Father For Addo -g.c (Addo Se...

By frantastickris

139K 14.7K 1.3K

# Book 1 in Addo Chance Series # Addo Grey Chance adalah anak yatim. Dia sudah tidak memiliki ayah sedari k... More

Prolog
Satu: 10 tahun kemudian
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
[A/N] Lil Explanation
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Author Note-DONT IGNORE THIS
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
PS
Sembilan Belas
[A/N - break chapter] "This Is My Letter (-Addo)"
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
[A/N] Soundtrack? OFC!
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
Dua Puluh Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Puluh Dua
Tiga Puluh Tiga
Tiga Puluh Empat
Tiga Puluh Lima
Tiga Puluh Enam
Tiga Puluh Tujuh
Tiga Puluh Delapan
Tiga Puluh Sembilan
Empat Puluh
Empat Puluh Satu
Empat Puluh Dua
Empat Puluh Tiga
Empat Puluh Empat
Empat Puluh Lima
Empat Puluh Enam
Empat Puluh Tujuh
Empat Puluh Delapan
Empat Puluh Sembilan
[A/N] Real Sekuel VS FFA versi lain? VOTE [CLOSED]
Lima Puluh
Lima Puluh Satu
Lima Puluh Dua
Lima Puluh Tiga: FLASHBACK
Lima Puluh Empat
Lima Puluh Lima
Lima Puluh Enam
Lima Puluh Tujuh
Epilog
BONUS CHAPTER : " Backward 1"
BONUS CHAPTER - " Backward Pt. 2"
BACKWARD CHAPTER PT. 3
Hola! ● Father For Addo ↔ Home Sweet Home
Welcome! Home Sweet Home

Tiga Puluh Satu

1.8K 221 36
By frantastickris

Author's POV

Sesampainya Addo di homeroom (tempat dimana kita harus melapor untuk absensi sebelum pelajaran dimulai) hari ini, semua orang sedang berkerumun mengelilingi Carol. Masih ingat Carol? Dia teman se-gengnya Jason Gordon. Tidak biasanya anak itu menarik perhatian seluruh orang.

Bahkan Addo mendapati kedua sahabatnya, Matt dan Alice, diantara kerumunan. Hal ini makin membuatnya penasaran. Bergegas Addo menghampiri kesana.

"Hei," dia menepuk pundak Matt. "Ada apa?"

"Tidak apa-apa," jawab lelaki berkacamata itu. Namun raut wajahnya juga tidak terlalu gembira.

"Ikut kami," Alice kemudian menarik tangannya dan mereka bertiga pergi ke bangku Matt yang berada di sisi lain ruangan. Alice memastikan tidak ada orang yang mendengar mereka, sebelum menjawab pertanyaan Addo tentang maksud kerumunan itu.

"Bukan berita bagus, tapi kau pasti ingin mendengarnya," kata Alice.

"Apa sih? Kalian membuatku penasaran."

Alice dan Matt saling bertukar pandang. "Kau yang jelaskan," kata Matt lebih dulu.

"Well, okay. Jadi, ayah Carol baru meninggal pagi ini."

Addo terkejut. "Hah?! Serius?"

Matt menjitak kepalanya. "Pelankan suaramu, bodoh! Ini bukan berita bahagia."

"Maaf, maaf," Addo memalingkan pandangan ke kerumunan tadi. Mereka ada di bagian depan. "Okay, pertanyaan berikutnya. Kenapa ayahnya meninggal?"

Baik Matt maupun Alice keduanya menggeleng.

"Dia tidak mengatakan apa-apa," aku Alice.

"Lalu bagaimana kau tahu ayahnya meninggal?"

"Seseorang menyebarkan beritanya."

Hening. Addo memilih menaruh perhatian pada keramaian, mencoba melihat Carol tapi gagal. Tapi dia bisa merasakan apa yang ia rasakan. Addo sudah lebih dulu ada dalam posisi Carol.

"Itu upahnya sering mengataimu anak yatim," lanjut Matt. "Dia sudah mendapatkannya sekarang."

"Shut up, Matthew! Bagaimana jika ayahmu yang meninggal?" sahut Addo agak keras, yang berhasil membungkamnya seketika.

