengar dia terluka cukup parah setelah Danish menemukan dan menghajarnya habis-habisan. Namun melihatnya saat ini, Haikal tampak sehat-sehat saja. Dia enak dilihat, seperti dulu saat Dinara baru mengenalnya. Bohong kalau dia mengatakan Haikal bukan salah satu lelaki tampan di muka bumi ini hanya karena sudah menikah dengan Arya. Dinara hanya mengabaikan fakta itu dan tidak terlalu fokus padanya.

“Mas baru ada dana 400 juta, jadi nebus sertifikat yang ini dulu, ya.”

Keduanya memulai diskusi penebusan aset yang digadai keluarga Haikal demi menebus uang tabungan Dinara yang terpakai. “Dua lagi semoga bisa ketebus akhir tahun ini. Atau Neng Dinar mau ambil aja?”

“Buat apa?” Dinara mengerutkan alis. “Sumedang bukan kampung halaman aku.”

Walau tadinya pernah jadi salah satu tempat tujuan mereka berlibur setelah menikah.

“Ini masih di kecamatan terpencil, Neng. Jauh dari kota dan hiruk pikuk keramaian, enak buat healing, siapa tahu Neng butuh tempat buat menenangkan diri.”

“Di kampungnya Mas Haikal?” tembak Dinara cepat dan pria itu tertawa.

Tanah sawah yang digadai keluarga Haikal padanya berlokasi di kampung halaman lelaki itu, daerah Tanjungkerta – Sumedang, dilihat dari peta memang cukup terpencil, mungkin bagus membangun vila di sana, tapi membayangkan berlibur di kampung mantan tunangan tentu lain cerita. Dinara tidak memiliki cita-cita mulia seperti itu.

Mereka menggadai tiga sertifikat tanah dengan nilai aset di atas 1 miliar. Dinara juga menerima pengembalian uang tunai sebelum ini karena uang tabungan yang terpakai oleh Haikal memang cukup besar. Hari ini, lelaki itu berhasil mengembalikan uangnya lagi dengan menebus salah satu sertifikat tanah milik orangtuanya yang tergadai. Masih ada dua yang tersisa, namun nilainya paling besar hanya 600 juta saja.

“Mas dapat uang dari mana?” tanyanya penasaran begitu menerima notifikasi dari transaksi perbankan yang baru mereka lakukan. Haikal membayarnya non tunai di depan muka. “Jangan gali lubang tutup lubang.” Dinara mengingatkan. “Mas boleh tebus ini kapan aja, aku nggak perlu uangnya buru-buru kok.”

“Iya, Mas tahu.” Haikal tersenyum, mengamankan dokumen yang akan dibawanya dan memperbaharui surat perjanjian mereka yang baru. “Mas tahu kamu menikah sama orang kaya sejagat raya.”

“Lebay.” Dinara merasakan sudut bibirnya terangkat naik. “Aku serius, kalau kira-kira Mas Haikal nebus ini hanya karena nggak enak sama aku, dan malah ngambil pinjaman lagi di luar sana, mending nggak usah, Mas. Aku nggak akan jual sawahnya kok.”

Haikal menggeleng lemah. “Ini sawah punya Abah, mas mau kembalikan semua sebelum terlambat, Neng. Abah udah nggak begitu sehat akhir-akhir ini. Tapi kalau Neng Dinar penasaran dari mana mas dapat uangnya, ini bukan dari pinjaman kok.”

“Terus?” Dinara mengerutkan dahi, penasaran, walau tahu harusnya tidak perlu merasa begitu.

“Kan mas investasi di beberapa tempat, rugi cukup besar memang, ditipu juga, tapi ada yang aman, ini salah satunya. Bunga sama modal invest awal mas tarik semua buat nebus salah satu sawahnya abah, semoga sisanya bisa ketebus lagi dalam waktu dekat.”

Dinara mengangguk, mengamininya. Tidak mau tahu lebih banyak, karena rasa simpati itu mulai terpupuk perlahan-lahan. Harusnya, kalau Haikal terbuka soal ini sejak awal, mereka bisa menanggung bebannya bersama. Kalau saja Haikal tidak meninggalkannya, Dinara pasti mau mengerti. Dia sangat bisa mengerti kesulitan orang lain, terutama pasangannya, Dinara mudah memaafkan, gampang memaklumi.

