Retrouvailles

بواسطة Yupitawdr

7.5M 679K 137K

Samuel itu banyak lukanya. Papanya selingkuh, mamanya meninggal bunuh diri, pas dewasa malah dijodohin dan di... المزيد

Prolog
Bab 1. Kilas Balik 2015
Bab 2. Kilas Balik 2017
Bab 3. Titik Awal
Bab 4. Penilaian Basket
Bab 5. Cewek Murahan?
Bab 6. Memories Bring Back You
Bab 7. Satu Hal di Masa Lalu
Bab 8. Pluviophile
Bab 9. Please, Kill Me
Bab 10. Sudut Kantin
Bab 11. Tidak Ada Senja Hari Ini
Bab 12. Sepatu Air Jordan dan Latar Rooftop
Bab 13. Tiga Cerita
Bab 14. Gloomy Saturday
Bab 15. Rumpang
Bab 16. Semesta untuk Tiara
Bab 17. Tidak Ada yang Pergi
Bab 18. Baby Breath dan Bunga Matahari
Bab 20. Kemarahan Nuca
Bab 21. Menunda Luka
Bab 22. Kita Sama, Sam.
Bab 23. Mirip Alta?
Bab 24. Tak Sanggup Melupa
Bab 25. Mengapa Kita?
Bab 26. Sementara Dengan Jarak
Bab 27. Satu Hal Tentang Lyodra
Bab 28. Calla Lily Putih
Bab 29. Landing on You
Bab 30. Catastrophe
Bab 31. Bekal Untuk Sam
Bab 32. Janji Yang Ditepati
Bab 33. Ribut Berkualitas
Bab 34. Waktu Berdua
Bab 35. Untuk Saling Meninggalkan
Bab 36. Kekacauan
Bab 37. Sedikit Berbeda
Bab 38. Episode Malam Minggu
Bab 39. Dari Ketinggian 30 Meter
Bab 40. Wahana Terakhir
Bab 41. Panggilan Untuk Lyodra
Bab 42. Pengakuan
Bab 43. Rencana Mama
Bab 44. Mereka Ada di Dunia Nyata
Bab 45. Pamit
Bab 46. Bertemu Kalka
Bab 47. Jangan Sakit Lagi
Bab 48. Ulang Tahun Keisha
Bab 49. Kambuh
Bab 50. Before You Go
Bab 51. Surat Dari Samuel
Bab 52. Beberapa Hal Yang Perlu Diceritakan
Bab 53. Sebuah Kebenaran
Bab 54. Teman Baru untuk Lyodra
Bab 55. Jejak di Langit Setelah Hujan
Bab 56. Waktu Bahagia yang Rumpang
Bab 57. Menghilang dan Menjauh
Bab 58. Terbongkar
Bab 59. Lo Putus Sama Lyodra, Sam?
Bab 60. Tentang Foto dan Video
Bab 61. Untuk Samuel
Bab 62. Sama-Sama Butuh Sayap
Bab 63. Titik Masalah
Bab 64. Ditikung Liam
Bab 65. Lyodra Sama Gue Aja
Bab 66. Pergi
Bab 67. Pertengkaran
Bab 68. Dia yang Pergi
Bab 69. Bulan Desember di Batavia
Bab 70. Mencoba Bertanggungjawab
Bab 71. Perkara Anjing
Bab 72. Titik Balik
Bab 73. Alasan Aurbee
Bab 74. Hujan dan Sebuah Keputusan
Bab 75. Menghabiskan Waktu
Bab 76. Selepas Hujan

Bab 19. River Flows in You (Talitha dan Violette)

80.2K 8.7K 3.8K
بواسطة Yupitawdr

Challenge untuk nggak ngeluarin kata-kata kasar di komentar. Bisa? Harus bisa. Biar cepet update.

BTW, 1500 komentar bisa juga nggak?

OKE

SELAMAT MEMBACA

------------------------------------------------------------

Bab 19. River Flows in You (Talitha dan Violette)

Kamu mencoba untuk berlaku baik ke semua orang, sampai lupa kalau itu belum tentu baik buat orang terdekat kamu.

