DINARA [Tersedia Di Gramedia]...

Por Vinnara

2.7M 275K 74.6K

🌻🌻🌻 Menyebalkan adalah ketika dia kembali ke tanah air setelah ditipu oleh mantan kekasihnya sendiri. Dina... MÑs

Meet Dinara and Arya
1 🌻🌻 Lamaran
2 🌻🌻 Kesepakatan Bersama
3 🌻🌻🌻 Kenangan Masa Lalu
4 🌻🌻 Penjajakan Kilat
5 🌻🌻 The Ranajaya
6 🌻🌻 Profesional Partner
7 🌻🌻 Dinara - Ranajaya
8 🌻🌻 Upaya Membujuk
9 🌻🌻 Lamaran Yang Sesungguhnya
10 🌻🌻 Hari Yang Ditunggu
11 🌻🌻 Lelah Dan Menyerah
12 🌻🌻 Menunjukkan Diri
13 🌻🌻 Menempuh Hidup Baru
14 🌻🌻 SQ Analyst
15 🌻🌻 DD Logistic
16 🌻🌻 Pekerjaan dan Perasaan
18 🌻🌻 Tak Tertahankan
19 🌻🌻 Getting Worse
20 🌻🌻 The Winner
21 🌻🌻 Pesta Perayaan
22 🌻🌻 Babymoon
23 🌻🌻 Hold You in Silence
24 🌻🌻 Pendekatan dan Huru-hara
25 🌻🌻 Merakit Amunisi
26 🌻🌻 Mempersiapkan Diri
27 🌻🌻 Hidup Yang Bahagia
28 🌻🌻 Orang dari Masa Lalu
29 🌻🌻 Mulai Dekat
30 🌻🌻 Makin Dekat
31 🌻🌻 Dia Datang Lagi
32 🌻🌻 Mulai Resah
33 🌻🌻 Ada Yang Salah
34 🌻🌻 Merasa Dicurangi
35 🌻🌻 Menemukan Solusi?
36 🌻🌻 Penawar Racun
37 🌻🌻 Meredam-redam
38 🌻🌻 Double D [Upload Ulang]
39 🌻🌻 Rumah Yang Sesungguhnya
40 🌻🌻 Maintenance
41 🌻🌻 Segera Berakhir
42 🌻🌻 Tingkeban
43 🌻🌻 Berlapang Dada
44 🌻🌻 Dinara dan Diana
45 🌻🌻 Membuat Pilihan
[SEGERA TERBIT] 46 🌻🌻 Melawan Logika
47 🌻🌻 Genting
48 🌻🌻 Pukulan Telak
49 🌻🌻 Menyerah dan Kalah
🌻 Kata Pembaca: Happy or Sad Ending?🌻
🌻 PRE -ORDER DINARA DIBUKA 🌻
GIVEAWAY DINARA

17 🌻🌻 Menggebu-gebu

52.8K 5.1K 1.6K
Por Vinnara

Hai, bab kemarin kalian keren! Meski kolom komen lebih sedikit dari bab sebelumnya, mungkin karena isinya kurang seru, ya? Hehe

Aku harap, bab ini ramai lagi 😘

Jangan malas isi komen di line/paragraf ya gengs. Gratis, kan? 😗

Kalau stabil terus, janji deh maraton lagi. Mau ya?

Hm, ini ada 17+ juga. Hati-hati buat anak remaja, tapi dikit aja kok hahaha

Jangan lupa vote!

Selamat membaca 😘

🌻🌻🌻🌻

PRANG!

“Sori.”

Arya mengangkat kepala setelah mendengar kegaduhan di luar ruangannya. Sesuatu yang pecah sepertinya menjadi penyebab bunyi nyaring barusan, dia memiringkan kepala, memperhatikan dari dalam, apa gerangan yang terjadi pada rekan-rekan timnya?

“Heh!” Kegaduhan selanjutnya pun tak terelakkan lagi. “Otak lo kejepit di ketek, ya?! Lo nyadar nggak sih? Lo barusan mecahin mangkok baso aci gue, Edwas!”

Tika berteriak lantang dengan mata melotot pada manajer umum di kantor mereka. Kedua tangannya terletak di pinggang, sementara pemuda oriental bermata sedikit di hadapannya hanya berdiri dengan gaya malas-malasan.

“Sadar kok, makanya barusan gue minta maaf.”

“Minta maaf nggak kayak begitu, pantat panci!” Tika meradang, dia adalah gadis asal Medan yang berwatak keras dan pandai berbincang. Dibanding Edwas si pelit bicara, sudah jelas perdebatan ini timpang. “Gila ya, dulu gue sempat naksir lelembut kayak gini. Amit-amit tujuh turunan delapan tanjakan sembilan belokan sepuluh tikungan. Najis!”

