GADIS DESA

By TitisariPrabawati

435K 15.2K 855

This work is protected under the copyright laws of the Republic of Indonesia ( UU Hak Cipta Indonesia Republi... More

PROMO UNNAMED SHADOW NOVEL
Village Girl
~Prologue ~
~ Part 1 - Blak ° Jarak Tanam~
~ Part 2 - Ngluku° Membajak~
~ Part 3 - Nggaru ° Menyisir Tanah~
~ Part 4 - Korokan ° Liang Panjang~
~ Part 5 - Paret ° Melepas Bulir~
~ Part 6 - Pacul ° Menggali~
~ Part 7 - Nyebar ° Menebar~
~ Part 8 - Winih ° Benih ~
~ Part 9 - Damen ° Jerami ~
~ Part 10 - Tandur ° Tanam ~
PO UNNAMED SHADOW SERIES
~ Part 11- Nguruk ° Menutup ~
~ Part 12 - Derep °Memanen~
~ Part 13 - Matun ° Menyiangi ~
~ Part 15 - Nggejok ° Merontokkan~
~ Part 16 - Lajo ° Buruh Panen~
~ Part 17 - Mbaron ° Berladang ~
~ Part 18 - Bawon° Upah~
~ Part 19 - Legok ° Cekung ~
~ Part 20 - Galeng ° Pematang~
~ Epilog ~
Pengumuman Giveaway US Series

~ Part 14 - Gampung ° Memungut ~

5.1K 243 7
By TitisariPrabawati



The world isn't over yet

We've still got a chance to place our bets

We both made a little mess

Nothing our two hearts can't put back

---

"Ini nggak bisa dibiarkan..." pikir Kania. Sementara dia merasa begitu lemah dan lelah hampir tidak bisa beranjak dari ranjang, Adree terlihat bugar, lelaki itu sudah mandi walaupun sekarang belum memakai baju dan bertelanjang dada, dan selalu terlihat sempurna dengan bentuk tubuh indahnya. Lelaki itu santai sekali, duduk di sampingnya sambil menekuri laptopnya, sesekali jemarinya dengan lincah mengetuk tuts keyboard melanjutkan pekerjaannya.

"Bangun sayang, sebentar lagi mas berangkat, nggak mau melewatkan subuh bareng kan?"

"Bentar mas, capek..." Kania dengan kesal mencubit lengan Adree yang kekar. "Ini jahat sekali, bagaimana bisa mas tetep bugar sementara aku begitu lemah?"

"Kamu kurang olahraga sih," kata Adree kalem, matanya masih tertuju ke laptopnya.

"Seharusnya, setiap malam kita melakukannya hanya sekali..."

"Itu kan rapel, Kania, besok mas lima hari tidak di sini, biarkan energi mas terkuras bersamamu daripada dengan putri Dubai yang...aduduh..."

"Katanya janji mau setia...?" Kania mencubit lengan Adree.

"Asal kamu bisa memuaskanku, tentu saja mas bakalan setia..."

Kania meringis, "Zina itu dosa lho mas..."

Adree terkekeh, "Iya ...tahu....makanya cepat mandi, mas udah coba konsen lihat kerjaan dari tadi, supaya perhatian bisa teralih, kamu malah berpose menggoda begitu, mau lanjut ronde lagi?"

Kania tertegun, baru menyadari posisi tubuhnya yang menyamping sudah setengah telanjang karena selimut sutra yang licin itu menyibak jatuh.

"Masih ada waktu sih...mau lanjut?" goda Adree. Kania langsung turun dari ranjang dan terbirit-birit ke bathroom.

"Sial, Kania....malah lari telanjang....benar-benar harus dikasih pelajaran!" Adree menyusul pergi ke kamar mandi dan pagi itu cukup gaduh saat Adree bersikeras mandi berdua bersama Kania.

"Dosa lho nolak suami..." Adree nyengir jahil. Kania mengerang kesal di dalam bathtub sambil memukuli dada bidang Adree, tapi tentu saja lelaki itu jauh lebih kuat, pukulan kecilnya tak mampu menghentikan Adree melaksanakan kewajibannya.

---

Seperti biasa, siang hari berlalu begitu cepat, semakin menyenangkan mempersiapkan diri untuk ujian semester, ditambah sekarang Aldi tidak pernah menggodanya lagi. Renata pun tidak terlalu menyerang Kania dan gengnya sehingga semua terasa damai. Kania mengajak Tricia dan Neni belajar bersama di vila bahkan menginap, bu Rindu dan Pak Jamal semakin senang dengan kemeriahan yang mereka hadirkan di Vila. Logat timur Tricia, logat jawa Kania dan Neni dicampur logat sunda mang Jamal. Neni dengan semangat mempelajari resep masakan bu Rindu, semakin meriah lagi saat Yudhis pulang selama beberapa hari.