"Kau juga tidak boleh berkata begitu," tegur Alice. Addo menatapnya sejenak sebelum bersandar ke kursi dan mengendikkan bahu. "Maaf. Matt membuatku emosi."

"Kalian berdua sama saja," kemudian dia pergi mencari Logan yang berdiri disekitar kerumunan bersama Percy, dan bersama-sama keluar homeroom. Baik Alice maupun Logan sama-sama tidak sadar bahwa pandangan Addo mengikuti mereka lekat-lekat sampai mereka keluar homeroom.

"Kemarin mereka bertengkar, sekarang mereka baikan," gumamnya heran bercampur kesal dan sedih. Kemudian Addo berpaling ke Matt, yang sudah lebih dulu mengucapkan apa yang Addo pikirkan, "Maaf, Do. Soal yang ucapanku yang tadi itu, memang aku yang salah."

Addo tersenyum. "Lupakan saja."

Tiba-tiba Carol bangkit dari bangkunya dan menyeruak dari kerumunan yang penasaran itu. Dia juga pergi meninggalkan homeroom, lengkap dengan tas punggungnya. Tak lama kemudian semua anak bubar, kembali ke meja masing-masing, namun masih dengan gosip masing-masing.

Dan Addo masih tidak mengerti apa yang perlu digosipkan tentang kematian ayah Carol?

"Addo," panggil Matt lagi.

"Ya?" Dia mendapati ketakutan terbersit di wajah sahabatnya.

"Ayahku tidak akan meninggal kan?"

Addo mendesah dan menggeleng. "Aku benar-benar minta maaf atas kalimatku tadi."

"Aku sudah maafkan. Tapi... bagaimana jika itu betulan terjadi? Bagaimana jika..."

"Ssshh Matt, dengarkan aku. Semua orang akan meninggal, oke? Tapi ayahmu, ibumu, saudaramu, atau orang-orang yang kau kenal dan sayang, mereka tidak akan meninggal hari ini. Tidak juga besok, tidak dua hari lagi, tidak minggu depan. Jangan khawatirkan itu. Semua ada waktunya."

Kriiinngggggggg!!!!

"Pas sekali bel berbunyi," gumamnya lalu mengambil buku, bersiap meninggalkan homeroom.

"Thanks Do," Matt tersenyum simpul. "Aku konyol. Apa yang kau katakan itu benar."

"Tidak usah dibahas lagi, oke? Ayo ke kelas."

Matt mengangguk dan mengambil tasnya. Jam pertama mereka adalah biologi dan mereka sekelas, jadi bersama-sama mereka pergi ke lab. Tapi selama pelajaran, Addo tidak bisa konsentrasi, sejujurnya. Carol memang tidak kembali setelah pergi dari homeroom—yang mana jelas bahwa dia pasti membolos. Selagi guru biologi mereka menerangkan tentang perbedaan sel hewan dan tumbuhan, Addo membenturkan kepalanya pelan ke permukaan meja kayu lab dan menyumpahi dirinya sendiri karena untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya, dia mengkhawatirkan orang yang sering menindasnya.

"Er... Addo? Kau oke?" Matt berbisik khawatir dari sebelahnya. Addo kembali duduk dengan benar dan hanya mengangguk sebagai jawaban. Matt masih tampak ragu tapi dia tetap menerima jawaban sahabatnya dan kembali fokus ke penjelasan guru.

Mungkin karena aku merasa senasib dengan Carol? Pikir Addo lagi, yang sebenarnya masih berupa pertanyaan. Meskipun berandal itu sedikit lebih beruntung daripada aku karena sempat memiliki ayah.

Pertanyaan baru kemudian menghampirinya; Bagaimana rasanya punya ayah?

Addo menggenggam pena birunya, memainkannya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya ia pakai untuk menyangga pipi kiri. Perasaan itu muncul lagi—perasaan yang persis seperti ada kekosongan didalam diri Addo, dan kekosongan itu menganga lebar selayaknya lubang, menelannya bulat-bulat. Laki-laki beriris mata hazel itu tidak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ayah, dan rasanya benar-benar buruk saat dia merindukan sosok ayah-yang-tak-pernah-ia-miliki.

Addo mengarahkan pandangannya ke gambar sel hewan buatan guru biologi mereka di papan. Biasanya Addo akan berbisik-bisik ke Matt bagaimana cara guru mereka menggambar begitu persis dengan yang ada di buku pelajaran mereka, tapi kali ini pikirannya mengambang jauh.

