DINARA [Tersedia Di Gramedia]...

By Vinnara

2.7M 275K 74.6K

šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ» Menyebalkan adalah ketika dia kembali ke tanah air setelah ditipu oleh mantan kekasihnya sendiri. Dina... More

Meet Dinara and Arya
1 šŸŒ»šŸŒ» Lamaran
2 šŸŒ»šŸŒ» Kesepakatan Bersama
3 šŸŒ»šŸŒ»šŸŒ» Kenangan Masa Lalu
4 šŸŒ»šŸŒ» Penjajakan Kilat
6 šŸŒ»šŸŒ» Profesional Partner
7 šŸŒ»šŸŒ» Dinara - Ranajaya
8 šŸŒ»šŸŒ» Upaya Membujuk
9 šŸŒ»šŸŒ» Lamaran Yang Sesungguhnya
10 šŸŒ»šŸŒ» Hari Yang Ditunggu
11 šŸŒ»šŸŒ» Lelah Dan Menyerah
12 šŸŒ»šŸŒ» Menunjukkan Diri
13 šŸŒ»šŸŒ» Menempuh Hidup Baru
14 šŸŒ»šŸŒ» SQ Analyst
15 šŸŒ»šŸŒ» DD Logistic
16 šŸŒ»šŸŒ» Pekerjaan dan Perasaan
17 šŸŒ»šŸŒ» Menggebu-gebu
18 šŸŒ»šŸŒ» Tak Tertahankan
19 šŸŒ»šŸŒ» Getting Worse
20 šŸŒ»šŸŒ» The Winner
21 šŸŒ»šŸŒ» Pesta Perayaan
22 šŸŒ»šŸŒ» Babymoon
23 šŸŒ»šŸŒ» Hold You in Silence
24 šŸŒ»šŸŒ» Pendekatan dan Huru-hara
25 šŸŒ»šŸŒ» Merakit Amunisi
26 šŸŒ»šŸŒ» Mempersiapkan Diri
27 šŸŒ»šŸŒ» Hidup Yang Bahagia
28 šŸŒ»šŸŒ» Orang dari Masa Lalu
29 šŸŒ»šŸŒ» Mulai Dekat
30 šŸŒ»šŸŒ» Makin Dekat
31 šŸŒ»šŸŒ» Dia Datang Lagi
32 šŸŒ»šŸŒ» Mulai Resah
33 šŸŒ»šŸŒ» Ada Yang Salah
34 šŸŒ»šŸŒ» Merasa Dicurangi
35 šŸŒ»šŸŒ» Menemukan Solusi?
36 šŸŒ»šŸŒ» Penawar Racun
37 šŸŒ»šŸŒ» Meredam-redam
38 šŸŒ»šŸŒ» Double D [Upload Ulang]
39 šŸŒ»šŸŒ» Rumah Yang Sesungguhnya
40 šŸŒ»šŸŒ» Maintenance
41 šŸŒ»šŸŒ» Segera Berakhir
42 šŸŒ»šŸŒ» Tingkeban
43 šŸŒ»šŸŒ» Berlapang Dada
44 šŸŒ»šŸŒ» Dinara dan Diana
45 šŸŒ»šŸŒ» Membuat Pilihan
[SEGERA TERBIT] 46 šŸŒ»šŸŒ» Melawan Logika
47 šŸŒ»šŸŒ» Genting
48 šŸŒ»šŸŒ» Pukulan Telak
49 šŸŒ»šŸŒ» Menyerah dan Kalah
šŸŒ» Kata Pembaca: Happy or Sad Ending?šŸŒ»
šŸŒ» PRE -ORDER DINARA DIBUKA šŸŒ»
GIVEAWAY DINARA

5 šŸŒ»šŸŒ» The Ranajaya

61.5K 7.8K 1.1K
By Vinnara

Hai, guys!

Makasih ya udah meramaikan bab 4 kemarin. Aku semangat banget nerusin dan up Dinara 😘

Aku harap bab ini juga ramai vote dan komentar di paragrafnya. Uwuwu!

Siap bertemu pasangan ini lagi?

Semoga segera jatuh hati sama Dinara dan Arya ❤

Vote dulu sebelum baca 🌟

Selamat membaca!