***

SUDAH dua minggu lebih sejak kecelakaan yang menewaskan Brisiana di depan sekolah, suasana masih terasa sama. Sekolah masih sendu karena barusaja berduka. Meskipun gelak tawa terdengar di kantin, di lapangan, di setiap sisi koridor, di kelas, tapi.. setelahnya pikiran mereka akan berujung pada yang sebelum-sebelumnya. Pada Brisiana.

Bahkan beberapa karangan dan bouqet bunga masih bertengger di tempat kejadian. Biasanya, saat bunga-bunga itu mengering, orang-orang menggantinya dengan yang baru.

Karena, ini merupakan kejadian terburuk pertama kali sepanjang sejarah Bridge High School dan begitu membekas di kepala. Beberapa media bahkan sudah mengangkat beritanya, dan untung saja pihak sekolah bergerak cepat lalu klarifikasi serta memangkas habis media yang melebih-lebihkan issue yang ada.

Duka atas kepergian Brisiana tidak hanya di lingkup Bridge High School tapi juga sampai SMA Xaverius yang notabene tetangga dekat karena letaknya pas di seberang sekolah.

Mereka ikut berduka.

Lagipula, siapa yang tidak mengenal Brisiana?

Brisiana adalah gadis yang begitu ceria dan ramah pada semua orang meskipun kadang menyebalkan karena ceplas-ceplos kalau bicara. Tapi, lepas dari itu semua.. Brisiana ada sosok yang baik dan menyenangkan.

Biasanya, Brisiana akan menarik perhatian orang-orang saat gadis itu menggoda dan mengejar-ngejar Elang, bertengkar hingga tendang-tendangan dengan Angkasa, berada di sisi Tiara dan mengoceh banyak hal sepanjang koridor, mengantre makanan di kantin dengan gaya centilnya, dan mencuri perhatian ketika tubuh mungilnya dengan lincah bergerak saat menjadi flyer di team cheersleader.

Tiba-tiba saja, saat Brisiana pergi, ada yang kurang di BHS. Lagi-lagi BHS kehilangan satu murid. Kemarin-kemarin seantero sekolah dikagetkan dengan kepindahan Xabiru, anak kelas satu paling uvvu dan pintar di angkatan utas. Xabiru memiliki kepribadian hampir sama dengan Brisiana. Mereka sama-sama ramah dan menyenangkan. Tapi, belum genap setahun, Xabiru pindah sekolah. Dan plot twistnya pindah ke SMA Xaverius. Tepat di depan BHS. Hingga saat ini belum diketahui alasan jelasnya.

Dan sekarang, Brisiana yang pergi.

Dengan cara mengenaskan.

Hal itu membuat beberapa kepala menerka-nerka dan mulai mengeluarkan teori konspirasi.

"Menurut lo gimana?"

Keisha -yang masih mengenakan seragam cheersleadernya- menghela napas kemudian menatap ke arah deretan pohon flamboyan di depan sekolah. Bunga-bunganya memerah, kontras sekali dengan langit yang sedang biru hari ini.

Sudah setengah bulan berlalu dan semuanya masih terasa sendu. Angin saja rasanya berbeda. Tidak selembut dulu, kali ini seperti menusuk hingga ke tulang. Padahal matahari masih bertengger di langit, sedikit bersembunyi di balik awan.

"Gue.. nggak tahu."

"Gue juga." Ziva menghela napas. Ia terlihat bingung dan tidak tahu harus memihak siapa.

Jadi.. beberapa murid, terlebih teman sekelas Brisiana protes bahkan membuat petisi untuk mengeluarkan Lyodra dari sekolah. Padahal, bukan rahasia umum lagi jika kasus ini berakhir damai. Pihak keluarga Brisiana dan Lyodra sudah datang ke sekolah untuk menyelesaikan kekacauan ini. Dan masalahnya sudah selesai.

