Dara menghela napas pelan lalu menatap Alfa malas. "Teman di konteks cerita gue kemarin itu lebih dekat daripada sekedar 'temen'. Sedikit mendekati 'sahabat', tapi 'temen' yang gue maksud kemarin itu di antara temen biasa sama sahabat. Nah sekarang, yang gue maksud itu temen biasa doang. Bagi gue, temen yang biasa doang itu kayak lo cuman kenal dan ngobrol sama gue, nah itu udah gue kategorikan sebagai temen yang biasa."
Alfa menggaruk belakang kepalanya seraya mengernyit aneh. "Lo ngomong apaan gak ngerti gue."
Dara mengibaskan tangannya di depan wajah Alfa seraya cemberut sebal. "Itulah intinya!"
"Lo kalo ngomong itu pake bahasa yang mudah dipahami kek. Udah tau gue bego, masih aja pake kata-kata yang diluar nalar gue. Lawak lo badut," keluh Alfa kesal.
Dara berdecak sebal. Ternyata apa yang sering dikeluhkan oleh adiknya terjadi juga pada Alfa. Kio memang sering mengeluh karena setiap Dara menjelaskan sesuatu, mulutnya selalu mengeluarkan kata-kata yang cenderung agak sulit dipahami. Kio yang masih SMP kelas tiga itu saja tak jarang memilih untuk tidak mendengarkan Dara sama sekali ketimbang harus mencerna omongannya.
Dara mengangkat sekop yang penuh dengan daun-daun kering itu lalu berjalan menuju tempat sampah yang dipegang oleh Ardi dengan perlahan. Ia berusaha agar daun-daun itu tidak berjatuhan.
"Dara, lo — "
Brak!
"ERSYAAAAA!"
Semuanya seketika mengalihkan atensinya pada dua orang yang sama-sama membatu itu. Bedanya, Dara membatu seketika karena semua daun-daun yang ia kumpulkan susah patah terjatuh berserakan. Sedangkan Ersya membatu karena dirinyalah pelaku dari kejadian tersebut.
"Ra ... — "
"KUTIP SEKARANG JUGA! KALO GAK, GUE PATAHIN LEHER LO!"
"Nah loh, siapa suruh bangunin macan yang lagi tidur."
"Mampus lo, Sya."
"Untung tadi gue masih fokus pungut sampah."
"Sabar, Ra, sabar. Patahinnya pas di kelas aja."
"Cari gara-gara, sih. Kena akibatnya, kan."
"Astaghfirullah, kalo gue jadi lo, Ra, udah gue potong itu anunya."
Perkataan Ardi membuat Farzan tertawa. "Buset, ganas anjir."
Ersya menatap Dara takut-takut. Beneran deh, Dara itu kalo marah bukan main galaknya. Memang benar, kalem di luar belum tentu kalem di dalam juga
Ersya hanya bisa menyengir sembari mengaruk belakang telinganya yang tidak gatal sama sekali. "Hehe, Ra, gue ... — "
"KUTIP ULANG! ATAU LEHER LO GUE PATAHIN — "
"Astaga, iya-iya, gue kutip nih woy!"
***
"Istirahat dulu, guys. Panas banget soalnya."
Kini, semua anak kelas XII IPS 5 tengah beristirahat di kantin. Mereka duduk di meja yang paling tengah sehingga menjadi sorotan utama seisi kantin. Sekarang adalah jam istirahat pertama dan kantin sedang ramai-ramainya.
Mereka semua duduk sambil mengipasi diri masing-masing. Keringat bercucuran turun dari pelipis, beberapa dari mereka bahkan seragamnya sudah lumayan lembab. Mereka tak peduli penghuni kantin yang lain terganggu oleh bau badan mereka atau aura panas yang mereka bawa. Yang penting, sekarang ngadem dulu lalu nanti mulai bekerja.
"Si Andra lama banget pesan minuman doang elah," keluh Farzan sambil terus mengipasi lehernya yang basah.