Tapi tanpa Adree di sisinya, malam berjalan begitu lambat bagi Kania.

"Gimana kabar istriku?" tanya Adree saat menelfon Kania seperti biasanya di setiap malam.

"Baik, Alhamdulilah..."

"Nggak kesepian?"

Kania bercerita tentang kedua temannya yang menginap dan Yudhis yang pulang dari Jakarta.

"Vila jadi ramai..."

"Syukurlah, karena mas ternyata masih beberapa hari lagi ada urusan, setelah dari Dubai, kami ternyata ada acara di Taiwan. Mas baru bisa pulang sabtu depan, oh ya, minta oleh-oleh apa?"

"Nggak usah, yang penting mas Adree sehat disana, makan yang teratur dan jangan melirik gadis-gadisnya, oke?"

"Nggak ada yang secantik kamu kok..."

"Gombalnya mulai..."

"Kania...kamu jangan rindu ya..." Adre tertawa.

"Hmm..."

"Kan sudah ada Bu Rindu..."

Walaupun tertawa karena perkataan Adree, Kania menyusut airmata di sudut matanya. "... mas lama sekali perginya..."

"Sabar sayang...mas pasti pulang, oh ya, boleh minta tolong?"

"Ya?"

"Jenguk Thalita ya, dia pasti kesepian di rumahnya, kemarin mas janji mau main kesana, tapi sepertinya minggu ini nggak bisa..."

"Oh, oke mas, nanti Kania mampir vilanya mbak Lita..."

"Good....mas yakin kalian bisa jadi sahabat baik, nah mas harus kerja lagi...baik-baik di Bogor, nanti kalau liburan semester kita ke Jakarta, mami mau ketemu, kemarin rencananya mami mau ke Bogor, tapi menjelang Puasa dan Idul Fitri, butik lagi persiapan stock, mami sibuk banget jadi belum bisa ke Bogor."

"Nggak papa mas, justru seharusnya kita yang jenguk orangtua..."

"Hmm...betul juga. Goodnight Ken Dedes..."

"Selamat malam Ken Arok," Kania membalas ejekan Adree. Gara-gara setiap malam Adree meminta bercinta habis-habisan dengan alasan paha mulus Kania selalu 'sengaja' disingkap gadis itu untuk menggodanya, Adree menjuluki Kania seperti Ken Dedes.

"Di sini masih siang, Kania..." Adree tertawa. "Apakah kau memakai gaun tidur yang menerawang seperti biasanya?"

Kania berdecak kesal. "Tentu saja tidak, kalau mas lagi enggak di rumah, piyama Kania selalu sopan, tidak ada yang memaksa memakai gaun tidur yang aneh-aneh..."

Adree tergelak.

"Baiklah, tutup telfonnya, sebelum pikiranku mengembara kemana-mana, mengganggu konsentrasi saja..."

Kania menggeleng, "Nggak, mas aja yang nutup telfonnya duluan..."

---

Keesokan harinya, sebelum berangkat kuliah, Kania mengajak Neni dan Tricia mengunjungi vila Thalita, dari kejauhan, Vila itu terlihat indah, tapi setelah didekati, taman depan vila seperti kurang terurus.

"Kamu yakin vila ini ada penghuninya?" tanya Neni.

Tricia mengetuk pintu dan mengucap salam.

"Mbak Lita...Assalamualaikum..." Kania membantu Tricia mengetuk pintu.

"Kayaknya orangnya lagi nggak di rumah..." kata Tricia.

Kania memutar ke belakang dan melongok ke kaca jendela yang terbuka, tidak ada siapa-siapa.

Kania mencium bau busuk yang menyengat di halaman belakang, lalu saat melihat di bawah kakinya, Kania menjerit panjang.

"Apa? Ada apa?" tanya Neni.

"A...anak kucing...apakah dia mati karena keinjek aku ya?"

Neni menggeleng. "Udah busuk, Nia...udah mati beberapa waktu....ugh, ayo pergi..."

Kania melirik tidak tega ke arah anak kucing yang mati itu.

"Kepalanya berantakan, seperti ditusuk atau tertembak?" tanya Tricia.

"Udah, bantu kuburin yuk, kasihan..."

"Apaaaa?" kedua kawannya saling berpandangan tak percaya.

"Emang kalian nggak kasihan?" tanya Kania, gadis itu tanpa sungkan menyobek daun pisang di kebun dan membawa kucing itu lalu menelusuri jalan setapak menuju ke kebun. Kania menggali lubang di tanah yang gembur memakai kayu pohon singkong, tak lama kucing itu sudah terkubur dan Kania berdoa semoga kucing itu masuk surga.

"Enggak sekalian dikasih bunga?" ejek Tricia. Kania memandang sekeliling dan memetik beberapa tangkai mawar.