Tapi, mereka, beberapa oknum murid, tidak. Apalagi, yang mereka tahu, hubungan Lyodra dan Tiara tidak baik. Belum lagi soal permasalahan Brisiana dan Lyodra di kamar mandi -tepat sebelum kecelakaan terjadi- mencuat ke permukaan dan menjadi pembahasan panas.

Mereka beranggapan kalau Lyodra melakukaknnya dengan sengaja.

"Tapi, gue yakin, Lyodra nggak sejahat itu demi seorang Nuca. Meksipun dia suka tantrum dan menggebu-gebu, dia nggak akan senekad itu. Kecuali, kalau dia emang rada.. psycho," " kata Keisha memecah keheningan. Jujur, ada rasa bersalah dalam dirinya karena belum sekalipun menjenguk Lyodra. Ia merasa sama seperti yang lainnya. Hanya melihat dari satu sudut pandan yang masih semu. Belum jelas.

"Kita nggak akan tahu kalau kita nggak tanya langsung," timpal Ziva.

Keisha menoleh. Ia menyandarkan tubuhnya pada pembatas balkon. Membiarkan angin menghempaskan anak-anak rambutnya.

"Jangan ditanyain macem-macem dulu kalau ketemu. Kasihan," ucap Keisha membuat Ziva merengut.

"Tapi, jujur gue--ASTAGA KEI!!" pekik Ziva langsung berbalik. Jantungnya berdegup kencang. Instrument piano River Flows in You-nya Yiruma mengalun pelan membuat bulu kuduknya berdiri. Ia melirik Keisha seolah mencari pembenaran atas pendengarannya. "Lo dengar kan Kei?"

Keisha mengangguk. "Anak musik kali yang main piano."

"Kok gue merinding ya. Kenapa jadi magis gini sih, lo nggak ngerasa?"

"Sedikit." Tidak ingin membuat Ziva semakin menerka-nerka dan parno, Keisha beranjak masuk. Karena posisinya memang di balkon ruang musik sejak tadi. Ia sudah menggeser jendela ke samping, membuat cahaya matahari senja merangsek masuk ke dalam ruangan lalu.. menabrak wajah seseorang di balik grand piano yang menghadap langsung ke arah jendela.

Ruangan mendadak hening karena permainan piano tadi berhenti.

Baik Keisha ataupun Ziva, mereka sama-sama menahan napas melihat seseorang di depannya.

"Hai," sapa orang tersebut sambil tersenyum.

"Seriusan gue gemeter sialan," bisik Ziva pelan ke dekat telinga Keisha.

Tapi, tipikal Keisha yang tidak terlalu meributkan suatu hal, jadi ia mencoba tenang dan masuk ke dalam. Ia menutup kembali jendela dan menggeser gorden agar ruangan tersebut lebih terang.

"Lo belum pulang, Let?" tanya Keisha basa-basi sambil tersenyum.

"Seperti yang lo lihat." Gadis bernama Violet itu tersenyum hingga matanya menyipit. Jujur, Violet cantik sekali. Terlalu cantik sehingga membuatnya sedikit aneh dan terkesan tidak normal. Kulit putih pucat mirip vampire, rambut hitam legam, mata heterochromia dengan warna biru dan ungu pekat mirip tokoh anime, pokoknya aneh tapi..cantik. Apalagi, gadis itu memiliki senyum dan tatapan yang teduh sekali dan sedikit menakutkan.

Seperti tadi misalnya, saat Violet menaikkan pandangan dan cahaya matahari menubruk wajahnya, terlihat sangat aneh dan menyeramkan. Padahal, gadis itu tersenyum tadi. Mungkin karena rumor yang beredar di sekolah. Tentang Violet yang bisa melihat dan berteman dengan hantu, tentang Violette yang reinkarnasi dewi Yunani, dan banyak lagi berita simpang siur lainnya.

"Oh, kalau gitu kita duluan ya, Let."

Violet mengangguk. Ia tersenyum melihat Ziva yang banyak diam dan mencuri-curi pandang ke arahnya sejak tadi. Gadis itu bahkan menunjukkan sekali gesture ketakutan.