Sedari kecil Addo sudah sering bertanya-tanya dengan keberadaan ayahnya. Dia tidak pernah muncul sama sekali di rumah, dan Addo kecil mengira setiap anak hanya memiliki ibu saja, seperti dia. Sampai ketika suatu hari di di taman kanak-kanak, ia sering melihat teman-temanku dijemput oleh pria yang mereka sebut "ayah", bahkan Matt dan Alice juga punya pria yang mereka sebut ayah. Addo kecil pun bingung, kenapa teman-temannya punya ayah sedangkan dia tidak?

Mamanya sering bilang kalau papanya Addo bekerja dan tinggal terpisah dengan mereka. Addo hanya tahu wajahnya dari foto—foto yang sampai saat ini dia simpan di kamar tidurnya. Waktu itu juga, Addo sempat membenci ayahnya karena 'tega' meninggalkannya sendirian di rumah. Padahal, Addo ingin sekali bisa bertemu dan jalan-jalan dengannya.

Lalu akhirnya ibunya mengatakan hal yang seratus delapan puluh derajat berbeda: ayah Addo sudah meninggal. Waktu itu Addo masih bocah ingusan lima tahun dan tidak tahu apa artinya 'meninggal'. Ibunya lantas mengajaknya ke pemakaman dan memperlihatkan makam ayahnya. Sejak hari itu Addo tahu bahwa papanya selama ini tidur di bawah tanah sana.

Addo hanya tahu nama ayahnya, fotonya saat remaja, dan keterangan kalau dia mantan siswa Cheyenne Middle, sama seperti ibunya. Selebihnya dia tidak tahu, seperti; bagaimana ayahnya semasa hidupnya? Apa dia orang baik? Apa dia pintar? Tapi kalau dia orang baik, kenapa dia meninggal gantung diri?

Hingga detik ini Addo benci memiliki semua pertanyaan itu sendirian. Dia sudah coba menanyakannya pada ibunya, tapi tidak pernah ada jawaban sesuai harapannya.

Lelah menatap papan, pandangannya jatuh ke Alice dan Logan. Mereka duduk bersama di dua bangku didepan Addo. Sejujurnya dia masih cemburu, masih sakit hati, masih menginginkan Alice. Addo sendiri bingung, perasaannya makin lama makin tidak jelas pada gadis itu. Dia ingin Alice bahagia seperti apa yang dia lihat sekarang. Memang sih, baginya akan lebih bagus kalau itu dia yang ada dalam posisi Logan, tapi tentu saja jalan ceritanya tidak semudah keinginannya.

Kalaupun Alice memang pada akhirnya mencintai Logan, itu berarti Addo tidak punya pilihan selain merelakannya dan move on.

Addo membuka tutup pulpennya dan mulai menulis asal-asalan di bagian belakang buku catatannya

I want her. I love her. But she looks happy with him.

I miss her more every day.

It hurts me when I see her cries because of that jerk. I could be better than him. Why don't you even know it?

But some things are better left unsaid.

"Do?" Matt menepuk pundaknya untuk kedua kali. "Kau yakin kau tidak ingin ke ruang kesehatan?"

"Tolong berhentilah bersikap seperti mamaku, Matt. Tapi hei, itu ide yang bagus," Addo serta merta menutup bukunya. Sejurus kemudian dia menginterupsi penjelasan mengenai fungsi mitokondria dengan alasan tidak enak badan dan berjalan keluar kelas.

***

"Aku pulang," Addo memberi salam seraya melepas sepatu, setibanya ia di rumah. Tidak ada yang menyahut, jadi dia langsung saja berjalan masuk. Addo menemukan neneknya duduk sendirian di sofa ruang tengah rumahnya, menonton TV.

"Halo, Nenek." sapanya, ikut bergabung di sofa, masih dengan tas di punggung. Neneknya baru balas menyapa. "Selamat datang, cucuku. Bagaimana sekolahmu?"

"Biasa saja." Sebenarnya jelas, tidak.

"Ganti seragammu dulu sana. Nenek tadi membuat kue, kau mau?"