Namun semuanya sudah terjadi, mereka tidak bisa bersama lagi. Singkatnya, mungkin Haikal dan Dinara memang tidak berjodoh.

“Mas kira bakal ditungguin sama Danish selama sesi serah terima ini.”

Dinara menggeleng. “Dia sibuk sekarang, punya kegiatan sendiri dibanding nguntit mantan pacar kakaknya.”

Haikal tertawa, dirinya juga. Keluar dari unit di tengah kota dan berhenti memata-matai suaminya, mengobrol ringan dengan orang lain, menghirup aroma berbeda dengan yang biasa dia temukan sehari-hari, membuat Dinara sedikit lebih santai. Dia senang dengan fakta bahwa jalan terbaik memang berhenti mengikuti suaminya diam-diam. Dinara harus menghentikan kegilaan itu secepatnya.

“Kamu tahu, Neng, kalau Danish ada di sini, dan Danish mau mukulin mas lagi, mas rela dibikin babak belur sama dia.” Dinara hanya mengerutkan alis untuk bertanya kenapa dalam hati. “Kalau itu bisa bikin kamu kembali dan cukup berhenti di rencana kita tanpa harus ketemu sama pak Arya,” ujarnya.

Haikal masih belum sepenuhnya melepaskan diri.

“Sekarang kamu udah mau punya anak.”

Tatapan mereka tertumpu pada gundukan yang mulai menunjukkan diri di tubuhnya, tentu sudah lebih besar dibanding saat mereka bertemu terakhir kali. Haikal menatap nanar, sementara Dinara menyilang tangan di atasnya, takut seseorang di dalam sana ada yang melukai. Bahkan jika waktu bisa diulang, Dinara tidak mau kehilangan kesempatan mengandung anak ini.

“Neng, kalau terjadi apa-apa di depan, kamu tinggal cari mas, kita bisa perbaiki sama-sama.”

Dinara mengibaskan tangan buru-buru, mengubur semua kemungkinan dan harapan itu. Berhubungan baik dengan Haikal, bukan berarti siap mengulang lagi dari awal.

“Kamu masih dendam sama mas?” tanya Haikal dengan mimik kecewa.

“Nggak.” Dinara menggeleng cepat. “Aku nggak dendam, cuma mengingat dan menyimpan fakta.”

Bahwa bukan mustahil, Haikal akan mengulanginya. Mungkin nanti kasusnya bisa berbeda, atau entah lebih besar. Itu karakter, tidak bisa diubah dengan mudah. Menikah hanya mengubah status, bukan karakter orang yang dinikahinya. Dinara tidak siap ditinggal lagi dan melapangkan dada untuk menerimanya kembali. Hatinya pun bisa lelah.

Haikal pergi setelah menyelesaikan urusan mereka dengan cepat, sementara itu Dinara menuju ke dapur di kediaman ibunya, mencari sesuatu yang barangkali bisa menggugah selera makan, tapi justru malah teringat sambal goreng kentang kering yang dikirim oleh mertuanya waktu itu. Dinara tiba-tiba menginginkannya dan itu hanya ada di apartemen Arya. Maka dia memutuskan untuk segera pulang.

“Nggak nunggu diantar Ninish aja, Mbak? Kok cepet banget pulangnya?”

“Iya, Ma.” Dia hanya mengulas senyum tipis, sepele sekali alasan pulang hanya karena ingin makan, jadi lebih baik tidak membeberkan alasannya. “Kan ada kerjaan yang ditinggal.”

“Bukannya tadi bareng aja sama mas Haikal.”

Dinara melebarkan bola mata, berharap ibunya hanya asal bicara tapi ternyata reaksi wanita itu datar-datar saja. Bagaimana bisa Melia membiarkan putrinya yang sudah menikah berdekatan kembali dengan mantan kekasih yang dulu pernah menyakiti?

“Ayo, mama antar kalau gitu.” Melia bersiap-siap, menyampirkan tas di bahu dan melangkah menuju ke garasi rumah.

“Sebentar, Ma.” Dinara kembali duduk merasakan ponselnya dalam mode getar dan menampilkan nama Arya di layar sebagai pemanggil. “Ya, Mas?”

“Di mana? Kok di rumah nggak ada?”