"Kenapa lo ngelihatin gue gitu? Ada yang ngikutin gue ya?!!" tanya Ziva mulai parno. Ia tidak jadi pergi dan menatap Violet penuh tanya.

"Siapa?"

"Hontu, arwah, atau apapun itu!"

"Nggak ada. Cuma, lain kali jangan kebiasaan meratapi orang yang sudah meninggal. Jangan dibuat kembali ke pikiran."

"Gue nggak gitu!" kilah Ziva.

"Kalian tadi mikirin persoalan Lyodra dan.. Bri kan?"

Keisha yang biasanya cuek tidak bisa lagi untuk terus demikian. Jujur, tangannya dingin. "Bri ada disini?"

"Di belakang kalian."

"Violet!!" pekik Keisha dan Ziva sambil menghambur ke arah Violet.

Violet tertawa dibuatnya. Ia kembali menekuni tuts-tuts piano di depannya, memulai kembali permainannya yang tertunda. "Berhenti mikirin dan ratapin kematian Bri lagi. Biarin dia pergi dengan tenang. Orang-orang terlalu mempersulit dan memperpanjang permasalahan, itumembuat Bri nggak bisa pergi."

"Jadi hontu Bri beneran ada disini?" tanya Ziva penasaran sambil menelisik penjuru ruangan musik.

Lagi-lagi, Violet menghentikan permainan pianonya. "Lupain. Bri udah pergi. Jadi, berhenti berpikir dia masih disini. Kalian mau dia kembali?"

"Emang bisa?" tanya Ziva kepo.

"Untuk apa dulu?"

"Tanya Lyodra sengaja atau enggak pas nabrak dia," jawab Ziva polos.

"Harusnya lo tanya Lyodra. Bukan Bri."

Keisha yang mulai tertarik obrolan meeeka, memilih mendekat. Ia menumpukan sebelah tangannya pada body piano. "Bukannya, nggak ada maling yang mau ngaku."

Violet tersenyum. Ia menatap kosong ke arah jendela. Tepat pada matahari yang semakin lengser dan melebur dengan senja.

"Lo boleh percaya atau enggak. Gue nggak akan memaksa. Tapi, kali ini Lyodra emang nggak sepenuhnya salah. Dia nggak sengaja dan

..perlu cepat diselamatkan."

***

BENNEDITH tersenyum lebar sambil meneliti kemasan air mineral yang dibawa gadis di depannya itu alu meminum hingga setengah.

"Kamu udah makan?" tanya Bennedith sambil menaikkan pandangannya.

Gadis itu -Talitha- mengangguk semangat sambil tersenyum malu-malu. Hampir setahun bersama Bennedith tapi rasanya masih sama. Masih suka nervous jika bersama. Ia berani bertaruh, pipinya pasti merah padam sekarang.

"Kenapa sih gemmay gini kamu?" Bennedith mencubit pipi Talitha gemas kemudian melirik sekitar lalu.. menciumnya. Di pipi.

"Kebiasaan," rutuk Talitha sambil memukul lengan Bennedith. Masalahnya mereka sedang di lapangan indoor. Di tribun paling bawah karena Bennedith barusaja selesai latihan basket.

Bennedith tertawa dibuatnya. Ia menempelkan botol minumannya tadi ke pipi Talitha. Membuat rasa dingin menjalar di pipi gadis itu. "Didingini dulu biar nggak merah," canda Bennedith.

Talitha merengut dan merampas botol tersebut lalu menyimpannya di kursi tribun sebelah. "Kamu pulang jam berapa nanti?"

"Hm, sore. Mungkin jam lima. Kenapa?"

"Padahal pengen jalan-jalan," keluh Talitha.

"Kan bisa nanti malam."

"Kamu nggak jenguk Kak Lyodra lagi?!" tanya Talitha dengan raut berbinar. Karena, akhir-akhir ini Bennedith sibuk menjenguk Lyodra. Mau melarang, Talitha terlalu takut. Takut Bennedith pergi jika ia terlalu mengekang.