Sementara teman-temannya yang lain menyengir dan mengulum tawa atas umpatan Tika barusan, Edwas justru hanya menggeleng pelan dan berjalan memutar untuk mengambil sapu pel dan membersihkan tumpahan kuah baso aci yang dibawa Icha dari kampungnya di Tasikmalaya, tapi dia bilang baso aci itu dari Garut—kontradiksi memang. Icha memberikan beberapa bungkus untuk Arya, katanya titip juga untuk Dinara.

“Yang bener bersihinnya!” omel Dian pada Edwas, pemuda itu hanya menggosok-gosok kain pel tanpa terlihat benar-benar ingin membereskan kekacauan.

“Itu belingnya dipungut dulu dong, bambang! Emut pake mulut biar kayak kuda lumping lo!” Henny juga ikut menimbrung dan menambah-nambahi omelan yang Edwas terima.

“Tahu nih manusia sebiji, kalau bukan orang kepercayaan pak Arya udah gue tempeleng kepala otak kau!” Bahasa Medan ala Tika keluar, dan itu artinya dia benar-benar sedang marah.

Arya mengusap wajahnya lelah, teman-temannya di kantor ini sangat berisik, berbeda dengan dulu ketika dia bekerja di hotel keluarga. Kadang mereka menghiburnya, tapi kadang membuat tenaga Arya terkuras juga. Menghadapi para wanita dengan mulut mereka yang mengoceh tak ada habisnya, membuat Arya malas bicara begitu pulang ke rumah. Untung saja orang yang dia nikahi adalah Dinara, wanita paling tidak rewel yang pernah Arya kenal.

Dinara selalu pengertian, selalu sabar menghadapi sikapnya yang belakangan angin-anginan. Mereka sepakat untuk berhubungan intim sesuai jadwal demi kebaikan bersama, tapi kadang Arya malas melakukannya, terutama jika di kantor dia menghadapi berbagai protes dan perselisihan. Mood-nya menguar entah ke mana.

“Sayang banget, baru gue makan sesuap, Lita sesuap, terus ditumpahin sama si ibab.” Tika masih mengomel karena baso acinya yang terbuang sia-sia.

“Udah, nanti besok gue bawain lagi. Lagian itu baso acinya Lita kan, Tik? Lo banget yang emosi nih.” Icha—si penemu baso aci menanggapi.

“Lita terlalu sabar jadi manusia,” gerutu Tika sembari melirik ke arah rekannya dengan lap di tangan kanan. “Mana bisa dia ngumpatin orang.”

“Bisa kok, Kak Tika.” Lita bersuara. “Sebenernya kesel sama kelakuan pak Edwas yang semena-mena, kadang pengen racunin kopinya pake sianida. Tapi gue sadar kalau manusia nggak boleh jahat sama hewan.”

Arya yang di dalam ruangannya saja tertawa mendengar ucapan Lita barusan, apalagi warga yang ada di luar sana. Tim DD logistik agaknya punya unsur komedi yang berlebih, mereka sering memberikan pertunjukan dadakan seperti barusan. Lumayan sekali untuk hiburan.

“Yang bisa gue baca dari sini, Tika masih ada dendam terpendam sama Edwas. Semacam perasaan tak tersampaikan barusan.” Dian membuka topik pembicaraan baru, dia menggeser kursinya sambil mengelus-elus dagu, duduk memepet Icha, berharap sebagai sesama pegawai senior bisa saling bekerja sama dalam mengupas tuntas masalah Tika.

“Eh, nggak gitu, ya.”

Icha mengangguk-angguk dengan tangan di dagu—seperti Dian, seolah bertindak bagai pengalisis profesional. “Tapi setahu gue Tika punya pacar deh, Mbak.”

“Iya gitu?” Dian tidak terima karena jadi satu-satunya orang yang tidak tahu.

“Henny juga punya,” celetuk Tika, tak mau jadi satu-satunya orang yang hubungannya terekspos. “Mbak Luluk juga punya, cuma Lita yang jomblo.”

“Bisa ya kalian belagak nggak punya pasangan dan sering ngecengin cowok-cowok di kantor?” tanya Dian masih tak terima. “Kasihan tuh si Lita, sisain kek buat dia. Demen banget keroyokan sana-sini ngerebutin cowok. Setia lo pada!”

“Halah, percuma setia.” Henny mengibaskan tangan dan bersandar di kubikelnya. “Capek-capek jaga hati ujungnya disia-siain, tau gitu mending jaga lilin, jelas gue dapat duit.”