🌻🌻🌻🌻

“Oalah, Le... apa lagi ini? Kamu ya ndak berhenti bikin ibuk jantungan toh.”

Kepergian Diana jelas-jelas bukan salahnya, semua orang tahu tapi semua orang juga memilih untuk menyalahkannya. Sebab, siapa yang membawa Diana masuk ke keluarga ini beberapa tahun yang lalu kalau bukan Arya?

Dan walaupun sudah disetujui, direstui, serta akan dinikahkan dalam waktu dekat, kepergian Diana yang mencoreng nama baik keluarga tetap butuh sasaran pelampiasan.

“Kamu yang bawa-bawa perempuan itu ke keluarga kita! Lihat ini, orang yang ndak setara memang ndak punya adab, semena-mena. Pergi ndak pake bilang, sudah untung diterima dan dilamar. Ini penghinaan!” Andra—kakak kandung Arya, meneriakinya kala Diana dinyatakan sebulan menghilang.

“Gara-gara kamu iki, Ya. Kamu mau sok-sok keluar dari jajaran direksi perusahaan, mau buka usaha sendiri, Diana ya mana mau. Dia pasti takut ndak makan kalau kamu lepas dari kerjaan. Hidup lantang lantung ndak tahu masa depan. Pantas Diana pergi, salah kamu iki!” Bude Yana—kakak ibunya juga mengatakan hal serupa, menyalahkan Arya dengan alasan yang berbeda.

“Ya... ini apa lagi, Le? Bilang ini ndak benar.” Kali ini giliran ibu kandungnya.

Arya yang beberapa saat lalu sudah memutuskan untuk membatalkan rencana pernikahan, setelah berunding dengan pihak dua keluarga dan Diana tidak kunjung ditemukan, tahu-tahu kembali dengan membawa kabar lain.

Dia akan tetap menikah, dengan orang yang berbeda, agar keluarganya tak perlu menanggung malu, mereka hanya harus pintar mencari alasan.

“Namanya Dinara, Bu.” Arya tidak goyah, dia tetap meneruskan apa maksudnya pulang ke Surabaya. “Saya mohon Ibu dan Bapak kasih restu, saya mau tetap menikah meski bukan sama Diana.”

“Le...” Ayudia, ibu kandungnya terduduk lemas di kursi berlapis emas khas singgasana kediaman Ranajaya. Beliau terlihat syok sekaligus tidak percaya pada pendengarannya sendiri, bahwa putra bungsunya akan tetap menikah, dengan seorang wanita pengganti.

“Ini bukan buat mainan, Le... eling kamu!”

“Saya memang nggak niat main-main,” ucapnya serius. Tatapannya menunduk menatap lantai marmer di bawah kaki, tampak tunduk dan hormat, meski cara bicaranya tetap keras kepala. “Saya serius sama Dinara, Bu. Saya pilih dia buat jadi calon istri saya selanjutnya.”

“Pfftt...”

Arya sontak menoleh, suara tawa teredam itu berasal dari dua orang gadis kembar yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri sejak kecil. Pramudya dan Pradnya muncul dari balik sekat ruang keluarga, keduanya mendekat pada ibu mereka sambil menggelengkan kepala.

“Mas Arya ndak mau rugi, Buk. Pestanya ngabisin uang miliaran, jadi sayang kalau nikahnya batal.”

“Bukan gitu.” Arya menyanggah Pramudya. “Mas udah move on, jadi apa salahnya, kan?”

Pramudya tertawa sambil memicingkan mata. “Mas mungkin boleh ngomong begitu ke keluarga lain, ke bude, bulek atau sepupu yang ndak serumah sama kami, tapi jangan coba-coba bohongin penghuni rumah ini. Aku tahu mas Arya cinta mbak Diana sampai mati,” ujarnya panjang lebar dan sarkas, khas Pramudya. “Ups, almarhumah mbak Diana maksudnya.”

“Dya...” gertak Arya dengan nada tidak suka.

Dua adik kembarnya itu tertawa mengejek, mereka tidak suka pada Diana sejak wanita itu meninggalkannya. Tapi Arya tidak setuju kalau Diana disebut dengan gelar orang yang sudah meninggal, mereka belum tahu pasti dia ada di mana. Dan Arya berharap di manapun dia, Diana baik-baik saja.