"Sabar, Jan. Tempatnya Bude Latip lagi rame banget tuh," Dara menunjuk tempat Bude Latip yang memang sangat ramai. Ia bahkan bisa melihat Andra yang beberapa kali terdorong oleh orang lain.
"Setelah ini kita ke mana?"
"Toliet."
Semuanya sontak menatap Asep dengan tatapan yang heran.
"Eh, maksudnya tomilet — ck, toleit — astaga ngejanya gimana, sih?!" Asep akhirnya tidak tahan karena terus mengucapkan kata yang salah.
"Toilet, Sep. To-i-let," sahut Ersya sembari terkekeh kecil.
"Yaelah si Bule, ngeja toilet aja salah," ledek Farzan.
Asep hanya mendelik pada cowok itu.
"Kalo gitu, gue ke toilet cewek sendirian dong?"
"Ah, iya, Ra."
Percakapan terjeda sebentar karena akhirnya Andra datang membawa banyak minuman. Tangan sebelah kanan terisi oleh minuman-minuman Teh Sisri, sedangkan yang sebelah kiri penuh dengan plastik yang berisi minuman berbentuk gelas.
"Lo gapapa sendirian?"
Dara menatap Revan dengan mulut yang masih menyeruput Teh Gelas. "Selow."
Para cowok itu saling bertukar pandang. Pemikiran mereka sama. Mereka merasa bersalah. Mereka yang membawa Dara hingga akhirnya cewek itu merasakan hukuman. Masalahnya, mereka jelas tahu bahwa satu-satunya cewek di kelas itu belum pernah merasakan yang namanya hukuman. Belum lagi ia harus membersihkan toilet perempuan yang luar biasa kotornya — mereka yakin itu — sendirian.
Dara yang merasa keadaan hening mendadak langsung mendongak menatap teman sekelasnya itu satu persatu. Alisnya bertaut saat mendapati mereka malah menatap dirinya balik. "Kalian kenapa?"
Tidak ada yang menjawab.
Dara menghela napas. Ia akhirnya paham situasi ini. "Gapapa kok, ngapain juga kalian ngerasa gak enak? Kan gue yang mau, udah deh."
Andra menggaruk tengkuknya ragu. Ia sudah tahu apa yang tengah menjadi perbincangan karena sudah diberitahu oleh Asep. "Ya tapi, masa' lo sendirian? Kita jadinya ngerasa gak enaklah. Kita mah gampang bersihinnya rame-rame. Lah elo? Sendirian, trus juga kita yakin lo gak pernah lakuin ini sebelumnya, kan?"
Dara berdecak sebal. Iya, ia kesal diperlakukan seperti ini. Maksudnya, perkataan Andra itu seakan-akan mengatakan Dara itu tuan putri yang sama sekali belum pernah menyentuh sesuatu yang berbau alat kebersihan. Gini-gini gue juga jadi babu kali di rumah.
"Gue bisa. Oke? Gak usah khawatir dan gak usah merasa bersalah. Kan gue yang mau dihukum, gue juga harus terima konsekuensinya dong. Jangan ngeremehin gue napa," keluh Dara menatap Andra tajam.
Andra yang sudah mendapat sinyal buruk langsung saja memilih untuk mengalah. "Oke-oke, santuy, Mbak. Kita udah paham, itu matanya lemesin dikit napa dah."
Dara hanya memutar kedua bola matanya jengah.
"ERERERE!"
Tiba-tiba saja Ardi berteriak membuat yang lain menoleh padanya dengan kaget. Seisi kantin pun melakukan hal yang sama, tetapi kemudian melanjutkan kegiatan masing-masing. Sudah biasa Ardi berteriak tiba-tiba seperti itu. Maklum.
"Nah loh, setannya balik lagi." Andra berdiri di bangku panjang yang ia duduk tadi. Ia langsung memegang kepala Ardi dengan kedua tangan lalu menggetarkannya. "KELUARLAH KAU MAKHLUK KURANG BELAIAN. KELUAR!"