"Dasar bawang putih..." gerutu Tricia geli lalu mengikuti Kania yang membasuh tangannya yang kotor di aliran sungai kecil tak jauh dari sana.

"Sepatu kamu kotor tuh Nia.." kata Neni.

"Nggak papa, uhh, kayaknya mbak Lita emang nggak di rumah...ayuk kita pulang dan langsung minta antar mang Jamal ke kampus.."

"Ayuk... jadwal ujian sudah diumumkan, besok kita sudah mulai ujian lho....semoga semester ini nilai bagus sehingga bisa pulang kampung dengan tenang, tidak mengikuti semester pendek..." doa Tricia.

"Aminnn..." balas Neni dan Kania bersamaan lalu tertawa.

---

"Seharusnya kamu bisa berdamai dengan masa lalu..." wanita tua yang rambutnya sudah memutih semua dan wajahnya terlihat jauh lebih tua dari usianya yang sebenarnya itu mendesah lelah. "Kamu bisa berada di sana...dengan berbagai cahaya itu nak, tidak seharusnya kamu mengurung diri di kegelapan..."

Gadis itu menggertakkan gigi dan memejamkan mata, memenjarakan amarah yang membuat mengigil seluruh tubuhnya.

"Seharusnya aku yang ada di sana ma....seharusnya, kami yang berada di sana, bagai lukisan yang indah, aku, dia dan anak kami... seharusnya dia tahu kalau aku mengandung anaknya. Tapi kenapa semua itu terjadi? Setiap malam aku selalu memimpikan anak lelaki yang serupa wajahnya berlarian di sisi kami. Tapi lihatlah, takdir begitu kejam! Dia tidak pernah tahu dan aku benci harus mengalami semua ini, kenapa harus aku yang selalu mengalah dan menahan diri? Aku sudah tidak tahan lagi, ma..." gadis itu menangis tersedu-sedu.

"Tidak, tidak seperti itu nak, mama selalu melihat kesempatanmu jika kamu mau, tapi...apa yang ada di pikiranmu? Kenapa kau malah menjauh dari cahaya itu sendiri dan mengurung diri dalam kegelapan?"

"Mama selalu berkata seperti itu tanpa tahu yang kurasakan sebenarnya! Aku ingin disana...itu tempatku! Selalu tempatku ma, dan sekarang, aku akan terus berusaha, agar tempat itu kembali padaku..." gadis itu berteriak marah dan menghancurkan apa yang ada di sekelilingnya. "Aku...akan kembali merebut tempatku!"

Wanita tua itu mendesah prihatin.

Dia lelah....terlalu lelah dengan semuanya, tapi siapa yang akan menjaga putrinya jika bukan dia?

---

"Gimana kalau menu malam ini bebek betutu? Non Kania cari resepnya di internet gih, tuh si mamang lagi sembelih bebek muda dua ekor..." kata bu Rindu.

"Eh? Sembelih bebek?" Kania mengernyit. "Mau ada tamu ya?"

"Enggak non, tau tuh, bebek-bebek putih yang buat hiasan kolam belakang rumah, tahu-tahu tadi pagi luka-luka. Satu kena sayapnya dan satu punggungnya. Untung belum mati jadi masih sempat disembelih..." kata bu Rindu.

"Kena musang ya bu?"

"Enggak non, kata si mamang mah, tu bebek tertembak atau semacamnya...mang Jamal lagi jengkel tuh, masih mengira-ira siapa yang iseng, mungkin ada pelancong di sekitar sini, kalau anak desa sini mah, tidak ada yang nakal seperti itu..."

Kania hanya mengangguk-angguk lalu menghampiri mang jamal yang sedang asyik mencabuti bulu bebek putihnya.

"Siapa sih yang iseng gini, padahal tembok belakang kan cukup tinggi..."

"Mungkin ada celah mang, tembok belakang kan ada bagian tanaman hiasnya, mungkin ada anak nakal yang iseng nembak pakai senapan angin dari situ..."

Mang Jamal mengangguk, "Tapi non, lihat selongsong peluru ini..." Mang Jamal menunjuk selongsong peluru yang diletakannya di lantai. "Ini bukan dari senapan angin. Saya akan bilang tuan Adree untuk hati-hati, tidak sekali dua kali tuan Adree diserang orang nggak dikenal non, tapi nanti saya akan periksa halaman belakang, mungkin benar apa kata Non, ada celah disana yang mamang tidak tahu..."

Kania memeriksa selongsong peluru itu dan membenarkan kata-kata mang Jamal.

"Non takut ya? Jangan takut non, mamang bukan penjaga vila biasa, gini-gini mamang bodyguard handal...non jangan takut ya?"

Kania tertawa. "Iya mang....Kania sudah tahu resiko menjadi istri dari mas Adree, setiap resikonya, baik buruknya, tapi itu harus dijalani..."