Matanya mengedar tidak nyaman, dan untungnya sang ibu mengerti. Beliau kembali duduk di kursi terdekat, membiarkan Dinara menerima panggilan dengan tenang.

“Lagi... di tempat Mama. Tapi udah mau pulang kok, Mas.”

“Oh, lagi di rumah Mama, ya. Kok nggak bilang sama mas?”

Arya juga tidak bilang kalau dia pergi menemui Diana.

“Buru-buru,” ujarnya singkat. “Ada apa, Mas?”

“Oh, ini mas pulang lebih cepat. Rencananya mau gantiin yang tadi pagi karena berangkat kecepetan, tapi kamunya nggak ada. Mas jemput, ya?”

Dinara menundukkan wajah, entah kenapa ada sesuatu di perutnya yang membuat dia tidak nyaman. Memangnya dia apa? Diana siapa? Kenapa Arya merasa harus adil membagi waktu dengan mereka berdua? Mengganti yang tadi pagi, katanya? Dinara sama sekali tidak merasa rugi meski Arya pergi pagi-pagi sekali dan tidak menyentuh sarapan yang dibuatnya.

“Mau diantar kok sama Mama.”

“Kasihan Mama, udah ya, tunggu di sana, mas jemput sebentar lagi. Jangan ke mana-mana.”

🌻🌻🌻🌻

Tidak semua diam itu emas, dan tidak semua kejujuran akan menghasilkan kebaikan. Dinara paham betul konsep hidup seperti itu. Wara-wiri di dunia ini hampir 30 tahun membuatnya paham kalau mengatakan kejujuran pada Arya memang akan mendatangkan sedikit petaka. Tapi tidak apa-apa, buat apa dia menyembunyikan fakta kalau hari ini bertemu dengan Haikal di rumah ibunya?

“Mas masih toleransi pas kamu nggak izin pergi ke rumah Mama karena mungkin lupa, kamu sibuk, kamu juga nggak suka gangguin mas di jam kerja. Tapi ini... kamu ketemuan sama Haikal, Di? Tanpa sepengetahuan suami kamu. Are you fucking kidding me?”

Dinara mengerutkan alis tidak suka. “Mas Arya kasar sekali,” ucapnya dingin.

“Iya, mas kasar karena marah sama kamu.” Arya mengusap wajahnya gusar, jalan mondar-mandir dengan sikap tidak tenang yang tidak pernah Dinara kenal. “Bisa-bisanya kamu nggak izin soal itu. Kamu ketemu laki-laki lain, Dinara.”

Iya, Dinara tahu. Lalu apa? Bukankah Arya juga bertemu Diana di belakangnya diam-diam? Jadi, mereka impas, kan?

“Saya sama dia ketemu buat urusan utang piutang, dan itu di rumah mama. Jadi—”

“Bukan itu masalahnya.” Arya memotong di tengah-tengah. “Kamu harusnya izin, apa pun itu urusan kamu sama dia. Izin ke saya. Saya suami kamu, Dinara.”

Dinara merasakan dadanya berdenyut mendengar Arya kembali menyebut dirinya sendiri sebagai saya saat bicara dengannya. Ini jelas berbeda, Arya benar-benar serius marah padanya. Dia hanya diam, duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan menyilang di perut, menyaksikan suaminya berdiri menjulang dan marah-marah sejak pertama kali datang. Dinara menahan ringisan, saat merasakan seseorang di dalam perutnya menendang.

“Maaf, Mas.” Dia buka suara, mengalah, memaklum, seperti Dinara yang biasanya. “Nggak akan saya ulang.”

“Nggak akan karena kamu nggak boleh lagi ngurusin soal itu. Serahkan semuanya ke pengacara kita, biar dia selesaikan urusan kalian tanpa harus ketemu lagi sama kamu.”

“Iya.” Dinara mengangguk singkat.

“Apa cuma perasaan saya atau kamu memang benar-benar nggak merasa bersalah walaupun nggak minta izin buat ketemu Haikal hari ini?”

Dinara mengangkat wajah, matanya dan mata Arya bertatap. Kaget mengetahui Arya cukup peka pada reaksinya yang datar-datar saja. Karena... Dinara memang tidak menyesal. Dia sengaja, agar Arya tahu bagaimana di posisinya selama ini. Menemui Diana hingga berkali-kali. Diam-diam, di belakangnya.