Bennedith menggeleng. "Nggak. Kangen kamu. Habisnya aku ditinggal sampai tiga hari tanpa kontakan." Ia tersenyum kemudian mengusap rambut Talitha. "Jadi pengen peluk, sayang lagi ramai."

"Ayo cari tempat sepi! Aku juga kangen banget!"

Bennedith tertawa. Ia merangkul bahu Talitha gemas. Yang melihat mereka pasti merasa iri. Mereka adalah salah-satu pasangan paling harmonis di sekolah. Talitha itu adalah adik tingkat Bennedith. Dulu, Talitha diam-diam menyukai Bennedith. Tapi, endingnya begitu menggemaskan ketika mereka akhirnya bisa bersama hingga saat ini.

"Gimana di Belitung kemarin?"

"Bagus! aku suka banget."

"Kapan-kapan aku ajak keliling Indonesia mau?"

"Mauuu!!"

Bennedith melepaskan rangkulannya. Ia melihat Liam memberinya kode agar kembali cepat ke lapangan untuk memulai latihan kembali.

"Aku mau balik latihan dulu. Kamu pulang duluan aja jangan nunggu, nanti malam aku jemput, oke."

"Siap bos!" ucap Talitha sambil hormat.

Kadang, Bennedith merasa sangat beruntung bisa memiliki Talitha. Gadis itu begitu pengertian sekali dan sangat ceria. Hal itu semakin membuat hari-harinya semakin berwarna.

Ternyata, jatuh cinta tidak seberat seperti yanh orang-orang katakan. Buktinya, sudah sebelas bulan bersama Talitha, semuanya masih baik-baik saja.

"Ya udah sana, hati-hati."

Oranglain mungkin mengatakannya alay, berlebihan atau apapun itu. Tapi, serius, Bennedith tidak malu memberikan cium jauh pada pacarnya yang saat ini sudah berlari ke pintu keluar lapangan.

"Lo nggak merasa bersalah ke Talitha, Ben?" tanya Liam yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya.

Bennedith menoleh. Ia menatap Liam bingung. "Maksudnya?"

"Ya, lo kan selalu baik ke semua orang. Ke cewek-cewek juga. Apalagi, akhir-akhir ini lo selalu perhatian dan ngaku-ngaku Lyodra sebagai calon pacar lo, sedangkan di sisi lain lo udah ada pacar."

"Yaelah, gue bercanda kali, Yam."

Liam menghela napas. "Itu kebiasaan buruk lo. Lo baik ke semua orang, lo perhatian ke ini dan itu, terus bilang yang manis-manis lalu lo cuma bilang semuanya bercanda. Padahal, nggak semua orang bisa menganggap perlakuan lo itu hal biasa. Nggak semua orang itu sama, Ben."

"Kok lo yang baper sih? Talitha biasa aja deh."

"Darimana lo tahu dia baik-baik aja kalau lo baiknya ke semua cewek?"

"Dia nggak pernah bilang."

"Males bilang karena lo susah dibilangin."

"Jadi menurut lo gue salah?"

"Lo baik ke Lyodra nggak salah. Tapi, sampai nomer duain Talitha demi Lyodra, itu yang salah. Pokoknya, kalau sampai lo nyakitin adik gue, habis lo di tangan gue," kata Liam dan berlalu pergi.

Samuel berdecak mendengar perdebatan kedua temannya. Sebenarnya ia juga greget dengan Bennedith. Ia sudah berkali-kali mengingatkan agar tidak lagi mendekati dan perhatian ke Lyodra untuk menjaga perasaan Talitha tapi Bennedith keras kepala.

"Sebaiknya lo berhenti berlaku kayak yang nggak punya pacar, Ben. Kalau orang yang lo baikin baper dan salah ngartiin kebaikan lo, lo juga yang repot," ucap Samuel menengahi. "Jangan deketin Lyodra lagi. Bukannya gue lancang apa gimana. Tapi, asal lo tahu, Lyodra itu calon tunangan gue."

***

"LO balik hari ini?"