Addo mengangguk semangat. "Tentu! Aku segera kembali," jawabnya lalu naik ke lantai dua. Addo menyukai kue buatan neneknya sedari kecil. Dulu setiap Natal, Cheryl Gilbson sering mengirimi bertoples-toples kue kering buatannya sendiri, dan Addo selalu menjadi orang yang menghabiskannya. Seiring berjalannya waktu, entah kenapa 'tradisi' kiriman kue berhenti begitu saja dan jelas Addo sekarang ingin lagi makan kue buatan neneknya.

Selepas mengganti pakaiannya dengan t-shirt dan celana pendek kain selutut, Addo kembali bergabung dengan neneknya di sofa, makan kue sambil menonton salah satu episode The Amazing Race. Acara itu seru, tapi sama sekali mental dari perhatian Addo. Dia hanya menatap kosong gambar para pelari di layar kaca, tidak menangkap sama sekali jalan cerita acara. Pikirannya masih tertuju ke dua hal yang mengganggunya sedari di sekolah: ayahnya dan Alice.

Kemudian Addo mendapat ide... Selagi neneknya ada disini, kenapa tidak dia bertanya saja tentang ayahnya? Siapa tahu neneknya mau bercerita lebih banyak ketimbang ibunya.

Dia melakukannya. "Nenek?"

"Ya?"

Addo mengambil sebuah kue lagi. "Aku mau bertanya sesuatu."

Neneknya tidak mengalihkan pandangan dari TV. "Oh, tentang apa?"

"Nenek janji kan mau menjawabnya?" tanyanya untuk meyakinkan. Cheryl Gilbson hanya mengangguk, dan senyum lega terulas di wajah Addo.

Lalu dia mulai, "Ini tentang Papa... Aku... aku hanya ingin tahu... semasa hidupnya, Papa itu orangnya seperti apa, Nek?"

Neneknya tidak langsung menjawab. Merespon apapun dia tidak. Dalam hati Addo sudah was-was kalau neneknya juga akan menghindari pertanyaannya, hingga ia tidak sadar kalau dia menahan napas. Tapi memangnya salah jika Addo ingin tahu seperti apa ayahnya semasa hidupnya? Semua anak sepertinya juga akan menanyakan hal yang sama, kan?

"Soal ayahmu..." leher Addo seketika tertegak saat Cheryl ternyata akan menjawab pertanyaannya! Jantungnya berdebar-debar, dan Addo hampir mengumpat saking tidak percayanya. Ini dia, pikirnya. Akhirnya setelah sekian lama bertanya-tanya...

Sayangnya Addo tidak tahu kalau dia menaruh harapannya terlalu tinggi.

"Sejujurnya Nenek tidak terlalu kenal seperti apa ayahmu karena kami hanya bertemu sekali."

"Hah?! Hanya sekali?!" Addo benar-benar kaget mendengarnya, "Nenek tidak bercanda kan?"

Sayangnya lagi, Cheryl mengangguk yakin. Kemudian wanita berusia lima puluh delapan tahun itu melanjutkan menikmati acara TV-nya, mengabaikan ekspresi kecewa dan bingung diwajah cucu tunggalnya. Diluar dugaan wanita itu, Addo belum menyerah.

"Maksudnya? Aku tidak mengerti," katanya, "Bagaimana bisa Nenek hanya sekali bertemu dengan Papa?"

Kali ini Cheryl tidak memerlukan jeda untuk menjawab. Tapi jawabannya memberikan jeda yang sangat lama bagi merea berdua. "Nenek tahu ini mengejutkanmu. Tapi kau harus percaya pada Nenek, mengerti? Masalah yang sebenarnya adalah kau, Addo. Kau tidak pernah diinginkan oleh kami semua." []

***

yo FFA update agak lambat karena cerita ini susah bro, jujur :'D btw gue sempet iseng ngesearch nama-nama di gugel, and gue nemu nama Addo. Tau artinya? Ternyata Addo berarti kebahagiaan wkwkwkw. Mudah-mudahan FFA berending bahagia ya :') kasian Addonya sedih mulu. Sini sama gue aja, daripada digantungin sama Alice. wkwkwk

-Kiki x

Continue Reading

You'll Also Like

281K 1.8K 4
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
17M 814K 69
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
135K 8.4K 24
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

121K 17.5K 46
hanya fiksi! baca aja kalo mau