"Bagus, mamang tahu non Kania itu gadis yang kuat..." Mang Jamal tersenyum. "Ambil hikmahnya saja non, kita pesta bebek malam ini."

Gelak tawa Kang Jamal mencairkan suasana yang barusan cukup tegang.

Bagaimanapun, kejadian tadi malam membekas di benak Kania. Bagaimana kalau memang ada pembunuh yang berkeliaran, tapi untuk apa? Kania resah membalik tubuhnya dan akhirnya dia pindah ke kamar Adree, entah kenapa dia merasa lebih aman berada di kamar itu dan bisa tertidur hingga pagi.

---

Sepulang kuliah, Kania mendapat kejutan.

"Hallo ken Dedes..." Adree yang duduk santai di ruang tamu mengejutkan Kania.

"Mas, kapan pulang?"

"Tadi jam sembilan..."

Di depan Adree bu Rindu sudah menyiapkan teh dan camilan berupa pisang goreng dan bakwan.

"Capek mas?" Kania duduk di samping Adree.

"Lumayan, tapi dapat jatah libur tiga hari menemani istri...gimana ujian semesteran kamu? Besok kan Minggu, kita bisa jalan-jalan ke suatu tempat kan?"

Kania mengangguk antusias.

"Boleh, senin sih masih ujian, tapi tak apa...mau ke puncak ya? Makan jagung rebus?"

Adree tertawa kecil. "Lebih asyik dari puncak...emm, jagung bakarnya sih bisa diusahakan...mas ada kejutan buat kamu Kania..."

"Benarkah?"

"Hmm...setelah dhuhur kita berangkat..."

Selepas dhuhur, Kania menuju halaman depan menemui suaminya yang tengah memeriksa sebuah motor.

"Kita pergi pakai motor?" Kania memandang Adree.

"Kenapa? Kamu udah terbiasa pakai mobil hingga ogah naik motor?" tanya Adree.

Kania meringis gemas, "Kania bukan gadis matre mas, ihh, sebel! Maksud Kania, emang mas Adree bisa naik motor?"

"Wah, mengejek! Gini-gini mas dulu wakil ketua geng motor wilayah ini waktu kuliah, The Riders! Kapan-kapan kalau pada reuni, mas ajak deh ketemu teman-teman mas jaman kuliah dulu...nah, ayo naik..." Adree menepuk jok motor trailnya. Bu Rindu memandang Kania cemas.

"Tunggu non...non Kania sedang nggak hamil kan?"

Kania memandang bu Rindu dan Adree bergantian.

"Kemarin sih Kania baru dapet bu, baru selesai ini....emang kenapa?"

"Habis Tuan mau ajak naik motor gitu pasti ke Curug kan? Jalannya sulit non, terjal walaupun pakai motor, mana sekarang kadang hujan, takutnya kalau non Kania hamil, bisa bahaya buat janin dan tubuh non sendiri.."

Adree memandang Kania. "Yakin kamu lagi enggak hamil? Padahal kita ngelakuinnya tiap malam, lima kali pula, lebih dari dosis minum obat..."

Kania langsung mencubit lengan Adree, wajahnya memerah, terlebih ada bu Rindu mendengar.

"Itu mah keseringan, pantas nggak jadi..." bu Rindu menyahut dan tertawa.

"Ihh, mas emang malu-maluin..." jerit Kania sebal.

Adree mengedikkan bahu. "Mukena sama jarit sudah disiapkan sekalian kan di ransel Kania? Soalnya kita mau nginep.." kata Adree, bu Rindu mengangguk.

"Udah, tuan....nginepnya sehari aja ya, jangan lama-lama....kasihan non Kania, kalau jaman dulu mah tuan sama cowok kesananya..."

"Ahh, dulu ada ceweknya juga kok..." Adree memakai helmnya dan menyuruh Kania naik.

"Ayo kita pergi..."

"Hati-hati ya tuan, jangan sampai luka..." bu Rindu melambai dengan cemas, tapi Adree malah menimpalinya dengan raungan motornya.

"Ih, tuan mah gitu....sejak kapan bandelnya kumat?" bu Rindu mengomel.

---

Dalam benak Kania, Adree yang biasanya rapi dengan setelan jas, bahkan dalam keseharian yang casual, begitu berbeda dengan lelaki yang berada di atas motor bersamanya sekarang.

Tidak ada kompromi!

Setelah melewati jalan desa dan perkebunan teh milik Mirza Group, Adree membawa Kania melewati jalan yang berkelok di bukit. Satu jam kemudian, jalan aspal berganti menjadi jalan batu, lalu Adree dengan santai membawa motornya naik, melewati jalan tanah yang cukup licin dan becek.

