PEMILIHAN RAJA & RATU SEKOLAH...

By darasalsa

70.7K 10.1K 1.2K

[Sebelum baca, follow akunku dulu yah!] #1 di Thriller [21 Juni 2020], #1 di Teror [21 Juni 2020] Bagaimana p... More

Prolog
✉ 1 || Vienna Esterina Elara
✉ 2 || Riga Nara Neonatha
✉ 3 || Vienna Esterina Elara
✉ 4 || Riga Nara Neonatha
✉ 5 || Vienna Esterina Elara
✉ 6 || Riga Nara Neonatha
✉ 7 || Vienna Esterina Elara
✉ 8 || Riga Nara Neonatha
✉ 9 || Vienna Esterina Elara
✉ 11 || Vienna Esterina Elara
✉ 12 || Riga Nara Neonatha
✉ 13 || Vienna Esterina Elara
✉ 14 || Riga Nara Neonatha
✉ 15 || Vienna Esterina Elara
✉ 16 || Riga Nara Neonatha
✉ 17 || Vienna Esterina Elara
✉ 18 || Riga Nara Neonatha
✉ 19 || Vienna Esterina Elara
✉ 20 || Riga Nara Neonatha
✉ 21 || Arthur Elias
✉ 22 || Vienna Esterina Elara
✉ 23 || Riga Nara Neonatha
✉ 24 || Arthur Elias
✉ 25 || Vienna Esterina Elara
✉ 26 || Riga Nara Neonatha
✉ 27 || Arthur Elias
✉ 28 || Vienna Esterina Elara
✉ 29 || Riga Nara Neonatha
✉ 30 || Arthur Elias
Bagian 2

✉ 10 || Riga Nara Neonatha

1.7K 309 31
By darasalsa

Cewek itu membuka topengnya dengan kesal lalu berjalan meninggalkanku. Sialan, masa dia menolak membantuku!

Sebenarnya, aku tidak masalah sih kalau menyelidiki soal kepengurusan Raja dan Ratu Sekolah sendirian. Tapi kalau ada bahaya, aku kan tidak mau mati sendirian, hehe. Tentu saja aku harus mengajak teman. Seperti Vienna, misalnya. Vienna lumayan cantik sih kalau diperhatikan. Jadi kalau kami mati bareng, aku tidak keberatan jadi pasangan hantunya.

Oke, cukup. Pikiranku memang terlalu konyol. Aku malah berpikiran sinting di saat-saat genting. Aku mencekal tangannya. Dia berusaha melepaskan cekalanku. Tapi aku kan lebih kuat dari dia.

"Dengerin dulu," ujarku membuatnya berhenti meronta. "Lo nggak penasaran kenapa Anna bisa menghilang?"

Ya, salah satu kandidat bernama Anna telah menghilang. Aku yakin banget kalau ada yang tidak beres di sini. Seharusnya semua menyadari hal itu. Tapi aku yakin mereka semua egois dan hanya memikirkan diri mereka sendiri.

Vienna menggeleng. Wajahnya pucat kehijauan. Mungkin dia ketakutan. Dan dengan tidak berperi kemanuasian, aku mengajaknya bergabung dalam penyelidikan.

"Vien, kalau mereka nggak dihentikan, besok-besok akan ada kandidat yang hilang lagi. Sampai saat giliran lo tiba, lo mau hilang gitu aja?"

Dia terlihat terkejut mendengar ocehanku. Wajahnya takut, kaku, tegang, bercampur cemas. "Tapi aku juga takut kalau bertindak macem-macem. Gimana kalau justru kita yang celaka karena berusaha mencari tahu hal yang seharusnya tidak boleh kita tahu?"

"Kan ada gue," ucapku layaknya superhero yang siap menegakkan keadilan di muka bumi. Tapi aku juga tidak omong kosong kok. Aku siap melindungi Vienna kalau sampai cewek itu terancam bahaya. Walau kelihatannya aku adalah anak manja yang punya banyak orang untuk disuruh-suruh, lebih dari apapun aku bisa diandalkan. Aku menguasai beberapa ilmu beladiri. Aku juga rajin berolahraga. Oh ya, aku ini atlet olahraga anggar dan menembak. Keren banget kan?