Wes toh, Buk... biarin aja mas Arya tetep mau nikahin perempuan itu. Nanti mereka juga cerai kalau sama-sama ndak cocok.”

“Anya!”

“Justru itu masalahnya.” Ayudia dan dua gadis kembarnya tidak mengindahkan teguran Arya. “Ibuk loh ngasih restu buat yang menikah itu ndak main-main, maunya ya sekali seumur hidup, makanya harus dipilih baik-baik, dididik dari jauh-jauh hari, tapi ini kan... duh—”

“Anya sama Dya pergi dulu,” perintah Arya pada si kembar, kehadiran mereka justru membuat acara diskusinya semakin runyam. Padahal Arya sangat mengandalkan sang ibu untuk menyampaikan berita ini pada ayahnya dan seluruh jajaran penting tetua di keluarga Ranajaya.

“Ya ampun, Mas Arya... aku di sini padahal mau bantuin lho.” Pramudya menggerutu. “Buk, mbak Diana itu ndak baik buat mas Arya makanya dia pergi dengan cara ndak terhormat kayak gini. Ibuk harus membuka hati buat menantu yang baru, mas udah mateng, Buk. Kalau kematengan ya ndak enak, kasihan istrinya nanti.”

“Dya!” tegur Arya sekali lagi mendapati dua anak kembar itu tengah tertawa cekikikan.

Wes, mbak Diana itu matre juga, mas Arya baru bilang mau keluar dari hotel aja langsung minggat. Padahal siapa tahu usaha mas Arya yang baru sukses berat, Anya dukung acara move on mas-nya dari mbak Diana.” Sekarang Pradnya, si anak sok tahu itu ikut-ikutan bicara menimpali saudari kembarnya.

Ayudia memandangi dua putri angkatnya, gadis-gadis itu saling mengangguk satu sama lain untuk memberi keyakinan. Cukup membantu memang, tapi cara keduanya agak terlalu ekstrem, membuat Arya iritasi telinga.

“Atau jangan-jangan ya, mbak Diana kabur sama laki-laki lain.”

Pramudya menjentikkan jari. “Nah!”

“Sama bule kayaknya, Buk. Makanya ndak kelacak sama mas Arya, pindah ke negara lain.”

“Bulek mana, toh?” tanya Ayudia kebingungan. “Kenapa Diana suka sama bulek kalian? Kenapa ndak sama—”

“Astaga!” Dua anak gadis di sana menepuk jidat, sementara Arya cukup menonton saja di seberangnya.

Merasa sedikit terhibur, Arya menyunggingkan senyum geli karena tingkah ibu dan adik-adiknya. Ayudia memang sangat polos, hatinya baik meski di luar tampak judes dan tidak banyak omong. Arya yakin Dinara bisa menghadapinya, dia adalah wanita yang cerdas, mampu mengikuti arus dan membawa diri dengan baik.

“Bule itu yang matanya biru, rambut kuning iku lho, Buk. Bukan bulek Asih, bulek Kirana, apalagi bulek Mutia. Bukan!”

“Lagian kan udah lama toh kita saranin biar manggilnya ndak usah bulek lho tapi aunty gitu biar agak ningrat sedikit. Ini bulek ketuker terus sama bule.” Si kembar masih terus melanjutkan percakapan mereka.

“Udah, wes, ghue sih mau panggil aunty mulai sekarang biar ndak ketuker lagi. Biar ibuk ndak bingung kayak iku lho.”

“Ghue juga.” Pradnya menyahuti kakaknya.

Di seberang sini, Arya mati-matian menahan tawa kala mendengar si kembar memakai aksen Betawi medok dengan menyebut gue menjadi ghue sebab lidah Jawa mereka tidak bisa berbohong.

“Kenapa sampean ngikik sendiri, Mas?” (sampean = kamu)

Arya buru-buru memasang tampang serius tatkala Pramudya memergokinya. “Nggak papa, eh... ndak papa maksudnya.”

“Ndak popo maksute opo toh?”