Beberapa kali Kania memekik takut, tapi Adree menenangkannya, apalagi saat melewati sebuah jalan berkelok dengan jembatan yang belokannya cukup curam, Kania hampir meminta turun dari motor dan memilih berjalan kaki tapi Adree mencegahnya.

"Aku udah profesional Kania, sejak SMP udah pakai motor, kamu diam dan duduk aja dengan tenang, kalau kamu panik, kita malah jatuh, percaya deh sama aku..."

Kania memilih memejamkan mata dan memeluk tubuh Adree erat-erat di saat seperti itu, jalan menanjaknya nggak kira-kira begitu juga dengan jalan menurun. Adree melewati bukit menggunakan motor! Benar-benar gila! Tidak memperdulikan lumpur sudah mengotori motor dan celana jeans cokelatnya. Kali ini Kania baru benar-benar melihat Adree yang cuek dan berantakan. Setelah puas membuat Kania menangis karena ketakutan, akhirnya Adree melewati jalan menanjak dan berhenti di sebuah pondok tua.

Kania berdiri takjub.

Sebuah pondok seperti di cerita Rumah Kecil di padang rumput?

Adree menyuruh Kania turun dan lelaki itu terlihat meraih sesuatu di balik pot, sebuah kunci.

"Ayo masuk..." Adree membuka sepatu bootnya yang kotor dan menggantung jacketnya di dinding kayu pondok.

"Wah, kayak pondok di cerita koboi..." Kania tersenyum takjub dan melihat perabot kayu sederhana di pondok itu. Ada kursi, almari kecil dan tempat tidur dari kayu sederhana. Khas pedesaan, hanya saja perabotan itu terlihat mengkilap dan bersih setelah Adree membuka selubung kain putih yang melingkupinya.

"Di sini nggak ada listrik, penerangannya pakai lampu minyak, benar-benar terpencil..." terang Adree.

"Ini punya siapa? Kayaknya ditinggali kan? Tempatnya bersih..."

"Punyaku, tiap bulan memang ada penjaga yang membersihkannya, namanya pak Amir, rumahnya lima kilometer dari sini, dia juga yang rutin memeriksa pasokan perlengkapan di sini..." Adree meraih sebuah lampu minyak dan memperlihatkan ke Kania.

"Malam ini kita akan tidur di sini, nona....nggak ada kasur, adanya dipan kayu beralaskan tikar..." Adree terkekeh. "Di belakang ada tempat untuk buang air, tapi hanya ada tampungan air dari tong kayu...karena musim hujan, kayaknya ada pasokan airnya..."

"Berarti kita nggak mandi dong sampai besok..." Kania terkikik menunjuk pakaian Adree yang kotor.

"Siapa bilang? Itu gunanya aku bawa kamu, hey gadis desa! Nah Inem...letakkan ransel di dipan kayu itu, bawa semua pakaian kotor...kita ke sungai, mandi sambil kau cucikan pakaian kotor suamimu..."

Kania tertawa.

"Mari juragan...saya cucikan bajunya..."

Adree menumpuk pakaian kotornya dan hanya memakai kaos tanpa lengan dan celana pendek, Kania tertawa saat melihat Adree mengeluarkan sandal jepit dari ranselnya dan memakainya.

"Cieee...anak pak menteri pake sandal jepit swallow..."

"Enak saja, ini pakalolo..." Adree meraih lengan Kania. "Kamu mandi pakai jarit saja..."

"Iya juragan..." Kania masuk ke pondok dan berganti dengan jarit sambil menjinjing ember karet berisi pakaian kotor mereka dan berkata, "Nyuci pakai sabun mandi ya mas, tadi lupa bawa detergen...habis nggak bilang mau ginian sih....Kania cuman bawa alat mandi doang..."

"Gapapa....kita lihat apa kamu becus nyuci dengan peralatan seadanya..."

"Yee, di desa mah gausah pakai sabun juga bisa..."

Kania berjalan di depan Adree, tidak melihat senyum jahil Adree tersungging dan bahaya yang menanti di depannya. Dia hanya gadis polos yang tidak memiliki pengalaman dengan lelaki dan segudang pikiran fantasi ala-ala lelaki.

---

Adree merakit drone miliknya dan menghubungkan dengan ponsel.

"Foto dulu Kania, buat koleksi pribadi..." Adree menerbangkan drone nya dan mengambil banyak spot cantik di curug indah itu. Setelah dirasa cukup melihat alam di sekelilingnya dari angkasa, lelaki itu merapikan peralatannya dan membuka baju. Berniat berenang di kolam kecil yang menampung air terjun diatasnya dan memperhatikan Kania yang asyik mencuci.

"Gimana Inem? Bersih nggak?"

"Bersih dong juragan..." Kania memperlihatkan celana jeans Adree yang bersih dan tertawa riang. "Upahnya apa nih?"