“Cuma perasaan Mas Arya aja.” Dinara menunjukkan ekspresi datar, tidak terpengaruh, tidak menunjukkan emosinya sungguh-sungguh.

“Semoga memang cuma perasaan saya,” jawab Arya dan setelahnya menyasar meja di antara mereka untuk meraih kunci mobil kemudian pergi. Dia meninggalkan Dinara sendiri.

Sepeninggal Arya, wanita itu memutuskan untuk menuju dapur dan mengisi perut seperti niatnya semula. Dinara pulang cepat karena lapar, bukan untuk bertengkar. Di meja makan mereka, dua kotak salmon mentai yang kemarin sempat absen dari rumah—Arya bilang kiosnya tutup, teronggok tak menarik minat. Arya serius ingin mengganti apa yang hilang dan kurang di antara mereka berdua. Setidaknya, Dinara harus menghargai usahanya itu, bukan?

Pramudya :

Lain kali mbok ya kalau ngidam yang elit sedikit kenapa sih, Mbak?

Ngidam apa contohnya?

Pramudya :

Minta beli apa gitu, pesawat terbang atau jalan-jalan ke bulan sekalian. Ini malah sambel goreng kentang hajatan pake dangdutan.

Dinara menyunggingkan senyum ketika membuka kotak lauk yang dikirim dari Surabaya untuknya tempo hari dan berkesinambungan dengan percakapannya bersama sang adik ipar. Dia memanaskan lauk tersebut di microwave sebelum dinikmati, menyicil suapan salmon mentai untuk mengisi perut yang sudah keroncongan sejak tadi. Memikirkan apa yang baru saja terjadi hari ini.

Arya seperti laki-laki pada umumnya. Yang berbalik posesif saat dirinya sendiri melakukan sesuatu yang tidak benar. Katanya, pasangan yang berselingkuh justru akan lebih galak dari yang diselingkuhi, mungkin ini salah satu contohnya—secara garis besar. Dinara jelas punya maksud yang transparan bertemu dengan Haikal, lalu Arya dan Diana?

Meski hubungan mereka memang belum selesai, tapi Arya setidaknya cerita. Dinara butuh kejujuran, setia itu belakangan. Lagi pula dia sudah siap dengan segala kemungkinan. Pasangan yang saling mencintai saja bisa bercerai, apalagi mereka, bukan?

Dinara makan dengan lahap sore itu, dia juga tidak tahu kenapa. Salmon mentai dan nasi dengan sambal goreng kentang plus daging kiriman dari Surabaya terasa lebih nikmat di lidahnya, mungkin karena dia lega, atau Dinara malah sudah mengikhlaskan dirinya lebih awal. Dia juga tidak tahu.

Namun tepat setelah kebahagiaan kecil itu selesai didapatkannya, Arya kembali. Wajahnya berantakan dengan bau yang membuat Dinara sangat mual, dia terbatuk dan berusaha menahan napas saat Arya mendekat, tidak menutup hidung karena takut Arya tersinggung.

“Saya nggak tidur di rumah malam ini, hati-hati di rumah, kunci pintunya.”

Tepat ketika Arya menghilang ditelan daun pintu unit mereka, Dinara berlari ke wastafel terdekat dan memuntahkan semua yang sudah ditelannya. Dia stres berat.

To be Continued

🌻🌻🌻

Continue Reading

You'll Also Like

4.4M 298K 33
TERBIT & TERSEDIA DI TOKO BUKU | Dunia Natasha berguncang. Natasha tidak pernah mengira bahwa permainan UNO bisa mendatangkan musibah untuknya. Perma...
8.8M 94.2K 12
Aksa dan Fau merahasiakan "status" pernikahan, sehingga tidak ada yang tahu bahwa mereka adalah pasangan suami istri di usia muda. Tapi ternyata, tid...
5.6M 199K 36
Follow instagramku: @falamalina untuk informasi buku-buku yang diterbitkan . Terima kasih. **** Aku nggak pernah sekalipun bermimpi atau berha...
94.6K 26.5K 51
Dia tampan, tapi kalau tiba-tiba minta ongkos angkotnya ditalangin? Bahkan pertemuan pertama Andrian sudah membuat Rain illfeel. Gak lama sih, habis...