Lyodra mengangguk. Ia merapatkan jaketnya tanpa semangat menanggapi pertanyaan Samuel. Pasalnya, lelaki itu datang tiba-tiba, membuat moodnya berubah drastis. Padahal, akhir-akhir ia ia sedang mode bahagia karena papanya sering meluangkan waktu untuk menemani. Mirabeth juga. Meskipun masih kurang lengkap, ia sudah merasa cukup.

Mereka bercerita tentang banyak hal. Tentang film yang barusaja mereka tonton ulang. Mulai dari Red Ridding Hood, Alice in Wonderland hingga Hansel & Grettel. Lalu bercerita tentang Wina dan cita-cita Lyodra menyusul Mirabeth kelak. Tentang hal-hal yang mungkin teraih dan tidak, mereka ceritakan semua.

"Bokap sama kakak lo kemana?"

"Papa ngurus administrasi, kak Abe beli kopi di kantin," jawab Lyodra. "Lo mau ngapain kesini? Entar ketahuan mereka."

"Bagus. Sekalian kenalan."

Lyodra menoleh. "Sam, lo nggak berniat ngelakuin hal buruk kan? Gue kan udah janji buat nurut asal nggak ngelibatin mereka. Jadi, jangan buat semuanya makin rumit!"

Samuel berdecak. Ia melirik plastik klip berukuran besar tergeletak di atas nakas. Samuel meraihnya, "Rambut lo nih?"

Lyodra tidak menjawab. Ia menunduk karena matanya mulai berkaca-kaca dan kembali mellow. Ia cukup kaget, bukan cukup, tapi sangat kaget begitu bangun dan tahu kalau seluruh rambutnya dipotong habis sebelum operasi. Padahal, sejak dulu, ia sangat merawat rambutnya. Membiarkannya panjang seperti yang ia mau. Karena waktu kecil, ia ingin sekali rambutnya seperti Rapunzel, lalu ia bisa menghiasinya dengan bunga-bunga dan.. bercahaya.

Sekarang, ia harus menerima semuanya.

"Lah, nangis." Samuel mendengus. Ia meletakkan kembali plastik klip tadi lalu duduk di pinggiran brankar. "Nangis nggak bikin rambut lo tumbuh sekejab. Mending lo pasang kaos kaki terus turun, biar enak tinggal pulang entar," suruh Samuel sambil mendorong pelan bahu Lyodra.

Lyodra bergeming dan menangkup wajahnya dengan tangan. Ia semakin terisak karena memikirkan bagaimana ia setelah ini.

"Cepetan. Jangan nangis, anjxr. Entar gue dikira ngapa-ngapain lo!"

Suara pintu yang terbuka membuat Samuel langsung siaga. Ia segera meraih bahu Lyodra agar menghadapnya lalu sambil tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa, Samuel menghapus air mata Lyodra.

"Udah jangan nangis, nggak apa-apa," ucap Samuel. Ia meraih tudung jaket yang dipakai Lyodra kemudian memakaikannya. "Gini aja kalau nggak percaya diri. Tetep cantik kok," lanjut Samuel sambil tersenyum dan sedikit mengintimidasinya melalui tatapan.

Lyodra yang mengerti maksud lelaki itu akhirnya memaksakan senyumnya. Ia membiarkan ketika Samuel mengusap punggungnya lembut, menunggu lelaki itu menujukkan seberapa pandai berakting.

"Eh ada teman Lyodra ya," ucap Adipati begitu melihat Samuel di dekat Lyodra.

Samuel tersenyum dan beranjak untuk mengalami lelaki paruh baya itu. Lyodra yang memperhatikan langsung ngeri. Samuel seperti memiliki kepribadian ganda. Moodnya bisa berbubah hanya dalam sepersekian detik.

"Udah lama?"

"Baru aja datang, om."

Adipati tersenyum lebar, ia menepuk pelan bahu Samuel lalu menghampiri Lyodra yang sudah duduk di atas brankar. "Nangis lagi?" tanya Adipati melihat wajah sembab Lyodra. Lelaki itu mengusap pelan punggung Lyodra lalu mencium keningnya penuh sayang. "Jangan nangis dong, udah dijenguk temennya tuh," goda Adipati sambil menekan kata 'teman' di kalimatnya.