“Curhat, Mah?”

“Iya, Markonah.”

Henny dan Tika saling bersahutan dalam sindiran sarkas masing-masing, ciri khas mereka berdua.

“Pernah sayang sama orang sampai goblok, orangnya ilang gobloknya enggak.” Lita juga ikut bersuara.

“Bener, masih nempel gobloknya sampai sekarang.”

Lita menggelengkan kepala atas hinaan dari Tika, rekan satu timnya. “Astagfirullah, Ukhti. Lambemu indah sekali.”

“Lita kayaknya pengalaman kecewa berat sama seseorang sampai susah banget membuka hati, iya nggak sih?”

“Iya, Teh.” Lita membenarkan pertanyaan Icha.

“Hm, pantesan...” Dian terlihat simpati pada gadis muda di seberangnya, jika diibaratkan grup idola Korea, maka Lita adalah maknae mereka. “Perempuan kalau udah pernah dikecewain hatinya kayak ruang rapat, yang tidak berkepentingan dilarang masuk.”

“Nggak boleh ada yang masuk tapi kalau ganteng nggak papa.” Restu menyeletuk. Tiba-tiba dia muncul tanpa permisi dan membawa tentengan yang berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya, tampak seperti membeli sesuatu untuk para rekan kerja.

“Kan, salah lagi.” Luluk terlihat emosi, minuman yang ada padanya saat ini bukanlah yang dia kehendaki. Restu selalu sengaja melupakannya. “Gue nggak suka es americano!”

“Ya udah, sini.” Pemuda itu memintanya kembali.

“Lagian udah di-chat juga, Res. Banyak yang ganti pesanan tapi lo males banget tibang begitu doang.” Icha menggerutu, sepertinya minuman yang dia pesan juga tidak sesuai ekspektasinya.

“Sini-sini,” panggil Dian sambil melambaikan tangan pada Restu. “Lo kalau dichat nggak pernah bales itu kenapa? Udah ngerasa hebat?” Dian adalah kepala tim IT, sudah jelas Restu ada satu tingkat di bawah wewenangnya.

“Gue mah orangnya sabar, diapa-apain juga nggak pernah ngebales.”

“Ya, konsepnya nggak gitu, bambang!” Henny dan Tika kompak menepuk jidat.

“Keasikan jomblo tuh, nggak biasa dapet chat,” sindir Lita.

“Lha, yang ngomong bukan emangnya?”

Lita sebagai yang paling muda hanya tersipu-sipu, tidak kelihatan ingin membalas lagi perkataan seniornya.

“Mestinya pacaran aja sih berdua, mumpung sama-sama jomblo.” Henny menyarankan ide yang cukup brilian. Namun Restu keburu mengibaskan tangan.

“Eh, siapa juga yang mau sama lo ya, Mas! Sori ih, kayak nggak ada pejantan lain lagi di dunia ini. Hoream aing, ih amit-amit anjay wanjay gurinjay!” Lita bergidik dengan menaik turunkan bahunya bolak-balik dan menatap Restu iritasi. Pemuda itu sudah melukai harga dirinya dengan menolak ide Henny tadi.

“Pada sok jual mahal amat. Jodoh tuh cerminan diri, gaes. Kalau lo jomblo dia juga jomblo, kalian jodoh, selesai.”

No, Mbak Dian. Nggak gitu cara kerjanya.” Lita masih tak terima. “Kalau sesimpel jomblo sama jomblo jodoh berarti gue sama Jungkook BTS juga jodoh dong? Kan dia jomblo.”

“Kata siapa dia jomblo?” Icha menyerobot dengan tatapan tidak senang pada juniornya. “Jungkook itu cowoknya Lisa! Titik nggak pake koma!”

“Nah, iya.” Henny juga menyetujuinya. “Lo kalau mau sama Jungkook, langkahi dulu mayat Lisa. Abis itu baru saingan sama gue,” cengirnya sambil menepuk dada.

“Udah deh semuanya, cakepan juga V BTS. Berisik amat gosipin si Jungkook sama Lisa.” Dian menyela mereka semua dan para perempuan itu kompak terdiam.

“Sebenernya ini dua ibu-ibu berkepala tiga belum pada kawin kenapa sih, hah?” Restu menyalip obrolan dengan menunjuk Icha dan Dian bergantian. “Mau cari suami yang kayak gimana emangnya?”

“Yang ada badaknya.”

“Eh, buset! Dikira larutan penyegar.”

Semua orang di ruangan itu terpingkal-pingkal.