Semakin diladeni, dua gadis kembar itu akan semakin menjadi. Arya memilih untuk tidak menanggapi lagi dan pada akhirnya mereka pergi sendiri. Yang teringgal hanya dirinya dan Ayudia, masih berjuang meminta restu yang tertunda.

“Kalau ibu kasih kamu ijin sama perempuan ini, kamu siap menetap di jajaran direksi toh, Le? Bantu mas Andra sama bapakmu lho, ndak usah mikir pergi dan buka usaha sendiri. Hotel kita iku banyak, ambil satu buat kamu hidup, ndak perlu nyusahin diri, Le. Bapak sama ibuk wes udzur, hotel ndak akan dibawa ke liang kubur.”

Ocehan Ayudia setelah kepergian Pradnya dan Pramudya, panjang sekali, tak biasanya.

“Maaf, Bu...”

“Oalah, Le...”

Wanita di hadapannya itu menggugu pilu. Arya dan kakak kandungnya berselisih selama beberapa bulan ini. Dia menduduki kursi direktur dan menjalankan operasional hotel—seluruh hotel milik keluarga mereka, termasuk resort dan villa, tapi hanya memiliki sedikit hak suara di perusahaan.

Andra—kakak kandungnya yang menjabat sebagai direktur utama, sekaligus putera mahkota Ranajaya, memegang kendali di ujung telunjuk.

Sangat tidak adil ketika yang bekerja membabi buta, memeras keringat, berjuang dan turun langsung adalah dirinya, sementara kekuasaan, pujian, keuntungan dan popularitas dimiliki oleh Andra seorang. Seolah Arya hanya kacung di perusahaannya sendiri, dia hanya hidup dengan mengandalkan gaji bulanan, hak kepemilikannya atas saham dan dana perwakilan tertahan. Dan baru bisa mengambil itu semua saat keluar dari perusahaan.

“Saya pengen mandiri, Bu. Kalau hak saya diberikan oleh bapak, saya akan berterima kasih, tapi kalau ndak juga ndak apa. Saya punya tabungan untuk modal usaha saya nanti, meskipun ndak sebanyak itu.”

“Wanita itu setuju sama keputusan kamu?”

Arya mengangkat wajah, tidak percaya ibunya bertanya seperti itu. “Dinara mendukung saya untuk melakukan apa pun, Buk.”

“Karena kalian baru saling kenal,” ujarnya murung dan kepala Arya kembali tertunduk. “Apa sebegitu cintanya perempuan ini sama kamu, Le?”

Kalau Arya jawab iya, apakah dia dan Dinara diizinkan menikah pada akhirnya?

🌻🌻🌻🌻


Cinta pada pandangan pertama itu bohong, Arya tidak percaya ada yang berani membual seperti itu di dunia ini. Kalau ketertarikan fisik, bisa jadi. Namun cinta? Terlalu berlebihan mendeklarasikannya di pertemuan pertama.

Jika diulik lagi apa yang membuat Arya pada akhirnya menerima tawaran Dinara, jawabannya mungkin hanya satu, dia ingin balas dendam pada Diana—mantan calon istrinya. Dia ingin membuktikan kalau kepergian wanita itu yang tiba-tiba, yang sebenarnya menghancurkan dunia seseorang, tidak berguna. Arya akan tetap menikah, dengan atau tanpa dia. Agar Diana tahu rasa dan tidak terlalu besar kepala.

Di sisi lain, bukankah dia pada akhirnya membantu Dinara? Meski wanita itu terkesan agak misterius dan tidak blak-blakan mengatakan maksud dan tujuan, Arya tahu bahwa Dinara butuh bantuan. Untungnya, mereka sama-sama bisa memberi pertolongan.

“Mas harusnya minum obat sebelum makan seafood.” Arya tertawa kecil, membiarkan Dinara membantunya mengoles-oles cairan pengusir gatal berwarna merah muda dengan bau menyengat, karena mereka baru saja kembali dari restoran hidangan laut.