"Ada deh..." Adree mendaki batu di samping Kania mencuci dan mencipratkan air ke arah gadis itu hingga terpekik kaget.

"Aduh....apaan sih!" Kania gantian memercikkan air ke arah Adree. Gelak tawa Adree memecah diantara gemericik aliran air sungai. Kania terpana dan menikmatinya, gema tawa lelaki itu terdengar menyenangkan. Dengan penampilan yang sederhana, Adree justru tampak luarbiasa, Kania seperti melihat wujud Adree yang sebenarnya, tanpa tertutup berbagai kabut yang membuatnya tidak nyata. Kania melihat seorang lelaki biasa, yang bisa tertawa lepas dan bermain air seperti anak kecil, bukan lelaki formal yang terpaksa memasang wajah datar saat dikepung pertanyaan para wartawan seperti tempo hari. Tidak ada setelan jas dan rambut yang tertata rapi juga arloji mahal yang menghiasi pergelangan tangannya. Hanya lelaki biasa bertelanjang dada dan memakai celana pendek, rasanya lucu melihat Adree memakai sandal jepit seperti itu.

"Ya ampun lucunya pakai swallow..." Kania menunjuk sandal jepit Adree.

"Pakalolo..." ralat Adree.

"Mas kayak bukan anak menteri tapi anak petani..."

"Adnan Rais aslinya memang petani..." kata Adree kalem lalu melepas sandal jepitnya. "Udah selesai nyuci Nem?"

Kania meletakkan cucian bersihnya di atas batu.

"Udah, juragan, nanti tinggal dikeringkan saja..."

"Mandi yuk..." Adree menghampiri Kania dan mencekal lengan gadis itu menuju ke kolam alami kecil di bawah air terjun.

Kania dengan riang memasuki air dan berenang didampingi Adree.

"Tempat ini mirip dengan kolam rahasia di hutan dulu ..." kata Kania riang.

"Hmmm....kamu tahu nggak, apa yang aku pikirkan saat melihatmu mandi waktu itu?" tanya Adree.

Dahi Kania mengeryit. "Aku lelaki, Kania, sebenarnya pikiranku nggak jauh beda dengan para lelaki yang mengganggumu..." Adree meraih tubuh Kania dan mendudukan Kania di sebuah batu di bawah ceruk, walaupun dalam posisi duduk, separuh tubuh Kania masih terendam air. Yang membuat Kania terkesiap, tangan Adree sudah bergerilnya di depan dadanya, lelaki itu tersenyum nakal dan memijat pelan payudara Kania.

"Mas...shh..apaan sih..." Kania mencubiti lengan Adree tapi tidak berusaha melepaskan diri, Adree semakin menggoda Kania dan menyibak kain yang menutupi dada Kania dan kali ini bermain dengan bibirnya sambil menarik tubuh Kania kembali masuk ke air, Kania menghela nafas panjang dan mengikuti Adree menenggelamkan diri di dalam air dan dengan takjub menyadari bibir Adree sudah berpindah memagut bibirnya. Tak berapa lama kemudian kepala mereka menyembul di atas air.

"Begini rasanya mencicipi ciuman putri duyung..." Adree terkekeh, Kania menjauhkan diri tapi segera disergap pelukan Adree. "Sekarang, aku ingin merasakan bercinta dengan Nawangwulan, boleh?"

Bagi ku, kau lebih dari sekadar kulit dan tulang

Kau adalah lambang keanggunan dan kebebasan

kemarilah...

Sayangku, biarkanlah rambut indahmu terurai

Biarkan jemariku menelusuri keindahannya

Kita bisa menjadi diri kita sendiri sekarang

walau terlihat kekanakkan

Tidak ada diantara kita yang perduli akan waktu

Terbaring di pangkuanmu, di momen sederhana ini

Kau tidak perlu khawatir sekarang

Biarkan rambut indahmu terurai menyentuh wajahku

Adree melepaskan lilitan kain yang membungkus tubuh Kania sehingga gadis itu benar-benar telanjang.

"Mas....jangan...kalau ada yang lihat gimana?" tanya Kania panik hendak merebut kain itu kembali, tapi Adree menyampirkannya ke atas batu.

"Kau pikir drone tadi untuk apa Kania? Tidak ada makhluk berwujud manusia dalam radius tiga kilometer dari kita sekarang, berteriak minta tolongpun percuma..." Adree menaikkan tubuh Kania dan mendesaknya ke sebuah batu yang kebetulan sekali berbentuk datar.

Kania tidak bisa lagi melepaskan diri dari kungkungan tubuh kekar Adree yang seperti dewa Ares, menguasai tubuh mungilnya. Adree memegangi kedua lengan Kania dan menciumi sekujur tubuh istrinya, pada akhirnya Kania pasrah oleh permainan Adree dan perlahan Adree memasuki tubuh Kania, tanpa Kania sadari, ternyata saat naik tadi, Adree sudah telanjang.