“FYI, ya Restu. Tipe ideal gue bukan urusan lo karena lo nggak mendekati sama sekali dan gue belum kepala tiga! Umur gue masih 27!” seru Icha tak terima setelah mereka selesai tertawa. Sedangkan Dian tanpa suara sudah memelintir kulit perut Restu dan menjitak-jitak pelipisnya dalam upaya menyerukan protes serupa.

“Gila, barbar banget.” Restu mengeluh dan meringis kesakitan setelah mendapat serangan. “Lagi PMS lo pada, ya? Heran deh, ganas amat sama cogan.”

“Cogan palalu! Najisin amat sih.” Henny mengumpat tak terima.

“Eh, omong-omong soal PMS, gue kok belum dapet, ya? Njir lah khawatir gini.” Icha menggaruk-garuk pelipisnya. Dan kalau diperhatikan, kalimat itu agak kontra dengan statusnya yang masih lajang.

“Gue ingetin pas kapan hari lo baru balik dari Tasik, kan? Jangan-telat-ngangkat.”

“Oke, makasih Mbak Dian dan sarannya yang nggak melegakan sama sekali.”

“Eh, menurut kalian wajar nggak sih umur 25 belum ngerasain PMS sama sekali? Gue takut kenapa-napa.”

Tika langsung terinterupsi pada ucapan rekannya barusan, dia berdiri dari posisinya dan menatap Restu datar. “Gue tampar ya rahim lo ntar.”

Pada akhirnya, Arya mulai jenuh mendengar obrolan mereka semua. Dia keluar dari ruangannya dan geng DD logistik di sana langsung membentuk barisan ala pasukan pelaksana upacara. Mata mereka menatapnya penuh harap, dan saat Arya menyunggingkan senyum, orang-orang itu serempak menahan napas.

“Kita lolos dan naik ke tahap dua.”

Alhamdulillah!” seru mereka serempak dengan rona bahagia di wajah yang tidak mampu ditutup-tutupi oleh semuanya.

“Beneran, Pak?” tanya Icha setelah maju beberapa langkah ke arahnya.

Arya mengangguk. “Benar, dan persentase kualitas kita naik terus. Masih saya pantau sampai sekarang, tapi kita ada di posisi kedua.”

“Ya, ampun! Saya nggak percaya, Pak.” Dian ikut maju bersama Icha. “DD logistik sebentar lagi benar-benar mau nganterin berlian, bukan cuma kehaluan.”

Arya tersenyum, harusnya ia mengabarkan ini lebih cepat. Senang rasanya melihat binar bahagia di wajah para pegawainya. “Iya, jadi kalian siap-siap, ya. Kembali bekerja.”

“Siap, Pak!” jawab mereka serempak, meski setelahnya sama-sama kebingungan karena tidak ada hal yang benar-benar bisa dikerjakan.

🌻🌻🌻🌻

Sore ini Dinara sudah siap. Maksudnya, dia membatasi jam kerjanya sendiri sebanyak 7 hingga 8 jam sehari, lalu menutup ruang kerjanya dan segera menyiapkan makan malam. Meski semua makanan itu dikirim oleh katering harian mereka, tapi Dinara perlu memasak nasi dan menyiapkan semuanya di atas meja setelah dipanaskan beberapa detik dalam microwave.

Sekarang semuanya sudah siap. Makanan di meja terhidang, dia hanya tinggal menunggu Arya datang. Kali ini ada ayam goreng bawang putih, tumis tauge dengan tofu, sup buntut sapi, rolade ayam, salad dan... kerupuk. Dinara menyengir aneh melihat tumpukan makanan kering rasa udang berwarna peach di dalam toples kaca itu. Entah atas inisiatif apa Maymunah—pemilik katering langganan mereka membawanya. Dan itu tidak mungkin dibuang meskipun seseorang di sini ketakutan pada bunyi kerupuk yang dikunyah.

Dia memeriksa penampilan, rambut sudah dicuci dan pastinya wangi, riasan tipis, lotion di sekujur badan hingga parfum di pergelangan juga sudah disemprotkan, Dinara siap menanti Arya pulang. Namun jangan tanyakan kenapa dia melakukan ini semua. Tentu saja Dinara tidak tahu apa alasannya, mungkin hanya tindakan sebagai wujud terima kasih karena Arya memberinya tempat tinggal, menjadi teman serumah yang menyenangkan, dan... mereka harus menjaga hubungan baik, bukan?