"Tapi," gumam cewek itu pelan. Sepertinya ia masih bimbang. "Oke, deh. Tapi kamu harus janji nggak akan bertindak yang membahayakan keselamatan kita."

Aku tersenyum puas. Yes, dia mau juga. Oke, kalau gitu saatnya bertindak!

Aku menyeret Vienna kembali ke gedung sekolah. Cewek itu memekik kaget. Mungkin dia pikir, penyelidikan ini tidak akan dilakukan sekarang juga. Tapi kapan lagi coba? Besok pagi kami harus mengikuti serangkaian acara MOS. Belum lagi kalau ternyata malamnya kami harus berkumpul lagi, maka kesempatan untuk menyelidiki keanehan ini hanyalah malam ini.

"Riga, sekolah udah sepi banget!" Vienna terlihat gusar. Meski begitu, dia tetap mengikutiku.

Aku terkekeh. Memangnya sejak tadi sekolah ramai gitu? Enggak kan. Tadi memang ada kandidat Raja dan Ratu Sekolah lainnya. Tapi kan jumlah mereka tidak banyak-banyak amat untuk membuat keadaan ramai. Jadi sedari tadi juga suasananya sama saja.

"Tenang aja," ucapku lembut. Berharap dia tenang dan tidak banyak bicara lagi.

Vienna menghela napas. Mungkin dia sudah pasrah sepenuhnya dan membiarkan aku mengendalikan keadaan.

Aku melihat bayangan melintas di ujung tangga. Oke, aku mengajak Vienna berbelok di koridor menuju toilet. Pertama-tama, kami harus sembunyi. Setelah kurasa aman, aku membawa Vienna menuju gedung kelas.

Aku ingat sesuatu. Tadi aku sempat melihat Anna di salah satu ruang kelas. Dia sedang berebut mahkota dengan Mey. Tapi aku tidak tahu kelanjutan perdebatan mereka.

Kalau mahkota Anna sudah ditemukan Mey, kenapa pada akhirnya Anna yang gugur? Apa Anna gagal menemukan mahkota Mey, lalu Mey melakukan sesuatu untuk membuat Anna kalah? Yang jelas, Mey akhirnya berhasil lolos misi ini. Dan justru sebaliknya yang terjadi pada Anna.

Mungkinkah aku harus bertanya pada Mey? Tapi aku belum tau karakter Mey itu seperti apa. Kalau dari kelihatannya, dia itu ceria. Tapi bisa saja kan dia menganut prinsip diam-diam menghanyutkan. Kelihatannya baik dan ramah, tapi aslinya tidak begitu. Jadi aku takut salah langkah.

Kuputuskan untuk tidak bertanya pada Mey terlebih dahulu. Aku harus berusaha mencaritahu apa yang bisa kucaritahu dari gedung-gedung sekolah ini. Kalau memang tidak ada pencerahan, barulah aku bertanya pada Mey.

Aku melongok ke dalam kelas yang menjadi setting adegan adu mulut Mey dan Anna. Kelas masih dalam kondisi rapi. Tidak ada tanda-tanda perkelahian, kerusakan, atau kekerasan.

Oke, sejauh ini, tidak ada yang perlu dirisaukan soal kelas. Aku mengajak Vienna mengecek lantai dua. Baru saja akan naik ke tangga, aku mendengar orang bercakap-cakap di atas. Suara percakapan itu terdengar makin keras. Pasti pelaku percakapan sedang bergerak menuruni tangga.

Vienna menarik-narik lenganku, panik. Oke, lagi-lagi kami memutuskan untuk bersembunyi. Aku membawa Vienna bersembunyi di ruangan kecil di bawah tangga.

"Rig, pulang aja yuk. Jujur, aku takut!" Vienna memohon-mohon padaku.

Aku mendelik kesal. Suara Vienna lumayan keras juga. Bagaimana kalau mereka dengar?

"Rig, habis ini kita balik ya. Pokoknya aku mau pulang aja. Kalau misal kamu masih mau ada di sekolah ini, aku—" ucapannya berhenti begitu kubungkam mulutnya. Dia tidak terima, tapi aku memelototinya.

Vienna akhirnya diam juga. Suara percakapan orang—entah siapa itu—terdengar persis di atas kepalaku. Mereka sudah turun dari tangga dan lewat di hadapanku. Jantungku rasanya seperti genderang perang. Deg-degan dan hampir meledak.