Farzan lalu ikut serta membantu. Ia menggoyangkan bahu Ardi sembari berseru, "KELUAR KELEN SEMUA SETAN!" Tetapi kemudian, ia menyeletuk heran, "Lah napa gue jadi kayak si Puspa anjir."
"Lah goblok."
"Sialannnn, tolol sia."
"Nah loh kepincut pesonanya."
Ardi yang kepala dan bahunya sudah berhenti digetarkan lantas menjeplak, "Lo jatuh cinta sama dia kali."
"ASUUUUU, RESEPSI LO TOLOL BAT DAH."
"PERSEPSI GOBLOK, PERSEPSI, SUBHANALLAH."
Satu-satunya yang tidak tertawa adalah Dio. Ia hanya diam seraya memikirkan sesuatu.
Dan itu membuat Alfa terus meliriknya sembari terus tertawa.
***
"Lah? Seriusan? Dara dihukum? Gila, sih, gila. Berita hot anjirrrr."
"Tingkahnya udah melunjak kali semenjak masuk ke kelas barunya."
"IPS 5, ya? Pantes sih, tapi beruntung ya dia. Dikelilingi cogan."
"Iya sih, tapi sifat aslinya mulai keliatan idih."
"Berarti selama ini dia pura-pura jadi anak baik gitu? Supaya sok jadi teladan?"
"Mungkin."
"Eh, udah ah, kayaknya dia denger."
"Yaudah, yuk!"
Dara mendengkus keras seraya menggenggam pegangan ember dengan keras saat kedua cewek itu berlalu pergi. Ya, benar, ia mendengar itu dari awal sampai akhirnya. Mereka pikir dirinya tidak punya telinga apa?
Dara menghempaskan air dari ember yang ia pegang ke salah satu toilet dengan kesal. Bagaimana bisa telinganya tidak panas setelah mendengar semua itu? Belum lagi tadi mereka mengatakan Dara memakai topeng atau apalah, memuakkan.
Dara mendengkus tak percaya. "Kayaknya mulut manusia itu suka panas kalo gak ngomongin orang. Udah itu ghibahnya gak ngotak lagi. Pake sebar fitnah segala."
"Sabar atuh, Neng."
Dara tersentak lalu segera menoleh ke arah pintu masuk toilet. Ia mengernyit ketika mendapati Andra, Alfa, Dio, dan Ersya berdiri di sana.
"Loh? Kalian ngapain?"
"Bantuin Bos Besar," jawab Andra enteng lalu berjalan menuju tumpukan alat kebersihan yang ada di ujung toilet.
Tangan Dara terangkat menunjuk dirinya sendiri. Alisnya mengernyit bingung. "Gue?"
"Iya," jawab Dio singkat. Ia mengambil tongkat pel yang diberi Andra.
"Kita gak tega, yaudah kita bagi tim aja sekalian. Gue, Alfa, Dio, sama Andra, bantuin lo bersihin toilet perempuan. Sedangkan Asep, Revan, Ardi, sama Farjan bersihin toilet laki-laki. Impas jadinya," terang Ersya.
"Kita dengar yang tadi. Mereka juga udah kita tegur, lo santai aja," ucap Alfa membuat Dara melotot seketika. Apa ia terlalu fokus menggerutu sampai-sampai telinganya tidak mendengar apa yang terjadi di luar?
Dara cemberut seraya mengisi ember dengan air keran. "Padahal gue bisa...."
"Gak usah bacot, bersihin aja."
Dara mendelik sebal pada Dio dan fokus membersihkan toilet di bilik sebelah kanan.
"Oh, ya. Ersya, plis jangan tumpahin apapun yang gue bawa, ya?"
"Astaga, iya, Ra, iya! Tadi itu gak sengajaaaa!"
"Ngingetin doang elah."