Happy reading guys. Salam cinta dari penulis
Ninda_Rayanti
***
Zeka menghela napas, membuat Cashya yang disampingnya tentu saja menoleh. "Ada apa, Mas?"
Zeka tersenyum, ia memberikan ponselnya pada Cashya. "Ini, sahabat aku semasa di Barcelona dulu. Orangnya baik, cuma aku prihatin sama nasib percintaan dia. Dia orang yang sering aku ajak berdiskusi dan berpikir mengenai hidup."
Cashya melihat siapa lelaki yang ada di foto itu, entah mengapa ia merasa familiar dengan foto tersebut. Hanya diam dan berpikir akan siapa lelaki itu.
"Katanya dia dosen seni rupa di kampus kamu, kamu kenal, Shya?" Zeka bersuara lagi.
Saat berhasil mengingatnya, pipi Cashya langsung memerah karena malu. Ia menundukkan kepalanya dalam, dalam hati ia menggerutu pada takdir.
"Pak Gera." Cashya menjawab dengan menunduk.
Zeka kembali tersenyum, ia mengacak-acak rambut Cashya. "Kalau reaksi kamu begini, berarti tandanya ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku dan kamu malu untuk mengatakannya."
Cashya mengangguk, dia ingin cerita tapi tidak mau ditertawakan. "Tapi janji jangan ketawa!"
Zeka mengerutkan kening, dia memegang dagu Cashya dan mengangkatnya agar melihat ke arah Zeka. "Kamu tahukan aku paling tidak suka mengawalinya dengan janji?"
"Ya udah-ya udah aku cerita." Pada akhirnya Cashya.
Ia menceritakan mengenai kejadian di kelas tadi, yang membuatnya tidak fokus karena takut jika Zeka akan menilai dirinya tidak menarik sama seperti Amar menilainya.
Sesuai dugaan, Zeka tertawa sampai memegangi perutnya karena saking terlalu geli mendengar jawaban Cashya yang seperti itu saat di kelas. Membuat Cashya semakin salah tingkah.
Zeka menarik pinggang Cashya mendekat, Cashya mendekat dan berakhir dipelukan Zeka. "Hanya lelaki bodoh yang tidak bisa jatuh cinta padamu, Cashya. Terbukti bukan, Amar memang bukan lelaki normal?"
Cashya mengangguk, ia tidak bisa menanggapi ucapan Zeka. Terlalu menikmati aroma tubuh suaminya, Zeka hanya bisa tersenyum melihat respon Cashya yang seakan tidak pernah bosan untuk menciumi aroma tubuhnya. Sama seperti Zeka yang tidak pernah bosan mencium aroma shampoo yang Cashya pakai.
"Jangan menangis lagi Cashya untuk lelaki itu, ku mohon." Zeka menciumi rambut Cashya lagi.
Cashya menggeleng, ia mendongak menatap mata Zeka yang kini telah terbakar api cemburu. Cashya tersenyum, tangannya menyentuh pipi Zeka. "Suamiku kalau lagi cemburu kadar ketampanannya makin meningkat drastis."
"Aku serius, Cashya." Zeka tak suka melihat Cashya tersenyum di saat dirinya sedang serius seperti ini.
Cashya kembali menelungkupkan kepalanya di dada Zeka. "Aku juga serius, Mas. Dilihat dari sisi manapun Tuhan juga tahu, yang aku takutkan bukan Amarnya, tapi kehilangan cinta kamu. Aku nggak bisa, Mas. Aku takut."
Airmata Cashya mengalir, tubuhnya bergetar hebat sembari membayangkan kemungkinan yang akan terjadi. Saat Zeka mendengar pengakuan dari Cashya, ia sendiri menyadari jika dirinya terlalu kekanak-kanakan. Ternyata yang orang bilang selama ini itu benar. Jika cemburu telah kamu rasakan, walaupun kamu adalah orang dengan pemikiran paling rasional sekalipun, maka tidak mengurangi kemungkinan ia akan buta kerasionalan-nya jika sudah dilanda yang namanya cemburu.
"Kamu tahu Cashya, hari ini sudah berapa manusia yang aku bentak di kantor karena cemburu dengan pemikiranku sendiri? Bahkan aku mulai menyalahkan Tuhan mengapa tidak menciptakanmu untukku di usia yang tepat. Aku takut Cashya, aku takut kamu akan pergi meninggalkan aku saat kamu kembali melihat wajah Amar.
Setelahnya aku akan kembali terluka dan kemudian aku akan pergi menjauh dari semuanya lagi. Membayangkannya saja sudah membuat aku merinding ketakutan Cashya, aku bahkan tidak tahu lagi kalau itu benar terjadi maka bagaimana aku akan menyembuhkan diri?" Air mata Zeka mengalir, ia benar-benar rapuh sekarang.
"Bukan hanya kamu yang membenci saat orang-orang mengatakan kamu adalah putriku, tapi dibalik itu aku juga membenci diriku yang terlihat tua disampingmu. Cashya. Aku hanya takut, pada akhirnya kamu akan menyesali semuanya. Menyesali pernikahan kita yang membuat kamu tidak lagi bisa mengejar cinta pertama kamu. Sebab aku tahu, Cashya. Cinta pertama adalah hal yang tidak pernah mudah untuk dinetralkan.
Perbedaan usia kita itu dua puluh tiga tahun, Cashya. Saat ini mungkin aku masih sehat dan masih kuat melindungimu. Tapi kita nggak tahu akankah besok, setengah tahun kemudian, sepuluh tahun lagi apakah aku masih berada dalam kondisi seperti ini?