Arya alergi seafood, sekujur tubuh termasuk lidah dan langit-langit mulutnya akan gatal-gatal, berbintik hingga bentol mengerikan setelah ia memakan makanan tersebut. Namun bukan Arya namanya kalau tidak keras kepala, dia hanya harus gatal-gatal selama beberapa jam setelah menikmati hidangan itu, dan begitu membaik, Arya lanjut makan lagi pada kesempatan berikutnya. Tidak masalah, dia kuat, seafood tidak akan membuatnya mati.

“Nggak papa, Di. Abalone tadi masih membekas di indera perasa saya, gatal segini aja nggak masalah.” Dia menyengir, sementara wanita berambut pendek yang sudah diklaimnya sebagai calon istri itu menggelengkan kepala.

Arya mengunjunginya di Bali siang ini setelah dia mendapat restu dari keluarganya di Surabaya. Mereka sepakat menerima Dinara dan pernikahan keduanya dengan mata tertutup, dibanding membatalkan acara dan membuat malu seluruh keluarga besar Ranajaya, akhirnya keputusan ini diambil sebagai jalan tengah.

“Terus ada lobster, kakap merah saus padang, cumi goreng... aduh, saya nggak sabar nunggu jam makan malam.”

“Mau ngapain?” Dinara membeliak ke arahnya.

“Mau makan lagi lah.”

“Aduh, Mas...” Wanita itu memijit pelipisnya dengan dahi mengkerut. Dia pasti bingung dengan tingkah laku Arya, dan memang itu tujuannya. Arya ingin mereka mengetahui satu sama lain, mulai dari kebiasaan makan, juga kebiasaan lain.

“Biasanya dua atau tiga jam sembuh.” Arya melirik arloji di pergelangan tangannya saat ini. “Hm... sekitar jam delapan malam paling lama, nggak papa, ya? Makan malamnya agak telat?”

“Mas!” Dinara mengindahkan ocehannya. “Mas ini alergi dan harusnya pemicu itu dihindari, Mas Arya masokis, ya? Seneng nyakitin diri sendiri?”

Arya terkikik, dia merebahkan tubuh di sofa sementara Dinara berdiri kaku di sebelahnya. “Saya rela deh demi abalone yang enak gatel-gatel begini.”

“Mas, orang ke Bali itu nyarinya ayam betutu, sate lilit, rujak Bali atau apa gitu, bukan nyari penyakit dan nyiksa diri.”

“Bali itu identik sama pantai, jadi selama di sini paling afdol ya makan seafood.”

Pada akhirnya, Dinara tidak meladeni dan duduk di sebelahnya tanpa bicara apa-apa lagi. Dinara sudah dewasa, jauh lebih dewasa dibanding Diana. Tanpa bermaksud membandingkan, hanya saja penilaian itu sering tiba-tiba muncul begitu saja. Reaksi keduanya jauh berbeda ketika mereka dihadapkan pada sesuatu yang mirip, seperti hari ini.

“Nulis apa?” tanya Arya mendapati wanita itu mencoret sebuah buku kecil yang terlihat penting untuk Dinara.

“Catatan penting.” Dia mengangkat wajah dan mata mereka bertatapan.

Dinara dianugerahi wajah cantik yang mewah, matanya dalam, tajam dan memabukkan, pesonanya luar biasa. Pada pandangan pertama, jujur saja Arya tersihir oleh tampilan fisiknya.

“Nanti kalau mas sama saya udah nikah, kita ke dokter dan pecahin masalah ini. Gimana caranya mas Arya makan seafood tanpa harus gatal-gatal lagi.”

“Semacam penanggulangan?”

“Iya.”

“Sedia payung sebelum hujan?”

“Iya.” Dinara  tersenyum sambil menatapnya.

Sayang sekali, senyuman itu tidak pernah sampai ke mata. Sejak pertama kali mereka berjumpa, Dinara banyak menahan rasa sakitnya. Itu kenapa Arya khawatir mendengar dia datang ke sini sendirian, takut Dinara melakukan hal yang tidak-tidak.

Iya, benar. Dia takut kehilangan calon pengantinnya, bisa bahaya pesta keluarga besar kalau Dinara pun tidak ada seperti Diana.

“Di, coba jujur ke saya.” Arya menggerakkan tubuh untuk menelungkup dan bertatapan dengan Dinara. “Kamu ada niat membatalkan rencana itu, kan?”

“Dari mana mas tahu?”