Atau seperti yang Arya bilang di hari pernikahan mereka, Dinara menikah dengan orang yang... bersamanya dia ingin jadi lebih baik. Dan itu semua dilakukan tanpa sadar. Wanita itu tersentak, kala mendengar dering ponsel mengalun nyaring di atas meja, terlebih melihat siapa nama pemanggilnya.

“Selamat sore, Bu.” Dinara memberi sapaan pertama. Mysha Hauna Mahera, direktur utama di perusahaan tempatnya bekerja menghubunginya.

“Hai, Dinar. Kamu udah masak untuk suami kamu sore ini?”

Matanya otomatis berpendar menatap sekitar. Bisa saja Hauna iseng mengirim kamera drone ke sini atau malah menguntitnya dengan kamera tersembunyi, karena dia adalah wanita yang aneh dan agak menyeramkan, Dinara harus berhati-hati.

“Saya pesan katering,” jawabnya dingin.

“Kamu harus hubungi ibu kamu, beberapa kali curhat di grup. Frustrasi karena anak gadisnya setelah menikah nggak pernah pulang atau sekadar kasih kabar. Mbak Mel malah sirik sama saya karena sempat ketemu kamu waktu itu.”

Dinara memutar matanya malas. Untuk apa ibunya memberi titah pada Hauna jika hanya ingin bertemu saja? Mereka memiliki nomor ponsel masing-masing.

“Saya tutup dulu kalau gitu.”

“Eh... belum!” Hauna mencegahnya buru-buru.

“Saya kan harus telepon mama, seperti yang Ibu suruh.”

“Iya, tapi nanti setelah saya.” Hauna di seberang sana berdecak sebal. “Ini soal tender proses, Dinar. Itu... Ranajaya—”

“Suami saya.”

“Nah!” sahutnya cepat. Mereka memang nyambung saat mengobrol, tidak perlu panjang lebar dan bertele untuk memahami ucapan masing-masing. “Kamu tahu kalau ini nggak sah. Ranajaya itu suami kamu, dan nggak boleh terlibat hubungan kerja. Ini soal pekerjaan dan perusahaan, bukan perasaan.”

Dinara sudah mengira, Hauna mungkin akan mempermasalahkan ini dan berpikir bahwa dirinya melakukan nepotisme. Padahal Arya bahkan tidak tahu kalau Dinara bekerja untuk Diamanta Mahera. “Alihkan ke kuisioner lain kalau begitu, saya lampirkan hasil hitungan dan evaluasi saya. Silakan diperiksa, skornya tinggal dikalkulasi dengan evaluasi dari aundiens.”

“Kamu nggak merekayasa itu?”

“Apa saya kelihatan setidak profesional itu, Bu?”

“Nggak sih.”

Dinara bisa mendengar jika Hauna membuang napas pelan di ujung sana. Lagi pula, memangnya siapa yang mengirimkan berkas tender DD logistik untuk diproses olehnya? Apa bahkan Dinara bisa memilih? Arya memang suaminya, tapi keputusan pemenang tender sama sekali tidak melibatkan hubungan mereka, Dinara benar-benar menggali peluang dari para penawar dengan benar.

“Coba jelaskan kenapa Ranajaya pantas? Dia sama sekali belum berpengalaman.”

Dinara berjalan menuju sofa, duduk dengan punggung bersandar di sana, memikirkan jawaban paling tepat untuk Hauna. “Semuanya ada di laporan hasil evaluasi saya, Bu Hauna.”

“Secara fundamental, Dinara. Coba jelaskan ke saya.”

Wanita itu membuang napas pelan. “Ranajaya itu konglomerat di Indonesia.”

“Saya juga.”

Duh, bisa diam dulu tidak?

“Meski anaknya keluar dari zona aman dan mencoba peruntungan di bisnis ini, mereka nggak main-main, Bu. Ranajaya berinvestasi untuk pengadaan angkutan yang kita minta, mereka pasti sungguh-sungguh bekerja sama dengan Diamanta.”

“Ranajaya itu sukses berbisnis hotel, melakukan pelayanan tempat tinggal, bukan bisnis pengiriman barang.”

“Mereka mencobanya sekarang,” sahut Dinara langsung. Terkesan sangat membela memang, tapi biar saja. Hauna harus tahu kalau perhitungannya tidak salah. “DD logistik akan berbeda dengan Kamandayu Empire yang jelas-jelas sudah berbisnis di moda transportasi sejak lama. DD logistik memfokuskan bisnis dan kinerja mereka di pengiriman, yang artinya Diamanta Mahera punya satu perusahaan khusus untuk menjadi partner distributor di masa depan, sedangkan Kamandayu, bisnis transpostasi mereka lebih ditekankan untuk perjalanan bisnis dan hiburan. Pengajuan kerja sama mereka pada kita hanya selingan. Ibu tahu produk merek Tupperware, kan?”