Bagaimana jika aku sakit? Aku stroke, atau apapun yang akan merepotkan kamu. Aku tidak mau Cashya. Sekarang, selama aku masih sehat dan masih bisa menjaga kamu. Aku akan bilang, jika saat itu tiba nanti maka tinggalkan aku di panti jompo, Sayang. Tinggalkan aku, biarkan aku tinggal di sana menikmati hari-hari di ujung usiaku." Zeka menyelesaikan ucapannya pelan.
Cashya tak bergeming dari posisinya semenjak Zeka berucap, Zeka berpikir jika istrinya sudah tidur. Namun Cashya masih sangat sadar. Air matanya telah basah mengenai baju Zeka.
Tuhan, pemikiran suamiku sungguh jauh sekali. Aku mencintainya Tuhan. Ambillah nyawaku bersamaan dengan nyawanya, Tuhan. Aku tidak masalah memiliki usia hidup yang pendek, asalkan aku bisa terus bersama suamiku.
Tak lama Zeka sadar jika istrinya belum tertidur, tubuhnya bergetar karena tangis yang menderas. Piyama yang ia pakai juga telah basah karena airmata Cashya.
"Cashya." Zeka memanggil.
Pada akhirnya Cashya mendongak, wajahnya sudah tidak karuan karena dibasahi airmata dengan mata yang sembab. Cashya juga melihat ada airmata yang keluar dari sudut mata Zeka, dengan pelan Cashya mengusapnya. Ia kemudian melihat tangannya sendiri, mengajak Zeka untuk ikut melihat ke arah tangannya.
"Ada apa?" Zeka mengerutkan kening.
"Kamu bisa lihat apa ini, Mas?"
"Itu tangan kamu ...."
"Bukan, tanganku. Apa yang ada di tanganku."
"Airmata lelaki cengeng."
"Bukan."
"Lalu apa?"
"Ini airmata lelaki luar biasa dalam hidupku, lelaki itu kamu. Suamiku dan juga imamku. Lelaki luar biasa yang hidup dengan cara luar biasa untuk orang lain. Bahkan dia tidak memikirkan perasaannya sendiri, lelaki paling tidak egois sedunia. Karena itulah yang membuatku mudah untuk mencintaimu, Mas."
"Kamu terlalu berlebihan, Sayang."
Cashya menggeleng. "Aku tidak berlebihan, Mas. Itu memang kamu."
"Iya."
"Mengenai permintaan kamu, aku akan menurutinya. Ya kamu boleh tinggal di panti jompo, tapi bersama aku yang akan merawat kamu sampai kapanpun Mas. Aku nggak peduli mau serepot apa aku nanti, tapi semenjak kamu memutuskan untuk menjadi imamku. Aku juga telah memutuskan untuk selalu hidup bersama kamu apapun yang terjadi."
"Tapi ...."
Cashya mencium bibir Zeka lembut, ciuman ketulusan. "Ssstt, nggak ada tapi-tapian. Itu keputusanku, Mas."
Air mata Zeka kembali mengalir, Cashya kembali mengusapnya dengan tersenyum. "Cukup, Mas sedih-sedihannya."
Zeka memutar bola matanya mengejek Cashya, "Hm, masa? Yang mulai nangis duluan siapa?"
Dengan pelan Cashya memukul dada bidang Zeka dan membuat Zeka tertawa. Cashya kembali menelungkup di dada bidang Zeka, ia teringat sesuatu.
"Mas." Cashya ragu sebetulnya.
"Ya?" Kerutan di dahi kembali menghiasi wajah Zeka.
Cashya menunduk, ia malu untuk bilang. Namun ia menguatkan tekat untuk bicara, untuk rumah tangganya. "Empat bulan yang lalu, Mas Zeka sudah mengambil mahkotaku yang paling berharga. Tapi saat Mas Zeka memutuskan untuk tidak membuahiku saat itu, iya kan Mas?"
Zeka tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, kenapa?"
Kepala Cashya mendongak menatap Zeka yang tersenyum manis kearahnya. "Usiaku memang masih muda, tapi kamu udah empat puluh tiga, Mas."
"Lalu?"
"Aku mau punya anak sama kamu, Mas. Aku mau jadi Mama muda."
Zeka menatap Cashya akhirnya tersenyum. "Memangnya kamu mau, hamil saat kuliah?"
"Why not? Kuliah aku bukan tentang fisik, nggak papa Mas."
"Are you sure? You're study on your class with your big belly?"
"Yes sure. Why not. I think seeing a pregnant woman behind a painted canvas its sexy."
Zeka tersenyum, ia mengecup bibir Cashya sekilas. "Oke, coba goda aku dulu?"
Cashya sedikit bangkit dari baringannya di tubuh Zeka, membuat Zeka kaget dan membuka mulutnya. Cashya meringis. " Maaf, lupa. Mas. Tapi nggak papakan?"
Zeka mengangguk, "Iya, nggak papa."
Cashya mulai menaikki tubuh Zeka pelan, mengecup bibir Zeka perlahan hingga Zeka yang tak sabar akhirnya kembali memegang kendali. Membuat Cashya sedikit menjerit senang dan malam itu menjadi malam penyatuan diri mereka kembali dengan tujuan memiliki seorang anak.
***
Jangan lupa taburan kalimat dan bintangnya 🌟