“Cuma feeling.” Arya menyunggingkan senyum, untung dia buru-buru datang ke sini dan meyakinkannya lagi. Satu hal besar yang dia suka dari Dinara adalah, wanita itu tidak banyak basa-basi atau berkilah meski tertangkap basah. Tipe orang yang mengakui kesalahannya. “Jadi bener, ya?”

“Iya.” Dia mengangguk.

“Untung saya keburu datang.” Tatapan Arya menerawang ke luar jendela, hamparan laut biru di luar sana begitu menggoda. “Kalau nggak, saya ditinggal lagi buat yang kedua kalinya sama para calon istri.”

Dinara terkikik. Dia gampang tersenyum, gampang tertawa, meskipun hatinya banyak terluka. Sangat profesional menjalani peran sebagai manusia, atau justru sebaliknya.

“Saya nggak nyangka mas Arya bakal nyusul ke sini,” ujarnya hati-hati. “Mas naik penerbangan pribadi?”

“Iya.” Arya membenarkannya, tidak berguna juga ditutup-tutupi. “Demi kamu, saya bayar mahal di Halim buat motong antrian landas pacu.”

Mereka berdua terbahak setelahnya. Dinara juga tidak suka mengorek informasi pribadi, dia terlihat sangat berhati-hati.

“Berarti Mas Arya nih salah satu penyebab kenapa penerbangan komersil kita sering delay, mereka ngalah sama pesawat pribadi yang mau buru-buru terbang dan motong jadwal.”

“Mereka bisa terbang tepat waktu asal nyogoknya lebih besar daripada saya.” Arya menyengir, mengangkat dua jarinya membentuk huruf V di udara, menandakan bahwa dia sedang bercanda. “Memang ya, feeling calon suami itu kuat.”

Mendengar ucapannya, Dinara kembali tertawa. “Kalau kita menikah, apa jodoh mas Arya itu saya?”

“Iya dong, memangnya siapa lagi?” Arya mengerutkan alis. “Bukannya itu pencarian akhir dari sepasang manusia yang memutuskan bersama, Di?”

Dia menggeleng. “Menurut saya sih enggak. Masih ada perceraian dan kematian yang menghantui.”

Dinara benar, masih ada perceraian dan kematian yang tidak bisa mereka hindari di masa depan nanti. Namun bukankah orang yang berpisah karena cerai atau pun mati tetap disebut jodoh satu sama lain? Hanya mungkin, jodohnya punya masa aktif sendiri, seperti kartu perdana yang harus rutin diisi pulsa.

“Menurut saya, kalau jadi nikah sama kamu ya berarti kita jodoh. Dan mantan saya, selama apa pun kami menjalin hubungan, sedalam apa pun perasaan saya ke dia, kalau kami nggak ketemu di pelaminan, berarti dia bukan jodoh saya.” Arya mengoceh panjang untuk mengemukakan pendapatnya. “Sial, lama banget saya jagain jodoh orang.”

Lalu suara tawa Dinara kembali mengudara. Mungkin bisa berbeda kalau mereka dipertemukan saat usia keduanya lebih muda, mungkin juga Arya dan Dinara tidak akan bersikap sama. Semua ini terjalin karena mereka sama-sama sudah dewasa.

“Tapi saya tetap berterima kasih sama mantannya mas Arya, karena mengantarkan kita di pertemuan menuju gerbang utama, saya nggak perlu waktu lama untuk penjajakan ulang dan sebagainya.” Dinara menjeda, baru kali ini Arya mendengar dia bicara agak panjang.

“Mungkin hati mas patah sama dia, tapi saya akan membuatnya utuh seperti semula. Seperti waktu belum dipatahkan siapa-siapa. Nanti hati mas saya curi, saya simpan sendiri, nggak akan saya kembalikan lagi.”

Dinara pasti tidak menyadari bahwa wajahnya saat ini tengah memerah sampai ke telinga. Kerasukan apa rupanya mereka berdua sampai membicarakan hal-hal seperti ini?

“Nggak usah dicuri,” balas Arya pada akhirnya. “Saya yang bakal kasih sendiri setelah lukanya terobati.”