Kedengarannya aku pengecut banget. Tapi aku berani bersumpah bahwa aku hanya takut mereka mengetahui keberadaan kami. Usaha kami yang belum seberapa ini bisa langsung hancur berantakan, bahkan sebelum berbuah manis.

Vienna menyandarkan kepalanya di bahuku. Mulutnya masih kututup dengan tanganku. Wajahnya pucat dan rada gemetar.

"Rig, pulang sekarang ya," ujar Vienna begitu aku menjauhkan tanganku dari mulutnya.

Duh, gimana ya? Kami belum mengecek lantai dua. Dan karena barusan ada dua orang—berjubah hitam dengan hiasan warna emas—turun dari lantai dua, aku yakin ada sesuatu di sana.

"Vien, kita naik ke lantai dua sebentar ya. Setelah itu kita turun terus gue anterin lo balik. Lagian sopir gue juga belum sampai."

"Enggak, aku bisa pulang sendiri kok."

"Tapi, Vien, emang lo berani jalan ke pintu gerbang sendiri? Lo nggak liat mereka dari tadi berkeliaran jalan kesana-kemari? Gimana kalau nanti pas di tengah jalan lo dihadang sama mereka?"

Vienna tampak berpikir. Lagi-lagi sepertinya dia akan terpengaruh ucapanku. Wah, sepertinya aku berbakat dalam bidang menghasut orang, haha.

Wajah Vienna tampak masam. Tapi ia akhirnya mengangguk.

"Oke, sebentar aja, ya! Setelah ngecek ke lantai dua, kita langsung keluar dari sekolah ini."

"Oke."

Setelah berkata begitu, aku langsung keluar dari tempat persembunyian. Aku meneliti keadaan sekitar. Setelah dirasa aman, aku mengode Vienna agar mengikutiku naik ke lantai dua.

Lantai dua sepi. Sepertinya memang tidak ada sesuatu terjadi di sini. Tapi aku belum puas hanya melihat bagian luarnya saja. Aku harus mengecek ke dalam ruangan-ruangan yang ada di lantai dua.

Aku membuka satu ruang dan berpindah ke ruang yang lain. Sejauh ini masih tak ada yang aneh. Tapi begitu aku membuka ruangan di ujung koridor, ini ruang BK lama, aku bisa melihat genangan darah. Ya, genangan darah yang baunya membuatku mual.

Vienna sudah nempel padaku. Aku tidak tahu kalau dia sepenakut ini. Tadinya kupikir dia adalah cewek langka karena berani tinggal di kompleks perumahan mati.

Vienna bertanya gemetaran sambil menunjuk genangan berbau anyir itu, "Riga, itu darah?"

"Apalagi kalau bukan darah?" gurauku pada Vienna dan sukses membuatku mendapat pukulan ringan di lengan.

"Darah siapa?" tanyanya lagi.

"Darah Anna mungkin," ucapku menimbang-nimbang. Aku sedang berjalan mendekati genangan darah itu.

Lagi-lagi, kami mendengar suara percakapan. Sial, posisi kami terjepit sekarang. Tamatlah riwayat kami!

o0o

Next atau udahan?

Love you all ❤

Continue Reading

You'll Also Like

Erlangga By Cewek_Halu

Mystery / Thriller

32.7K 2K 15
Erlangga adalah seorang pemuda berusia 18 tahun dengan sikap keras dan penampilan yang menunjukkan kehidupan penuh perjuangan. Dia sering terlihat de...
2276 By Irfan

Science Fiction

113K 7.8K 19
Keadaan di dunia ini sudah sangat canggih. Manusia sudah menciptakan banyak penemuan yg merubah dunia ini. Semua yg dahulu dianggap tidak mungkin, sa...
1.9K 355 35
Completed. Siapa kira kalau cowok yang menjadi tetangga barunya di sebelah rumah ternyata si Dewa Tawuran yang ditakuti satu sekolah? Nasib Sung Yi...
278K 53.4K 54
(Completed) (BOOK 1 & 2) Diawali penjarahan dan pembunuhan berantai di Jakarta. Kalea, mantan kadet pembunuh terlatih, bergabung dengan organisasi...