Bukannya tenang, Lyodra malah menangis dan memeluk papanya erat. Hal itu membuat Adipati sedikit oleng. Untung saja ia cepat mengimbangi diri.

"Siapa namanya, Ly?"

Lyodra mengeratkan pelukannya. Samuel benar-benar menyeramkan. Bagaimana bisa ia sepandai itu untuk berkamuflase?

"Siapa nama teman kamu, hm?"

"Sam, Pa. Samuel."

***

"KAMU teman sekelas Lyodra, Sam?"

Samuel yang fokus menyetir, menoleh sekilas dan tersenyum kecil. "Iya, Om."

Sekarang mereka berada di mobil Samuel. Lelaki itu yang menawarkan untuk menumpang karena mobil Mirabeth masih di bengkel. Dan Adipati juga tidak membawa mobil. Daripada naik taksi online seperti rencana pertama tadi, jadi Samuel menawarkan diri. Hitung-hitung untuk mendalami peran.

"Gimana dia kalau di kelas? Nakal dan suka bolos pelajaran nggak?"

Samuel terkekeh menanggapi. "Lyodra nggak pernah nakal kalau sama Sam."

"Karena?"

"Takut," jawab Sam sambil melihat ke arah spion di atasnya. Ia melihat tepat pada Lyodra yang sekarang bersama Mirabeth di belakang. "Takut aku marahin."

Adipati tertawa. "Iya, kamu marahin aja kalau dia nakal."

"Tapi, Lyodra suka ngebantah kadang-kadang," kata Samuel sambil menyeringai sekilas lalu menormalkan kembali ekspresinya. "Untung sayang."

Tidak hanya Adipati, Mirabeth juga tergelak dibuatnya. Sedangkan Lyodra memilih diam saja sambil terus memeluk Mirabeth dari samping. Lyodra sadar. Semakin kesini, Samuel semakin menyeramkan.

Mereka membicarakan banyak hal setelah itu. Untungnya, pengetahuan Samuel luas jadi nyambung diajak ngobrol ngalur ngidul sepanjang perjalanan menuju apartement Mirabeth.

Jalanan Jakarta masih seperti biasanya, padat dan tidak pernah berhenti beraktivitas. Tapi, ada yang berbeda dari Jakarta malam ini. Bintang-bintang terlihat bertaburan di langit. Samuel bisa melihatnya dengan jelas dari kaca mobil. Samuel suka sekali konstelasi bintang.

Tapi, ia paling tidak suka menikmati keindahan mereka ditemani orang-orang yang dibencinya.

***

"BENERAN nggak apa-apa ya Om, aku antar sampai depan aja," kata Samuel tidak enak hati saat ia hanya mengantarkan mereka sebatas sampai depan apartemen saja. "Kalau aja nggak ada acara keluarga, udah Sam anter sampai basement."

"Nggak apa-apa. Justru saya berterimakasih sekali ke kamu. Kapan-kapan main kesini. Atau besok, mumpung saya masih di Jakarta."

"Aku usahain Om," ucap Samuel. Ia melirik Lyodra yang sejak tadi menunduk dan enggan menatapnya.

"Kamu mau masuk sekolah kapan?" tanya Samuel.

Lyodra mendongak. Ia menatap Samuel sebentar kemudian menjawab. "Nggak tau."

Samuel menghela napas. Ia mencoba bersabar dan mempertahankan senyumnya. "Nanti chat aku aja, biar aku jemput kalau sekolah."

Lyodra mengangguk menanggapi. Mirabeth yang mengerti keduanya membutuhkan privasi, langsung memberi kode pada papanya agar sadar diri dan pergi. Tapi, sayangnya Adipati tidak mengerti dan tetap berdiri di tempatnya.

Mirabeth menghela napas karena Adipati tidak peka-peka. Ia menyikut pelan lengan Lyodra membuat adiknya itu menoleh "Gue sama papa nunggu di lobby ya, jangan la-lama," ucapnya pada Lyodra.