Wanita cantik di hadapannya itu segera berdeham dan mengulas senyum kaku. Apa baru saja Arya salah bicara? Tidak menghargai kata-katanya?

“Tapi Di, kayaknya kamu nggak perlu bikin surat buat melamar saya. Yang barusan itu udah keren banget, saya sampai merinding sebadan-badan.”

Dinara meringis di bawah sana dan menggelengkan kepala. “Mas lagi alergi aja.”

“Udah sini mana KTP dan berkas-berkas lain, saya mau daftarin pernikahan kita di KUA.”

“Iya, nanti saya siapin.” Dia bersemu merah. “Mas...”

“Hm?”

“Usia saya tiga puluh tahun sebentar lagi.”

“Oke, terus?”

Dinara terlihat ragu dan menimbang, sampai netra cokelatnya yang bening dan memabukkan itu kembali bertatap dengan Arya, dia tidak berani mengungkap maksudnya apa.

“Di?”

“Saya mau hamil dan melahirkan di usia 30 tahun, Mas.” Wanita itu mengucapkannya buru-buru. “Karena katanya, menurut penelitian, usia 30 bagi wanita adalah masa emas untuk hamil dan melahirkan bibit unggul. Di mana anak-anaknya bisa tampil lebih cerdas dan juga lebih rupawan. Jadi saya mau dihamili nggak lama setelah kita sah sebagai suami istri.”

Mengejutkan. Arya sampai tidak bisa berkata-kata untuk menjawabnya.

“Mas?”

“Oke.” Dia mengangguk segera. “Nanti saya hamili kamu, gampang sih itu.” Arya bisa mendengar suara Dinara terkikik sementara dirinya sendiri sibuk menahan malu. “Yang kayak gitu... kamu udah bisa, kan? Atau masih harus belajar lagi?”

“Mas Arya mau ngajarin saya?”

Arya terhenyak, ternyata Dinara juga di luar ekspektasinya. “Saya sendiri belum mahir.” Dia berujar pelan, merasa harga dirinya terluka sebagai calon suami idaman.

“Oh, nggak papa, Mas. Kita bisa belajar soal itu sama-sama.”

Arya terkejut mendengar perkataan itu. Yang satu ini, entah kenapa membuat dia terkenang pada Diana—mantan kekasihnya.

To be Continued.


🌻🌻🌻🌻

Hayolo mas Arya, nggak boleh membanding-bandingkan 😒

Dinara sama Diana jelas dua orang yg berbeda, kalau ada kemiripan itu murni kebetulan.

Jadi, mas Arya jangan baper lagi ya? Nggak baik lho itu.

Nah, ini pertama kalinya kita disuguhkan sama sudut pandang mas Arya.

Menurut kalian gimana?

Kepribadiannya bagus, nggak?

Apa jadinya kalau nanti dia benar-benar menikah sama Dinara?

Gimana interaksi mereka di bab ini?

Kalian suka?

Makasih ya untuk vote dan komentarnya di bab 4 kemarin. Itu fantastis banget! Kalian hebat!

Aku jadi semangat banget ngetik cerita ini dan udah punya 20 bab buat dibagikan huhuhu.

Genjot terus semangatku dengan support kalian ya. Makasih banyak!

Sampai jumpa di bab enam 😘

Continue Reading

You'll Also Like

91K 3.8K 53
{tamat} [dalam tahap revisi] Cinta? Aku pernah mendengar kata itu. Namun bagaimana jika mencintai dia yang juga mencintaiku namun kami tidak bisa ber...
Icy Eyes By Alifiana

General Fiction

2.3M 291K 48
Puspa bekerja sebagai perawat home care untuk Kafka yang mengalami kebutaan karena kecelakaan. Hingga suatu saat gadis itu sadar, dia telah melakukan...
501K 33.1K 97
Sion Vererro adalah putri dari Sarah handoko dan Billy Vererro. Setidaknya, itulah yang tertulis di atas kertas. Kedua orangtuanya meninggal saat dia...
1.8M 24.3K 7
"Saat hujan adalah kesempatan emas untuk berdoa, bukannya mengkhayal." Ucap Panca Alden Baratayudha saat melihatku terdiam di bawah guyuran hujan yan...