Permainan itu sungguh menarik dan saat tersadar dari sensasi dahsyat yang menghantamnya, Kania melihat senyuman Adree.

"Nakalnya..." Kania mencubit pinggang Adree tidak terima.

"Kurang ya? Oke, sekali lagi ya..."

"A...apa? yang benar saja!! Ya Tuhan!...mas Adreee, jangan keterlaluan!!"

---

"Begini enaknya bercinta di sungai, bisa langsung mandi besar..." ejek Adree saat Kania membasuh rambutnya dari shampoo.

"Benar-benar telak aku dikerjain sama mas...kirain main di sungai, ternyata ..."

Adree tertawa sambil memakai kaos bersihnya yang diambilnya dari ransel, "Enak kan? Mau lagi?"

"Tolong jangan berulah lagi, ini hampir selesai mandinya..." Kania melilitkan kain lebih kencang ke tubuhnya dan naik ke bebatuan dibantu Adree.

"Ayo pulang..." Adree menggandeng tangan Kania dan membantunya membawakan ember berisi cucian.

--

Sesampainya di pondok, bertepatan dengan hujan yang mulai turun, Adree memasukkan motornya ke dalam pondok dan menyalakan perapian. Kania menggantung pakaian basah mereka pada tali yang dipasang di atas perapian.

"Berasa sedang hidup di masa lampau ya?" Kania menggantung sebuah kain dan berganti pakaian di baliknya, Adree tersenyum memperhatikan siluet tubuh istrinya yang sedang berganti pakaian.

"Woy, malah kelihatan jelas lho Kania, mendingan nggak usah pakai tirai seperti itu..."

"Apaan sih..." Kania tergesa memakai gaun tidurnya. "Jangan macem-macem nanti malam lho mas, memangnya mau kalau sebelum subuh besok mandi di sungai?"

Adree tertawa. "Baiklah, ntar malam nggak ibadah sunah dulu..." lelaki itu dengan terampil mengupas kulit jagung dan membakarnya. Bu Rindu sudah membekali mereka dengan mentega sachet, juga kecap, garam dan beberapa bumbu lain.

Kania membuka pintu dan menaruh ember di luar.

"Ngapain?" tanya Adree.

"Nampung air, buat wudhu shalat isya nanti sama gosok gigi...yang dibelakang buat cadangan besok pagi..."

"Pintar juga si Inem..." kata Adree sambil membalik jagungnya.

"Siapa dulu majikannya?" Kania tertawa.

Setelah kenyang makan jagung bakar, mereka menggosok gigi dari tampungan air di ember dan berwudhu menggunakan air hujan. Dalam kegiatan yang sederhana itu, Kania merasa bahagia, seolah hari ini, jauh dari peradaban yang berbelit, dia bisa memiliki Adree seutuhnya. Pondok hanya diterangi lampu minyak. Setelah isya, mereka berbaring bersisian di dipan kayu sederhana dan Adree menggunakan jacket parasutnya untuk bantal mereka berdua. Walaupun bu Rindu menyisipkan kain Bali yang bisa digunakan untuk selimut, hujan yang semakin deras diluar membuat mereka terpaksa merapatkan tubuh saling menghangatkan.

"Gimana Kania...tanpa listrik, tanpa fasilitas modern, apa kamu bisa bertahan?" tanya Adree.

"Bisa, asal ada mas Adree ...kalau lapar ada yang metikin dan bakarin jagung, kalau perlu mancing ikan di sungai, kita kayak manusia jaman purba aja..." gadis itu tertawa kecil membayangkan kegiatan sederhana yang begitu menyenangkan.

Adree mengelus lengan Kania.

"Seandainya tiba-tiba aku kehilangan Mirza group dan kita harus hidup seperti ini, apakah kamu masih mau mendampingiku?"

Kania membalikkan tubuh dan memandang Adree. "Bolehkah, tetap seperti ini? Jadi Kania tidak ditinggal-tinggal lagi dan selalu ada mas Adree?"

Dibalik pertanyaanya menjadi seperti itu, Adree menjadi tercekat, tidak mampu berkata apa-apa, hanya membalasnya dnegan mengecup dahi Kania.

Adree mengalihkan pertanyaannya ke hal yang lain. "Sudah bertemu Lita? Gimana, apa kalian berkawan baik?"

Kania menggeleng. "Beberapa hari lalu sih Kania kembali lagi tapi hanya jumpa bundanya mbak Lita, katanya mbak Lita sedang istirahat karena kecapekan setelah terapi di rumah sakit kecamatan. Yang sebelumnya nggak bisa ketemu karena mereka nggak ada di rumah..."

"Hmm... nggak papa, besok kalau kita ada waktu, kita kesana ..."