“Plastik mahal bergaransi itu?”

“Iya,” jawab Dinara pelan.

“Saya tahu,” ujarnya. “Sebagus apa sih? Semahal apa pun tetap aja plastik. Tapi orang-orang merasa punya harta karun kalau ada satu lemari penuh Tupperware di rumahnya. Mereka nggak tahu ada piring dan mangkuk berhias berlian di rumah saya.”

Iya, Ibu Hauna. Tapi bukan itu konteksnya sekarang.

“Produk Tupperware sudah punya lisensi khusus, kepercayaan penuh dari pembeli, dan brand image yang mumpuni. Produk andalan mereka kebanyakan peralatan makan dan kontainer penyimpanan. Tapi saya lihat, baru-baru ini mereka juga mengeluarkan produk berupa dot bayi.”

“What?!” Hauna terdengar kaget. “Kenapa melenceng jauh begitu? Bukannya pembuatan dot bayi harus disokong oleh kemampuan mereka merancang silikon yang baik? Yang anti kolik, anti tersedak? Mereka cuma tahu bikin botol plastiknya saja, tapi dot bayi lain cerita.”

Dinara tersenyum penuh kemenangan. “Itu maksud saya. Kamandayu seperti Tupperware yang coba-coba membuat dot untuk bayi hanya karena brand mereka sudah kadung terkenal. Sementara DD logistik, ibaratkan dengan Huki, Tomee Tipee, Comotomo, Philips Avent yang kinerjanya memang terfokus untuk menyuguhkan berbagai dot bayi. Mereka punya pakar dan penelitian panjang sebelum meluncurkan produk-produknya. Jelas Tupperware bagus, tapi spesialisasinya bukan itu.”

“Oke, saya paham sampai sini.” Untung saja Hauna bukan wanita setengah baya yang pikun dan telmi. “Tapi kamu kasih skor tinggi buat Kamandayu, Dinar. Saya jadi pusing.”

“Ya, memang nilai mereka tinggi, keuntungan bekerja sama dengan mereka sangat baik, Bu Hauna.”

“Kamu pasti punya rencana.”

“Ada.” Dinara membenarkannya. “Saya mau dua pemenang untuk tender ini, Kamandayu di peringkat pertama, DD logistik di peringkat kedua. Jadi sebagian berlian kita dikirim Kamandayu dengan kapal pesiar atau jumbo jet mereka, sebagian lagi diurus oleh DD logistik.”

“Wah...” Suara decak dan ekspresi terperangah Hauna bisa terbayang di kepala Dinara sekarang. Hanya saja Dinara tidak bisa menebak apakah imbasnya baik atau tidak. “Saya paham. Kamu mau DD logistik masuk ke Diamanta tapi untuk sementara dibantu oleh Kamandayu karena ini tender pertama untuk mereka dari saya. Dan... pada akhirnya, perusahaan yang lebih fokus ke kinerja bisa menggeser salah satunya untuk mundur. Benar tebakan saya?”

“Benar, Bu Hauna.” Dinara melirik daun pintu yang mulai bergerak tanda Arya sudah ada di depan unit mereka. “Ibu hubungi saya lagi nanti, tolong di jam kerja. Selamat sore.”

“Eh, Dinar... kamu kan nggak ada jam ker—”

Dinara cepat-cepat memutus panggilan dan memasang senyum terprogram di wajah begitu daun pintu terbuka dan menampakkan sosok Arya di belakangnya. Mereka saling melempar senyum, Dinara menyusul sang suami ke depan pintu dan menyalaminya seperti istri-istri kebanyakan, sedangkan Arya langsung memberi pelukan, mendaratkan ciuman di wajah, rambut lalu turun ke tengkuk menuju dadanya.

“Hari ini kita nggak ada jadwal, Mas.”

“Arghh...” Arya segera menarik mundur tubuhnya dan mendarat di sofa, Dinara menyusul duduk di sebelahnya. “Kamu wangi banget, cantik lagi, mas pulang kerja disodorin yang begini kan jadi horny.”

“Mas!” Dinara melotot, kemesuman suaminya sudah tidak terkendali. Padahal Dinara memakai baju terusan yang sopan dari Gucci, sama sekali tidak mengundang syahwat, mungkin karena bahannya tipis dan agak menerawang saja. “Mas mau makan sekarang? Mau saya bantu ambilin?”

Arya mengangkat kepala dan menatap Dinara dengan alis agak berkerut.