Setelah itu, Mirabeth menghampiri Adipati dan menggamit lengannya. "Gue tinggal dulu ya, Sam," pamit Mirabeth pada Samuel dan membawa Adipati untuk masuk. Samuel hanya mengangguk sopan untuk menanggapi. Apalagi, ketika Adipati tersenyum dan pamit juga.

Setelah keduanya benar-benar hilang dari pandangan, Samuel menatap tajam ke arah Lyodra. "Bisa nggak sih lo bersikap baik ke gue kalau di depan mereka?!!"

Helaan napas Lyodra terdengar jelas. "Lo lagi ngerencanain apa sih, Sam?"

"Pokoknya gue mau lo bersikap baik ke gue. Anggap gue pacar lo ngerti!"

"Pacar?"

"Iya."

"Maksudnya kita pacaran?"

"Tolol. Pura-pura doang! Di depan mereka, anak-anak sekolah, siapapun itu, berlaku seolah-olah lo pacar gue, ngerti?!"

"Lo mengerikan, Sam."

"Gue nggak mau tahu. Pokoknya sekarang kita pacaran."

"Lo nembak gue?"

"Anjxng. Terserah lo!" Dengan gerakan tergesa Samuel meraih sakunya lalu mengeluarkan ponsel dari sana. "Selama lo belum ada HP, pake HP gue dulu. Awas aja nanti kalau tetap susah dihubungin. Gue habisin lo."

"Iya," kata Lyodra malas membantah lagi.

"Udah sana pergi. Muak gue."

Lah, yang harusnya pergi kan lo, Sam?

Lyodra memasukkan ponsel pemberian Samuel tadi ke dalam saku lalu berbalik pergi. Belum genap empat langkah, Samuel memanggilanya lagi.

"Apa?"

"Lo nggak mau ngucapin terimakasih ke gue, pacar?"

-----------------------------------------------------

Whoaaahhh gimana perasaan kalian setelah baca BAB ini?

Terimakasih sudah membaca sejauh ini.

Jangan lupa vote dan komentar ya!

Follow Instagram dibawah ini ya buat tahu info-info baru nantinya.

yupitawdr_

everydaywithyupi

-----------------------------------------------------------

Open Q&A untuk :

Nuca

Lyodra

Samuel

Tiara

Bennedith

Ziva

Keisha

Liam

Angkasa

Elang

Aku

Kira-kira sampai berapakah komentar di BAB ini?

Masih sabar nunggu gue update?

Sambil nunggu, ayo kibarkan bendera kapal masing-masing. Gue pengen tahu, kapalnya udah berlayar sampai mana wkwk.

Coba, kalian kapal mana?

#NUCALYO

#NUCATIARA

#NUCAYUPI

#SAMLYO

#SAMTIARA

#SAMBALADO

#LYODRABAHAGIA

#TIARABAHAGIA

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

MANTAN (SELESAI) بواسطة Ay

قصص المراهقين

56.9K 2.3K 33
SELESAI Warning!!! Harap bijak untuk memilih bacaan!! - - Apa jadinya, jika seseorang yang telah kamu lupakan selama ini, tiba-tiba datang dan me...
RETAK بواسطة lia

قصص المراهقين

411K 25.7K 60
COMPLETE ✅ ⚠️ALUR BERULANG⚠️ "Ay, ayo putus!" DON'T BE SILENT READER PLEASE! BIASAKAN VOTE SETELAH MEMBACA UNTUK MENGAPRESIASI PENULIS. #1 Sad Romanc...
1.8M 49.8K 23
(S)He Is Crazy [SHIC #1] ✅ Cover By @Lita-aya SUDAH DITERBITKAN! BISA DIDAPATKAN DI TOKO BUKU KOTA ANDA! .: +++++ :. Menikah dengan musuh bebuyut...
EXPECT بواسطة Fnyxn_

قصص المراهقين

2K 215 15
Argi Naufal, kapten tim basket, punya geng namanya MOIRA. Jika ditanya soal patah hati mungkin kebanyakan orang akan bilang bahwa tak mungkin seorang...