"Iya....eh, apa mbak Lita pernah ke sini juga?" tanya Kania.

"Pernah, sama Mario juga, tapi tidak menginap, dia sampai menangis melewati jalanan seperti tadi....ngambek berhari-hari tidak mau diajak main lagi, lagipula Mario yang memboncengnya, kurang hati-hati. Mereka sempat terpeleset di lumpur. Benar-benar merepotkan, setelah itu kami sepakat tidak akan mengajak anak perempuan main kesini..." Adree nyengir. "Kalau gadis desaku, kayaknya pengecualian ya?"

Kania tertawa dan menyurukkan kepala bersembunyi di dada Adree.

"Sebenarnya tadi aku juga takut, terutama di jalan turunan jembatan yang curam tadi, hihhh....seperti main roller coaster..."

"Tapi asyik kan? Sayangnya karena hujan, kita besok baru bisa pulang agak siang, menunggu jalanan tidak terlalu becek oleh lumpur, karena kalau licin, jalan tanah sangat berbahaya walau memakai motor cross...apalagi bawa Inem yang sekarang makin gemuk..."

"Gemuk?" Kania melotot panik. "Masa sih?"

Adree tergelak pelan, "Bercanda Inem, bukan gemuk, tapi seksi..."

Kania menggerutu, "Stop pembicaraannya, nanti menjurus ke ... itu..."

"Makanya jangan bergerak-gerak, diamlah..." Adree tersenyum geli.

"Baiklah, ganti topik....ada yang mau Kania tanyain..."

"Soal apa?"

"Mas Mario....em...bukan tentang orangnya sih, tapi di perpustakaan ruang kerja mas Adree ... Kania melihat buku sketsa yang isinya bagus-bagus banget, punya mas Mario kalau Kania lihat dari tandatangannya, bisa Kania pinjem? Soalnya aku juga suka melukis sketsa, pengen bikin juga yang selembut arsiran mas Rio,"

"Oh, itu...boleh....memang barang pribadi Mario sebagian memang mas simpan di perpus, buku-bukunya...ada buku sketsa dan lukisannya...dia memang suka melukis seperti Lita. Mereka punya dunia yang sama....mas dulu pernah berpetualang masuk ke hutan di Sumatera dan Kalimantan dengan Rio, dia suka menggambar sketsa aneka flora dan fauna, seperti ayah Adnan, entah kenapa bakat melukis ayah malah kena ke Mario, kalau mas lebih suka memotret objeknya langsung..."

Kania senang mendengarkan Adree bercerita dan mendengarkan detak jantung lelaki itu. "Makasih mas Adree, hari ini sangat menyenangkan seperti mimpi, kalau saja kita bisa seperti ini setiap hari, Kania lebih suka mas yang bisa tertawa lepas dan bebas seperti tadi....mas terlihat lebih manusiawi tanpa atribut yang menjadi beban mas selama ini..."

Adree mengelus rambut Kania yang panjang dan tangannya berhenti di punggung Kania.

"Sayangnya, aku tidak bisa menjanjikan kita tetap seperti ini Kania, kamu harus bisa menerima sisi duniaku yang satu lagi..."

"Kania hanya ingin mas lebih banyak tertawa dan berbahagia...itu saja mas..." gadis itu menguap dan tertidur nyaman dalam pelukan Adree.

Alis Adree bertaut, detak jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya mendengar kata-kata sederhana itu. Lelaki itu memejamkan mata, menikmati suara hujan yang semakin menderu, lampu minyak yang bergoyang menyebabkan cahaya api di dalamnya bergerak lembut menerangi kulit Kania yang halus. Dengan Kania dalam pelukannya, Adree merasa begitu damai...

---

Continue Reading

You'll Also Like

THE MONSTER By Dara

Mystery / Thriller

1.2K 117 6
Zacky mencari keadilan untuk dirinya dan juga Mitha. Mereka terjebak dalam kasus pembunuhan yang sama sekali tak dilakukan. Tak hanya itu saja, masal...
18.2K 2.2K 18
• 𝐅𝐚𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 𝐂𝐫𝐨𝐬𝐬𝐨𝐯𝐞𝐫 : Oc x TOCF x ORV sedikit alur Oshi No Ko. ( cuman sedikit bagian plot awal doang ) • 𝐒𝐮𝐦𝐦𝐚𝐫𝐲 : Baga...
477K 14.7K 35
Follow dulu sebelum dibaca ya!!! Cerita sudah ada di ebook google play!! Saka asy syaufiq, nama yang berjabat tangan dengan bapak sebelum meninggal...
7.7K 754 15
[ Sequel Reckless. ] "Aku mengenalnya dengan tidak mengenalnya," - Kim Athena ⚠️ Disclaimer ⚠️ • Beberapa tokoh murni berasal dari drama Law School, ...