“Kenapa, Mas?”

“Mas nggak salah dengar tadi? Kamu teleponan sama bu Hauna?”

Dinara menelan ludah. Mana mungkin Arya mendengarnya, itu mustahil, tapi kalau sudah begini, apa dia jujur saja? Atau bohong saja dan katakan pada Arya bahwa dia salah dengar?

“Iya,” jawab Dinara pada akhirnya. “Mama curhat, katanya sedih karena saya belum berkunjung ke rumah sejak menikah. Bu Hauna habis ngomelin saya barusan.”

Arya langsung menarik tubuhnya bangun dan duduk menyerong ke dekat sang istri. “Bu Hauna suka ngobrolin hal kayak gitu juga?” tanya Arya dengan ekspresi tak percaya. Pasti baginya Hauna adalah tipe orang yang sangat jauh dari mereka dan susah diajak berkomunikasi.

Dinara hanya mengangguk sebagai jawaban. “Bu Hauna kan teman gosip mama, jadi ya... obrolan kami seputar itu aja.”

“Mas nggak nyangka beliau punya waktu buat gosip sementara untuk bisa ketemu harus menunggu jadwalnya kosong sampai berminggu-minggu.”

Arya harusnya menggunakan koneksi Ranajaya kalau ingin menemui wanita itu. Sayang sekali sekarang dia memisahkan diri. “Omong-omong soal mama kamu, kapan mau ke sana? Mas temenin, bener juga kata bu Hauna, kita harus ke tempat mama.”

“Biar saya aja yang ke sana.” Dinara meyakinkan suaminya. “Mas barangkali mau meluangkan waktu juga buat pulang ke Surabaya.”

“Kita pulang ke rumah masing-masing tanpa bawa pasangan?” Raut wajah Arya tampak kecewa.

“Mas tahu betul mereka belum bisa menerima kita sepenuhnya.”

“Tapi mas mau berusaha.”

Rumah ibunya bahkan tidak jauh, Dinara bisa pergi ke sana dan kembali beberapa menit kemudian. Beda dengan Arya yang harus terbang dengan jetnya jika ingin pulang, dia juga tidak mungkin di Surabaya dalam hitungan jam. Normalnya Arya menginap sekitar satu hingga dua malam.

“Tiap bulan, ada acara jamuan makan malam hari Jumat  minggu kedua.” Arya memulai lagi obrolan mereka. “Harusnya kita ada di sana, Di. Itu acara yang cuma dihadiri keluarga Ranajaya.”

Dinara bahkan bukan bagian dari mereka. “Kalau begitu Mas harus datang, jelas nama belakangnya Mas Arya itu Ranajaya.”

“Nggak gitu.” Arya menggelengkan kepala. Dia kembali menurunkan tubuh dan duduk merosot dengan kepala menengadah, membiarkan Dinara membuka kancing teratas di kemejanya. Ada yang dia pikirkan, tapi tidak tersampaikan.

“Saya mau tanya.” Dinara membuat sang suami menolehkan kepala. “Mas Arya sekarang sedang memikirkan cara biar saya ikut ke sana atau justru mencari cara untuk memberi saya pengertian karena nggak bisa diajak ikut serta?”

Arya meraih tangannya dan mendaratkan kecupan di punggung tangan, entah apa maksud itu semua. “Dua-duanya.”

“Saya ngerti.” Dinara langsung menanggapi. “Jangan merasa terbebani, Mas. Saya siap diajak meski berisiko bentrok dengan keluarga Mas Arya lagi. Saya juga siap nggak diajak demi menjaga kedaiaman kita semua. Jangan terlalu mikirin perasaan saya, saya nggak apa-apa.”

Tangan Arya yang satunya bergerak mengelus dada Dinara, lalu menetap di sana. Jangan lebih jauh lagi, jangan turun ke bawah karena sesuatu pasti terjadi setelahnya.

“Hati kamu terbuat dari apa sih, Di? Kok bisa diprogram kayak gini.”

Untung saja, dia tidak melakukan hal yang bukan-bukan. “Dari apa aja, Mas. Menyesuaikan. Yang penting Mas Arya tenang, dan hubungan kita lancar.”

Arya mengerjap memandanginya untuk beberapa detik pertama, karena detik berikutnya dia memicingkan mata, sementara tangannya tadi mulai bergerilya. Dinara pasti sudah gila kalau lagi-lagi dia tidak bisa menolak Arya. Ini bukan jadwal mereka berhubungan badan.

“Mas...” lenguhnya pelan, kepalanya mulai pening dipengaruhi gairah. “I—”

“Mungkin bawa kabar kehamilan dan calon cucu pertama di keluarga Ranajaya ide paling brilian,” ucapnya. Arya bergerak mendekat, perlahan memposisikan diri dan menarik Dinara untuk naik ke pengkuan. Sementara itu, satu dari dua benda di dadanya sudah berhasil diloloskan. Dinara mengerang.

“Mas, tunggu...”

“Mas Andra belum punya anak sampai sekarang, Sayang. Kita salip mereka biar nggak ada yang berani gangguin kamu lagi, ibu sama bapak juga pasti jatuh sayang sama kamu kalau kita segera ngasih cucu.”

Dinara merinding hebat. Arya tidak bisa dikendalikan, tidak ada persetujuan tapi apa yang mereka lakukan sekarang sudah dikatakan tidak wajar. Bajunya tersingkap naik, dan jari-jari Arya menyelip di antara celahnya. Bermain di antara kedua kaki.

“Jangan keseringan, Mas... itu... ngh.... caranya nggak gitu.”

“Jadi caranya gimana? Gini?” Arya berbisik tepat di telinganya. Dia sangat tenang, begitu sabar, tapi bergerak menggila di bawah sana. “Seratus kali kesempatan punya peluang lebih besar dibanding cuma sepuluh kali, Sayang. Mas yakin, semakin banyak akan semakin baik, juga semakin cepat. Kamu mau secepatnya mengandung anak kita, kan?”

“Iya... ce—ah...” Dinara mengangguk cepat, sementara akal sehatnya sudah tidak ada di tempat.

Arya selesai mengerjainya, dia berhenti saat denyut itu mulai datang, saat Dinara mulai pusing, rasanya seperti melayang-layang, tapi dia tidak terbang. Tidak, Arya sengaja menariknya jatuh untuk mengumpulkan kesadaran. Dia tidak mau sang istri menikmatinya sendirian.

Saat mereka bertatapan dengan napas Dinara yang terengah, Arya menyunggingkan senyum nakal, lalu mengecup bibirnya penuh hasrat yang tidak ingin diabaikan. “Jadi mau di mana, Sayang? Di sini atau di kamar aja?”

To be Continued.

🌻🌻🌻🌻

EHEM!

Jadi kira-kira, tetap di situ apa di kamar, ya? 🌚

Mas Arya tuh lagi degdegan nunggu pengumuman hasil tender, makanya stres dan butuh pelepasan 😌

Pembaca yang tiba-tiba suka jadi ukhti-ukhti pemalu tiap baca scene dewasa di lapak ini mana suaranyaaaa 😂

Aku dr kapan mau nyinggung ini, kadang lucu aja, aku suka nemu tuh komen kalian di lapak penulis lain yang ceritanya 21+ dan kayak yang oke-oke aja. Kenapa nyampe sini pada malu? Pengen tutup mata 😂 aku merasa dosa sendiri.

Aku lagi mencoba nulis begituan, meski gak penting dan gak terlalu ditonjolkan, tapi dalam cerita cinta itu penting, kan?

Oh mau klarifikasi juga, mas Arya bilang DD junior itu didi junior kalau perusahaannya DD logistik dibaca double D logistik. Jadi beda ya penyampaiannya, makanya waktu itu mbak Di nggak langsung ngeuh.

Oke, ramaikan bab ini ya, DD girls menghibur banget, kan?

Ada yang mau visualnya? 😂😂

Mari kita panggil mereka sarirajasmine_ RistaPermatasari13 dianayu_apriyani cicita11 Henny__s LukluulMaqrifah9

Kalau targetnya terpenuhi kayak kemarin, kita up lagi besok 😘

Stay tune!

Seguir leyendo

TambiΓ©n te gustarΓ‘n

414K 4.2K 6
Lacas itu brengsek. Memutuskan Ayla secara sepihak, lalu datang kembali setelah setahun menghilang. Tidak sendiri, tapi bersama pacar barunya. Dan ta...
2.9M 116K 33
[Spin-off Adeeva dan Arga] [Bisa dibaca terpisah] Terbangun di kamar asing adalah suatu hal yang sangat mengejutkan bagi Jihan. Terlebih saat Bima Pr...
8.8M 94.2K 12
Aksa dan Fau merahasiakan "status" pernikahan, sehingga tidak ada yang tahu bahwa mereka adalah pasangan suami istri di usia muda. Tapi ternyata, tid...
1.8M 24.3K 7
"Saat hujan adalah kesempatan emas untuk berdoa, bukannya mengkhayal." Ucap Panca Alden Baratayudha saat melihatku terdiam di bawah guyuran hujan yan...